NYALANYALI.COM – Melihat sekilas sosok lelaki ini, orang akan menduga ia seorang seniman. Namun, Jimmy Philip Paat telah menjadi guru dan pegiat pendidikan puluhan tahun lamanya. Perhatian pria asal Tomohon, Sulawesi Utara kepada dunia pendidikan tak pernah surut sepanjang waktu.
Jimmy mengisahkan, ia masuk IKIP Jakarta pada 1975 di jurusan Pendidikan Matematik, setahun kemudian ia pindah ke jurusan Pendidikan Bahasa dan Budaya Prancis. Alasannya ketika itu masuk ke IKIP, “Seperti biasa pelajar SMA berkeinginan masuk kalau tidak ITB ya UI atau UGM. Saya sendiri setelah selesai SMA mendaftar ke ITB jurusan Matematika tetapi tidak di terima. Karena ayah saya dosen di IKIP Jakarta (di Pendidikan Musik), saya ditawarkan untuk masuk IKIP. Saya terima tawaran ayah saya,” katanya mengenang.
Tapi, pilihannya masuk jurusan Pendidikan Matematik hanya bertahan satu tahun. “Mungkin karena saya hanya berurusan dengan memecahkan soal matematik, dan ini tampaknya kurang menarik bagi saya,” kata ayah dua anak ini, bercerita.
Pilihan keluar dari jurusan pendidikan matematik, dijawab dengan memasuki pendidikan bahasa Prancis. Ini disebabkan karena ia mengaku banyak bermain dengan teman-teman seangkatan di jurusan itu, “Mereka baru belajar satu tahun, tetapi saya melihat “kok sudah bisa bahasa Perancis”. Ini menarik perhatian saya. Saya datangi ketua jurusan pendidikan bahasa Prancis, Bapak Sartono, dan mengatakan bahwa saya ingin menjadi mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Prancis. Singkatnya beliau menerima saya sebagai mahasiswa pendidikan Bahasa Perancis IKIP Jakarta,” kata dia.
Lelaki yang menamatkan S2 Linguistik/Psikolinguistik di Universitas Paris V Sorbonne, Prancis dan S2 Ilmu Pendidikan di Universitas Paris 8 ini menceritakan kepada Redaksi NyalaNyali.com tentang kegemarannya naik gunung, pandangannya tentang dunia pendidikan terkini serta rendahnya literasi siswa. Berikut petikannya:
Bagaimana kisah kegiatan luar kampus saat itu?
Mungkin seperti kebiasaan beberapa mahasiswa di awal tahun 70-an, di antaranya naik gunung dan vokal grup. Di era itu yang dikenal untuk yang terakhir ini vokal grup Fakultas Pertanian UNPAD, yang kalau tidak salah dipimpin Kang Iwan (Iwan Abdurrachman – Red).
Karena saya tidak terlalu bisa menyanyi maka saya memilih kegiatan mendaki gunung. Tetapi ketika saya mahasiswa IKIP Jakarta (dari tahun 1975 sampai 1981), seingat saya tidak ada kelompok pencinta alam atau pendaki gunung yang resmi. Hanya memang ada sekelompok mahasiswa yang suka kemping dan mendaki gunung. Biasanya kami bersepuluh atau lebih kemping di daerah pantai di Banten atau di desa sekitar Jawa Barat.
Sudah pernah mendaki gunung mana saja?
Biasanya saya berdua atau bertiga mendaki Gunung Pangrango atau Gunung Gede yang bagi kami tidak terlalu jauh dari Jakarta. Tidak jarang saya sendirian mendaki dua gunung itu. Biasanya saya lakukan berangkat dari Jakarta hari Jumat sore menuju kaki Gunung Gede atau Pangrango, kemudian mendaki di pagi hari.
Lantas, untuk kuliah di Bahasa Prancis bagaimana ceritanya?
Sekitar lima tahun saya belajar untuk menjadi guru Bahasa Prancis. Di jurusan inilah saya rasakan begitu kuat ajakan menjadi guru oleh hampir semua dosen di jurusan ini, di antaranya Ibu Nusri, Ibu Mardiani Bahasoan-Djambek, Ibu Hermin, dan Bapak Sartono. Mereka menunjukkan kepada saya istimewanya menjadi guru.
Sebenarnya keistimewaan menjadi guru saya dapatkan juga dari kakak-kakak kelas saya yang sedang menulis tesis S1, tidak saja dari jurusan Pendidikan Bahasa Prancis tetapi dari jurusan Pendidikan Geografi, Pendidikan Seni Rupa, Pendidikan Sejarah.
Jadi ada kesamaan pendorong untuk menjadi guru antara dosen-dosen saya dengan kakak-kakak kelas saya dari berbagai jurusan. Saya kira ini yang mendasari saya berhasrat kuat menjadi guru sekalipun saya masih semester tiga di IKIP Jakarta. Berkat hasrat kuat ini, saya mengajar di SMA saat masih mahasiswa.
Kemudian serius menjadi pengajar?
Setelah menyelesaikan kuliah yang relatif tidak cepat itu, saya ditawari Bapak Sartono, Ketua Jurusan untuk menjadi pengajar. Itu tahun 1981. Setelah diskusi dengan kedua orang tua saya, tawaran itu saya terima. Setelah mengajar satu tahun, pada 1982 saya melanjutkan kuliah ke Universitas Grenoble, Prancis untuk mengambil Diploma Pengajaran Bahasa Prancis sebagai Bahasa Asing selama satu tahun. Kemudian saya lanjutkan kuliah di Sorbonne, Paris untuk studi Linguistik.
Dari tahun 1981 sampai 2000, saya hanya mengajar di IKIP Jakarta. Baru tahun 2001 – 2002 saya mulai berkegiatan di luar kampus bersama para aktivis. Saya diajak Ade Irawan yang saat itu masih mahasiswa UNJ untuk ikut kegiatan di ICW. Yang pada 2004, Ade Irawan dan Lody Paat mendirikan Koalisi Pendidikan.
Ini menjadi awal Anda menjadi aktivis pendidikan?
Di kelompok inilah saya ikut bersama para aktivis pendidikan untuk memperhatikan secara kritis kebijakan pendidikan yang dibuat kemendikbud, seperti Ujian Nasional.
Dan, bagaimana dengan pendidikan kita sekarang menurut Anda?
Persoalan yang dihadapi pendidikan kita tentu tidak sedikit. Untuk yang sekarang misalnya pendidikan jarak jauh (PJJ) menjadi perhatian banyak orang. Yang mungkin dilupakan para pelaksana PJJ, yaitu PJJ itu memiliki sistem sendiri, dan pendidikan tatap muka juga bersistem sendiri.
Dua sistem itu tidak bisa dicampuradukkan. Yang terlihat sekarang pencampuradukkan dua sistem itu. Karena itu oleh beberapa teman saya yang sudah lama bergerak di dunia pendidikan jarak jauh, sejak tahun 1984, mengatakan bahwa PJJ yang terjadi sekarang ini ruang kelas atau ruang tatap muka di –zoom-kan di layar laptop atau HP. Pernyataan beberapa teman saya ini saya amini. Ini salah satu penyebab mengapa kita semua, baik guru, murid, orang tua bingung, pusing dan lain-lain saat menjalankan pendidikan di masa pandemi ini.
Persoalan lainnya?
Persoalan lain yang sering dikemukakan banyak pemerhati pendidikan yaitu rendahnya kegiatan membaca para murid dan mahasiswa. Ada yang melaporkan bahwa murid-murid kita ini hanya membaca 0 buku dalam setahun.
Mengapa bisa terjadi, literasi rendah bagi siswa kita?
Jawaban saya karena anak-anak tidak dibiasakan untuk mengenal apa itu membaca atau dibiasakan dengan berkegiatan membaca buku di tingkat SD, mulai kelas 1 SD. Apa yang yang saya maksud dengan berkegiatan membaca buku? Anak dibiasakan mendengarkan cerita yang dibacakan guru. Sekalipun anak belum bisa membaca, guru harus membacakan cerita dari buku setiap hari, misalnya di akhir pelajaran, sebelum pulang, meninggalkan sekolah.
Itu yang saya sebut anak “berkegiatan membaca buku”. Anak dibiasakan memegang buku, membuka-buka buku sekalipun belum bisa membaca, karena itu di setiap sudut kelas seharusnya ada sejumlah buku yang dengan mudah bisa dipegang, dibaca anak-anak.