NYALANYALI.COM – Nama dosen Fakultas Seni Pertunjukan-Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini panjang bukan main, Genoveva Valleria Noirury Nostalgia Setyowati Retno Jahnawi. Ia lebih dikenal dengan nama Rury Nostalgia.
Lingkungannya memang sudah membentuk dia sejak kanak-kanak menjadi penari Jawa. Putri semata wayang seniman tari Sentot Sudiharto dan Retno Maruti ini memang bak pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Darah seni tari begitu lekat dengannya. “Saya bangga sebagai penari,” kata peraih Indi Woman Award 2013 ini.
Perjalanan hidup memang kemudian membawanya tak jauh-jauh dari dunia tari. Berbagai pertunjukan tari telah diikutinya, baik skala nasional atau internasional, bahkan ia pun telah menjadi koreografer untuk pertunjukan seni tari tradisional yang dipentaskan di berbagai tempat.
Mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta dua periode 2009-2012 dan 2012-2015, yang juga pengelola Sanggar Padnecwara ini, empat belas tahun lalu sudah mengatakan, “ Dunia tari masih pasang surut, belum sehebat dunia seni lainnya seperti nyanyi atau sinetron. Tapi paling tidak, sekarang orang sudah banyak yang merasa bangga menyebut dirinya sebagai penari,” kata ibu Kanyaka Prajna Dyah Paramita ini.
Perempuan kelahiran Solo, 27 Januari 1971 kepada Redaksi NyalaNyali.com mengungkapkan profesinya, perkembangan dunia tari tradisional khususnya tari Jawa, dan seni pertunjukan di negeri ini. Berikut kutipannya:
Tepatnya, sejak kapan belajar tari tradisional Jawa ini?
Saya belajar menari Jawa sejak kecil. Susah diukur umur karena sejak kecil di rumah eyang ada kursus tari Jawa, kemudian saya sudah dibawa Mama dan Papa di lingkungan tari sejak kecil.
Besar sekali pengaruh orang tua, ya?
Pengaruh orang tua memang sangat besar dalam perkembangan kehidupan berkesenian saya. Karena beliau berdua adalah penari sejak kecil, di lingkungan keluarga keduanya yang berkecimpung di dunia seni.
Ayah dari Mama, almarhum Susiloatmodjo adalah dalang dan pembuat wayang juga dosen ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia-Red) Yogyakarta. Sedangkan Ayah dari Papa adalah pimpinpan WO (Wayang Orang- Red) Sriwedari di Solo.
Mama dan Papa menjadi penari sejak kecil. Sekitar tahun 1960 sampai 1968, Mama penari Ramayana Prambanan (Kijang Kencana) dan penari di zaman Bung Karno, begitu pun Papa sebagai penari yang sering menari di istana sejak zaman Bung Karno juga.
Apa susahnya belajar tari Jawa khususnya? Dan, apa daya tariknya?
Semua tari ada susah dan gampangnya. Kalau kita tekun dan serius, yang susah bisa lebih mudah. Hanya beberapa jenis tari yang memang perlu kesabaran lebih, khususnya tari Jawa.
Daya tarik tari Jawa buat saya karena lingkungan saya lebih banyak menggeluti budaya Jawa. Masing-masing daerah punya daya tarik sendiri-sendiri.
Apakah benar generasi muda kita kurang tertarik belajar seni tradisional, khususnya tari Jawa?
Menurut saya tidak, karena saya lihat sangat banyak sanggar-sanggar tari Jawa dan sanggar tari tradisional yang sekarang ini berkembang. Dan, mereka dengan bangga posting di sosial media sedang berlatih tari tradisional.
Buat saya, ini sesuatu yang menarik. Walaupun mungkin sedang tren, tapi saya cukup senang karena banyak generasi muda yang mulai bangga bisa menari tradisional, dengan mengikuti di berbagai komunitas.
Bagaimana membuat generasi milenial ini lebih tertarik lagi dengan tari tradisional?
Cara membuat mereka tertarik salah satunya bisa dengan mengenalkan lewat sosial media. Cara lain lagi bisa dengan merangsang minat melalui lomba, pentas, workshop, latihan bersama, membuat pertunjukan yang kemasannya kekinian dengan muatan budaya tradisional yang inovatif.
Bagaimana pula agar sanggar-sanggar tari di daerah-daerah bisa makin berkembang?
Salah satu cara adalah jangan berhenti untuk tetap belajar, baik kepada tokoh-tokoh dan sumber-sumber yang benar dan mau mempelajari budaya bukan hanya kulitnya saja, tetapi juga secara filosofi dan esensinya. Mengikuti perkembangan dan teknologi itu wajib, dengan tetap harus mempertahankan nilai luhur budaya yg ada.
Apakah ruang pertunjukan kita sudah memadai untuk mengembangkan kesenian daerah?
Ruang pertunjukan sebenarnya sudah banyak, tapi yang memadai sedikit, karena maintenance ruang pertunjukan kurang diperhatikan. Ruang pertunjukan yang ada banyak yang bagus tapi kadang fungsinya kurang pas untuk sebuah pertunjukan.
Mendalami seni tari dan kemudian menjadi dosen, bagaimana ceritanya?
Jadi dosen jurusan KSP (Kajian Seni Pertunjukan- Red) sejak 2004, terus pada 2018 di Prodi Tari sampai sekarang. Sempat berhenti mengajar karena menikah dan punya anak, sekitar 2015 saya sekolah lagi , dan setelah lulus 2017 lanjut mengajar lagi. Semua seperti ndak sengaja, ternyata asyik mengajar dan beraktivitas di dunia akademis jadi diteruskan sampai sekarang ha-ha-ha.
BACA JUGA:
Raja Siregar: Foto Fashion Akan Menjadi Arsip Sejarah Budaya
Pengamat Perbatasan Fauzan: Saya Pernah Diteror
Ajeng Raviando, Psi.: Pandemi Membuat Kita Tangguh
Novel Baswedan: Kejujuran yang Ditanamkan Mamah dan Abah