Kho Ping Hoo Menghunus Kisah

NYALANYALI.COM, Kisah – “Bu Kek Siansu telah menyarungkan pedangnya sebelum tubuh bedebah itu jatuh ke bumi”.

Dengan satu kalimat itu, tergambar betapa cepatnya pedang Bu Kek Siansu bergerak, satu kedipan mata pun tak bisa menangkap kibasannya. Begitu pedang tersarung, dan musuh roboh.

Bu Kek Siansu, pendekar pedang sakti itu hidup dalam imajinasi penulisnya Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo.

***


Mesin ketik itu berdetak-detak menghidupkan tokoh-tokoh dalam bayangannya. Berlembar-lembar kertas berhias kisah para pendekar, penuh filosofi, dan pemahaman antropologi dihasilkannya.

Dia menulis tak kurang dari 400 judul cerita silat berlatar belakang dunia kang ouw Tionghoa, dan 50 cerita silat Jawa. Meski tak pernah ia ke Cina, tak bisa pula ia berbahasa dan membaca tulisan mandarin. Tapi dari cerita yang ditulisnya berjilid-jilid itu seolah ia tahu benar, tentang negeri leluhurnya.


Dia yang piawai menghidupkan imajinasi bagi para pembaca kisahnya, dunia persilatan dan segala jurus saktinya.


***


Di kaki Gunung Wilis, Sragen ia lahir pada 17 Agustus 1926. Jaraknya sekitar 30 kilometer timur Kota Solo. Keluarganya hidup pas-pasan. Susah masa kecilnya. Sekolah pun hanya sampai kelas 1 MULO (setingkat SMP sekarang). 


Kho Ping Hoo kecil telah melahap berbagai buku milik ayahnya. Buku-buku berat disantapnya, tentang filosofi, budaya dan agama. Pikirannya sudah meramu segala kisah tentang kebajikan sejak ia bocah.


Hidup susahnya tak kira-kira. Mengais-ngais rezeki ia lakukan. Putus sekolah tak membuatnya patah nyali. Ia menjadi penjaga toko, penjual obat, bahkan menjadi Kenbotai, semacam hansip saat pendudukan Jepang, dan membuka usaha rokok kecil-kecilan. Berpindah-pindah tempat ia, dari Sragen, Solo, Surabaya, Tasikmalaya, Banjarnegara. Siapa yang tahu hidup membawa ke mana, selain terima dan tekun menjalani.


Hingga pada 1951, Kho Ping Hoo mulai menulis. Ia menulis cerita-cerita roman. Itu sebabnya ia menambahkan nama Asmaraman di depan namanya, juga Sukowati tempat asalnya. Majalah Liberty, Star Weekly, Pancawarna memuat ceritanya, meski tak sedikit ia menerima penolakan. Tapi tak membuatnya berhenti berkarya.


Majalah Teratai pada 1959, butuh cerita silat bersambung. Kho Ping Hoo pun ditunjuk, maka lahir cersil pertamanya “Pedang Pusaka Naga Putih”. Tak ia sangka, sambutannya marak.

Terceburlah ia kemudian dalam cerita-cerita silat. Ketak ketik mesin ketik, hiaat hiaat kisah silat. Kemudian lahir puluhan pendekar dari imajinasinya.


Saat itu, orang-orang menunggu di taman bacaan dan kios-kios buku, balapan membaca jilid terbaru karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo. Cerita apapun dibaca tandas. Serial Pendekar Bodoh, Pendekar Super Sakti, Patung Dewi Kwan Im, Perawan Lembah Wilis dan banyak lagi. 

Tak ia sadari, dirinya telah membangun legenda. Ia menapaki jalan pedangnya. Hingga itu hari, 22 Juli 1994, ia mengembuskan nafas terakhirnya di udara dingin, Tawangmangu. 


Pergilah pengisah para pendekar ini. Lelaki yang telah menjalani berbagai deraan hidupnya. Ayah yang membebaskan anak-anaknya memilih agama dan kepercayaan. Keturunan Cina yang mencintai Nusantara begitu hebatnya. Kho Ping Hoo, berpulang itu hari. Tak ada lagi suara ketak ketik mesin ketik, tempat sang pendekar melenting tinggi, menyalurkan ilmu digdaya, roman dan filosofi berbalut kisah.


Kho Ping Hoo, telah memberikan ruang terbuka banyak orang terhibur membacanya, di sebuah masa yang sempit. 

5 Februari 2019

DIAN ANDRYANTO
Penulis #sayabelajarhidup


BACA:

Pisang-pisang Bang Belang

Mata Kiri dan Mata Kananmu Tak Sama

Aku Sudah Dirumahkan

Aku dan Rahwana

Apa Kabar Indonesiaku

Bagikan :

Advertisement