Masjid Tua Pulau Penyengat Banyak Nama, Dibangun dari Putih Telur?

NYALANYALI.COM, Wisata – Suasana tenang itu langsung menyergap saat kaki menjejak Pulau Penyengat. Masjid berkubah kuning itu langsung menyambut, setelah terombang-ambing menyeberang laut 20 menit dengan pompong, perahu kecil bermesin satu. dari Pulau Bintan, tempat Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau berada. Inilah Masjid  Sultan Riau Penyengat nan ternama. Bangunan yang berdiri sejak 1832 atas prakarsa Yang Dipertuan Muda Riau VII, Raja Abdulrahman ini konon dibangun dari campuran putih telur, pasir, dan kapur.

Jalanan berbatu mengantar wisata sejarah dan ziarah di Tanah Bunda Melayu ini. Dengan mengendarai bemor (becak motor) mengelilingi obyek-obyek wisata di Pulau Penyengat.  Di bebeapa titik nampak papan betuliskan kalimat-kalimat sang pujangga, Raja Ali Haji yang terekam dalam karya sastra Gurindam XII. Salah satunya terbaca, “Hendaklah berjasa kepada yang sebangsa”.



Area Makam Raja Ali Haji

Wisata ziarah pun dilakukan, di tengah keteduhan pepohonan di area makam Engku Putri dan Raja Ali Haji. Cungkup-cungkup bertutup kain kuning itu menjadi saksi peradaban Tanah Melayu yang bermuasal di Pulau Penyengat ini.  Begitu pula di makam Raja Haji Fisabilillah, kompleks makam Raja Jakfar, makam Daeng Marewah, makam Daeng Celak, Istana Kantor, serta gedung mesiu.  

Banyak nama sesungguhnya yang disematkan ke masjid ini, antara lain Masjid Raya Sultan Riau, Masjid Pulau Penyengat, sampai Masjid Putih Telur konon karena putih telur tadi menjadi perekat bangunan. 

Warna kuning memang mendominasi masjid ini. Ada 13 kubah di masjid itu yang susunannya bervariasi. Ditambah dengan empat menara yang masing-masing memiliki ketinggian sekitar 19 meter, dan bubung yang dimiliki masjid tersebut sebanyak 17 buah. Angka ini diartikan sebagai jumlah rakaat salat.

Masjid yang tercatat dalam sejarah merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih ada ini berukuran sekitar 54 x 32 meter. Ukuran bangunan induknya sekitar 29 x 19 meter. Arsitektur masjid ini kental dengan unsur India, karena tukang-tukang yang membuat bangunan utamanya adalah orang-orang India yang didatangkan dari Singapura.

Alkisah, pada 1805 Sultan Mahmud menghadiahkan Pulau Penyengat kepada isterinya Puteri Raja Hamidah yang lebih dikenal denngan sebutan Engku Putri. Bersamaan dengan itu, dibangun Masjid Sultan yang kala itu hanya terbuat dari kayu. Kemudian, keturunan kerajaan setelah itu, Raja Ja’far membangun Penyengat sekaligus memperlebar masjidnya.

Pembangunan masjid secara besar-besaran dilakukan ketika Raja Abdul Rahman memegang jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga (1832-1844) menggantikan Raja Ja’far. Tak lama setelah memegang tampuk itu, pada 1 Syawal 1284 H (1832 M), setelah usai salat Idul Fitri, ia menyeru masyarakat untuk bergotong royong membangun masjid.

Selain bangunan yang indah, masjid Penyengat menyimpan mushaf Alquran tulisan tangan yang diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Istambul, putra Riau yang dikirim belajar ke Turki pada 1867. 

Ada Alquran tulis tangan lain yang ada di masjid. Namun, tak diperlihatkan kepada umum karena khawatir sudah terlalu rentan. Ditulis pada 1752. Uniknya, di bingkai mushaf yang tidak diketahui penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran. Bahkan, terdapat berbagai terjemahan dalam bahasa Melayu, kata per kata di atas tulisan ayat-ayat tersebut. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab dalam dua lemari di sayap kanan depan masjid.

Selain berkunjung ke masjid, di Pulau Penyengat dapat berziarah ke makam raja-raja dan kerabatnya, termasuk ke makam penulis Gurundam XII, Raja Ali Haji. Pahlawan nasional dalam bidang sastra ini, menghasilkan karya yang fenomenal dan menjadi tuntunan hidup masyarakat Melayu yang agamis. Dari pemikirannya yang cemerlang, Bahasa Indonesia tercipta dan akhirnya menjadi bahasa nasional dan persatuan. Buah hati pasangan Tengku Raja Haji Ahmad dan Encik Hamidah ini wafat pada 1873 di Pulau Penyengat. 

Bunda Tanah Melayu ini pun mengundang Anda untuk berkunjung. Dan, masih jelas teringat satu goresan di pualam putih di makam Engku Putri salah satu syair Gurindam XII fasa kelima: “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi bahasa”.


Tags:

Bagikan :

Advertisement