NYALANYALI.COM – Yanusa Nugroho, peraih anugerah South East Asia Write (SEA Write Award-penghargaan Sastra se-Asia Tenggara, dari Kerajaan Thailand, pada 2016, ini menceritakan perkembangan dunia sastra saat ini kepada Redaksi NyalaNyali.com.
Pria kelahiran Surabaya, 2 Januari 1960 ini sudah malang melintang dalam sastra Indonesia. Sejak 2000 kerap menjadi narasumber untuk berbagai pelatihan penulisan cerpen bagi siswa dan guru, ke pelbagai daerah oleh Badan Bahasa (sebelumnya Pusat Pengembangan Bahasa) lewat balai dan kantor-kantor bahasa di berbagai provinsi di Indonesia, terutama di wilayah Indonesia Tengah dan Timur.
Selain itu, mantan redaktur majalah Berita Buku IKAPI ini masih aktif sebagai ‘juru bantu’ di Dedy Lutan Dance Company, Padnecwara dan Teater Tetas dan sedang menyiapkan novel terbarunya tentang Karno Basuseno.
“Saya menemukan bahwa inilah rumah saya. Dunia tulis menulis, terutama sastra bagi saya memberikan kenyamanan, sebagaimana sebuah rumah,” kata peraih Anugerah Kesetiaan Berkarya dari Kompas pada 2011, Cerpennya “Selawat Dedaunan” mendapat Anugerah Cerpen Terbaik Kompas 2012.
Sederet prestasinya antara lain Hadiah Multatuli (1987) untuk cerpen, Anugerah Seni dari Kemendikbud (2006), untuk cerpen; Penghargaan dari Pusat Bahasa (2005) untuk novel “Boma”; Kesetiaan Berkarya dari Kompas (2011); Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas (2012); Penghargaan Sastra Asia Tenggara dari Kerajaan Thailand (2016).
Begini pendapatnya tentang sastra dan pegiat sastra serta dukungan pemerintah terhadap dunia sastra saat ini:
Bagaimanakah perkembangan sastra kita saat ini?
Sastra Indonesia bisa kita lihat begini. Ada penulis dan ada pembaca. Dari segi penulis, paling tidak sejak tahun 2000-an, dilihat dari kuantitas, saat ini kita mengalami ‘surplus’ penulis, di berbagai pelosok kita jumpai penulis sastra baik cerpen, novel, naskah drama dan puisi. Paling banyak penulis puisi, kemudian cerpen, novel dan paling sedikit penulis naskah drama. Sekarang barangkali bisa ditambahkan penulis skenario.
Di setiap aneka lomba di berbagai tingkat pendidikan, atau umum, jumlah naskah yang masuk luar biasa. Dari sisi ini tentu kita harus angkat topi, keren.
Namun, dari segi pembaca karya sastra, memang sih belum ada penelitian yang memadai, rasanya agak berbeda. Siapa dan berapa jumlah pembaca sastra kita hari ini, belum ada jawaban yang pasti. Padahal kita semua paham, hakikat sastra dalam teks adalah dibaca,justru ketika dibaca itulah karya dalam bentuk teks itu mengada, sebagaimana drama yang ‘mengada’ ketika dipertunjukkan kepada penontonnya.
Persoalan justru bukan berkurangnya jumlah penulis sastra, tapi minimnya peminat atau pembaca karya sastra?
Jadi, kalau pembaca kita jumlahnya belum jelas, ini barangkali terwakili meskipun tidak sepenuhnya oleh jumlah buku sastra yang terjual atau terbit. Bagaimana mungkin kita bisa menjelaskan kondisi yang sebenarnya kesusasteraan Indonesia.
Dulu, seingat saya, minimal cetak itu 3.000 eksemplar, sekarang bisa jadi, hanya 1.000 atau bahkan kurang dari itu. Ini, kan, sedikit banyak menunjukkan menurunnya ‘calon’ pembeli buku meskipun sekali lagi, ini hanya gambaran sangat naif.
Jadi, apakah karya sastra kita dibaca masyarakat?
Mungkin dan terutama yang hobi pada sastra, guru, dan barangkali mahasiswa. Tetapi diluar itu, saya pesimis.
Padahal, di era serba terbuka ini, penulis-penulis sastra terutama yang baru-baru, mencoba melakukan eksperimentasi penulisan yang tidak main-main. Ini dimungkinkan karena mereka juga generasi yang sudah dengan mudah membaca karya-karya luar negeri atau jenis kesenian dari luar dengan cara yang jauh lebih mudah daripada generasi sebelumnya. Tentu ini menimbulkan efek bagi cara penulisan mereka.
Dari ‘dua kutub’ ini penulis-pembaca, kalau kita lihat seperti tidak ‘ketemu’. Dalam pola pikir sederhana, seharusnya di era yang sama, ketika penulisnya melakukan inovasi, pembacanya tentunya juga menunjukkan indikasi yang sama. Jadi apa yang ditulis menjadi ‘makanan’ bagi pembacanya. Artinya, seharusnya lahir 10 penulis dengan 10 buku, seharusnya juga ada minimal 10 pembaca yang membaca buku-buku itu, begitu idealnya. Kenyataannya, kan, tidak.
Jadi, apa sebab mendasarnya?
Di mana ‘celah jarak’ itu? Saya menduga, mungkin juga banyak orang di dunia pendidikan kita. Dunia pendidikan kita, masih belum sepenuhnya mengedepankan ‘pendidikan seni’ termasuk sastra. Dan masyarakat masih ‘dididik’ untuk tidak kritis, masyarakat kita masih digiring untuk berpola pikir tunggal atau monoton dalam istilah lain, cari aman. Akibatnya, lahirlah semacam persepsi bahwa seni sastra itu, ya, hanya ‘hiburan’ saja, bukan bagian dari ‘belajar menjadi manusia’. Saya kira itu, secara ringkas.
Banyak orang tidak berani terjun ke sana, karena tidak menjanjikan secara finansial. Benarkah? Bagaimana membuat nilai ekonomi penggiat sastra lebih layak?
Wah, ini pertanyaan ‘sakral’, karena masalah finansial ha-ha-ha. Untuk Indonesia, saya tidak tahu di luar negeri, terutamja untuk penulisan sastra, ya benar, tidak menjanjikan.
Kalau ditanya bagaimana bisa meningkatkan penghasilan pegiat sastra, ya, buka warung kopi dan pisang goreng. Ha-ha-ha.. artinya, memang sulit kalau mengandalkan karya sastra, kecuali karyanya kemudian difilmkan internasional, barangkali nasibnya akan baik. Karena dunia sastra memang ‘bukan untuk cari duit’, kalau mau kaya raya, ya, jadilah pengusaha.
Bagaimana mengajak generasi muda menggeluti dunia sastra, lebih intens?
Tentu yang formal adalah dari dunia pendidikan. Harus ada pendidikan sejak dini tentang seni dan sastra. Tanpa pendidikan yang benar tentang seni dan sastra, sulit saya membayangkan instensitas bisa dibangun, kalau sekadar membuat mereka tertarik, ya, bisa saja sering-sering mengadakan pertunjukan musikalisasi puisi, nonton teater, eksplorasi alih wahana dan lainnya.
Tapi kalau mau serius, kuncinya adalah pendidikan sejak PAUD hingga perguruan tinggi, juga ‘pendidikan’ kepada masyarakat umum, bahwa seni bukan cuma untuk hiburan, tapi sarana untuk kontemplasi.
Saat ini dunia digital sudah merambah segala aspek, adakah dampak bagi perkembangan dunia sastra kita?
Ya, sebagaimana sudah saya singgung tadi, perkembangannya merebak, pesat dari segi jumlah, karena siapapun bisa mengakses teknologi yang makin bisa dicapai segala lapisan masyarakat sosial, di berbagai strata ekonomi. Namun, ya, semoga saja juga bisa diimbangi dengan kualitas, kedalaman dan lebih mengajak manusia untuk berkontemplasi, tidak sekadar tahu sesuatu.
Bagaimana pula dorongan pemerintah terhadap perkembangan dunia sastra sastra saat ini?
Kalau soal dorongan, dalam berbagai program lomba, festival, penghargaan, menurut saya sudah bagus. Hanya saja, sekali lagi, tekanannya lebih banyak ke seremonial, seolah yang penting ada kegiatan. Ini, menurut saya di satu sisi memang bagus untuk mewartakan kepada masyarakat luas bahwa ada yang namanya kegiatan atau penghargaan seni (sastra), namun di sisi lain, di dalam pelaksanaannya seringkali tidak dilakukan dengan persiapan yang matang.
Ada yang karena kendala birokrasi antarinstansi yang sering tidak klop, ada yang terkendala aturan pemerintah, akses lokasi penyelenggaraan, macam-macamlah yang pada akhirnya berakibat ‘yang penting ada kegiatan’. Soal mutu, nomor sekian. Ini, kan, sangat disayangkan.