Lim Tjin Pheng, Pendekar dari Cilame

NYALANYALI.COM, Kisah – 1960-an. Gang Cilame, Pasar Lama, Tangerang. Bocah lelaki bernama Lim Tjin Pheng sudah dikenal kenakalannya di kitaran tempat tinggalnya di Gang Cilame, Pasar Lama, Tangerang.

Bukan saja ia dikenal anak dari jago kungfu di sana. Ayahnya piawai memainkan golok panjang, juga pemain Lang Liong atau tari naga, khusus kepala naga yang beratnya sampai 40 kilogram.

Lim Tjin Pheng kecil, banyak ulahnya. Main layangan sampai betot kabel listrik hingga padam sekitar dia tinggal. Naik-naik tiang listrik hingga main di atap dan genteng rumah orang jadi kesehariannya.

Alangkah terkejutnya tukang tambal gigi tetangganya, melihat pelang miliknya pada suatu pagi, ada yang menambahkan huruf “T” hingga berbunyi “Tukang Gigit”. Tak lain, tak bukan Lim Tjin Pheng dipastikan pelakunya.

Main bola di jalanan, bola kerap masuk rumah orang dan diomelin tetangga sudah makanan hariannya. Ada saja ulah bocah lelaki itu.

Lim Tjin Pheng hanya lulus SMP. Kebandelannya bukan main populernya. Tak lanjut sekolah tak membuatnya putus asa. Ia kemudian membantu neneknya menjaga kios di Pasar Lama Tangerang.

Meski kelakuannnya bikin orang geleng-geleng kepala, tapi ada satu hal yang membuat orang kagum padanya. Anak ini seperti kamus berjalan, nyaris apa saja dia tahu. Kesenangannya baca buku itu penyebabnya. Kebandelannya karena imajinasinya akibat membaca buku itu tumpah ruah.

Dia bisa seolah menjadi Yo Ko atau Kwee Ceng dalam kisah Chin Yung, To Liong To, Golok Pembunuh Naga. Atau pendekar-pendekar lain dalam cerita OKT (Oey Kim Tiang), Gan KL, atau Khoo Ping Ho.

Meski hanya tamat SMP, teman-temannya menjulukinya Profesor. Pergaulannya luas. Tak ia beda-bedakan berkawan. Istilah Hitaci, hitam tapi cina atau Cina benteng bagi peranakan Tionghoa tak pernah membuatnya sakit hati. Di sana ia tahu benar, tak semua keturunan Tionghoa kaya, lebih banyak kehidupannya yang susah seperti kebanyakan orang lainnya.

Di waktu selanya menunggu kios, ia selalu baca buku. Ia beli dari toko loak dari uang yang sedikit-sedikit dikumpulkannya. Buku apa saja ia baca.

Hingga satu saat ia yakinkan dirinya harus belajar bahasa Inggris di negara asalnya. Makin keras ia menunggu, makin giat ia bekerja. Jadi salesman hingga tukang foto acara kawinan, ia jabanin semua.

Niat bulatnya sampai juga. Setelah ia merasa tabungan cukup, ia nekat merantau ke Bournemouth, Inggris, untuk mendapatkan sertifikat kursus bahasa Inggris.

“Kalau orang sekolah untuk dapat ijazah, saya cari ilmunya. Orang lain kuliah tertinggi S-3, saya itu S-4 atau sempat di University of Life. Tiap ada kesempatan saya belajar dari kehidupan,” ujar Lim Tjin Pheng yang ketika dewasa berganti nama Udaya Halim.

Lulus di Inggris, ia pulang kampung ke Tangerang. Buat tempat kursus Bahasa Inggris, King’s English Course. Makin maju. Bahkan dipercaya menjadi mitra British Council melalui Indonesia-Britain Education Centre (IBEC).

Udaya Halim alias Lim Tjin Pheng kemudian jadi pembicara di mana-mana, bahkan di luar negeri ia bicara tentang negeri hebat tanah airnya, Indonesia. Ia usung berbagai seni dan budaya, dari tari saman hingga gambang kromong ke mancanegara.

“Sebetulnya saya punya kesempatan menjadi businessman seperti kebanyakan orang-orang Tionghoa. Tapi saya pilih bidang pendidikan agar tidak kena stigma kalau Tionghoa cuma pantas jadi pengusaha,” katanya, sambil tertawa.

***

Awal 2007

Perth, Australia

Udaya Halim terbangun dari tidurnya. Mimpi yang terus menerus mengusiknya. Sebuah rumah Cina, depan rumahnya yang lama di Tangerang. Ia selalu seperti selalu ada di sana.

Dibulatkannya tekat membeli rumah itu. Tak mudah karena banyak ahli warisnya. Rumah itu memang akan dijual Tapi harganya tak kira-kira. Hampir patah arang Udaya mendapatkan rumah itu. Hingga suatu hari, ahli warisnya pun mendapat mimpi, rumah itu berjodoh dengan tetangganya, ya dia pastinya.

Pada 2009, rumah yang didirikan pada abad ke-17 atau sekitar awal abad ke-18 itu dijual padanya dan akan dibuat museum olehnya. Hampir dua tahun ia merestorasi bangunan itu. Pontang-panting ia mencari berbagai referensi hingga ke luar negeri.

Museum dibuat bukan saja karena nostalgia, tapi karena kepeduliannya pada kehidupan peranakan Tionghoa seperti dirinya. Itu sebabnya di sana ada kisah mulanya Cina benteng datang ke Tangerang dari pelayaran Cheng Ho (Sam Po Tai Jin). Akulturasi budaya yang terjalin. Adaptasi dan kemudian pembauran di sana sangat terasa. Kelenteng Boen Tek Bio yang berusia ratusan tahun berdekatan dengan Masjid Jami Kalipasir. Kuliner pun saling berkelindan, bacang dan kue bulan jadi akrab di lidah orang Tangerang.

Pada 11 November 2011, pukul 20.11, Museum Benteng Heritage diresmikan. Banyak kisah melingkupinya. Bukan saja soal kisah hidup Udaya Halim seorang tapi bagaimana pembauran itu terjadi dengan alami.

Di lantai dua, sebuah pelang tersandar. Karat di sana-sini. Tertulis “Tukang Gigit” huruf “T” nya nampak ditambahkan.

***

Lim Tjin Pheng, kini telah berusia 65 tahun. Ibarat dalam kisah para pendekar kisahnya sudah malang melintang. Petualangannya telah tak terhingga.

Di atas ketinggian, Lim Tjin Pheng melihat keriuhan Gang Cilame, Pasar Lama, Tangerang, tempat ia dulu main bola. Orang dengan beragam strata sosial, suku, ras, agama, berbaur saling berinteraksi. “Itulah Indonesia,” dia, bergumam.

Udara berdesir. Sekelebat daun bambu bungkus bacang terbang ditiup angin. Melenting-lenting di atap rumah pelana, sebelum hanyut di alun Sungai Cisadane.

Jakarta, 18 September 2018

DIAN ANDRYANTO
Buku #sayabelajarhidup ke-8: NyalaNyali (2018)

BACA:
Kho Ping Hoo Menghunus Kisah
Pisang-pisang Bang Belang
Mata Kiri dan Mata Kananmu Tak Sama
Aku Sudah Dirumahkan
Aku dan Rahwana
Apa Kabar Indonesiaku

Bagikan :

Advertisement