NYALANYALI.COM, Jakarta – “Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa bahagia baginya”.
Penggalan surat Raden Adjeng Kartini yang dikirimkan kepada Nyonya Van Koolpada Agustus 1901 memperlihatkan dengan jelas betapa sulitnya kaum perempuan mendapatkan akses pendidikan kala itu. Melalui buah pikirannya yang dituangkan dalam surat-surat kepada sahabatnya, Kartini berhasil mengubah paradigma berbagai kebudayaan dan politik yang mendiskreditkan kaum perempuan.
Kartini, yang lahir di Jepara, 21 April 1879, tidak sendiri. Ada Dewi Sartika di Bandung, Jawa Barat. Dewi mendirikan sekolah perempuan pertama yang memanfaatkan pendopo Kabupaten Bandung sebagai kelas. Pada1914, sekolah tersebut berkembang di sembilan tempat di seluruh Pasundan dengan organisasi bernama Keutamaan Isteri. Organisasi ini kemudian berkembang sampai Sumatera Barat.
Pada masa yang hampir bersamaan, muncul seorang perempuan yang menaruh perhatian serupa di Sumatera Barat. Ia adalah Rohana Kudus. Pada 1912, Rohana membuat surat kabar perempuan pertama di Indonesia (Hindia-Belanda) yang dinamakan Sunting Melayu.
Seiring dengan bangkitnya pergerakan nasional, yang ditandai kehadiran organisasi terbesar masa itu, yakni Syarikat Islam, organisasi perempuan turut berkembang. Di berbagai kota, muncul organisasi-organisasi lokal yang menekankan perjuangan, terutama dalam bidang pendidikan perempuan.
Di samping itu, muncul organisasi perempuan yang menjadi bagian dari organisasi keagamaan, seperti Aysiah di Muhammadyiah dan Syarikat Perempuan Islam Indonesia yang berafiliasi ke Syarikat Islam. Kemudian, di tahun-tahun berikut, terutama di era 1920-an, berdiri organisasi wanita Kristen dan wanita Katolik, yang kemudian turut ambil bagian pada Kongres Perempuan Indonesia pertama di Yogyakarta pada 22-26 Desember 1928.
Kongres ini merupakan lembaran baru bagi pergerakan Indonesia. Berbagai organisasi perempuan bersatu, bekerja sama demi kemajuan. Kongres Perempuan Indonesian pertama dilihat sebagai bentuk kebangkitan politik perempuan Indonesia. Meski masih menghindari diskusi politik, Kongres ini dapat menjadi penanda keluarnya perempuan Indonesia dari peran domestik ke ranah sosial.
Dalam bukunya yang berjudul Sejarah Perempuan Indonesia, Cora Vreede-De Stuers mengatakan ada situasi pendukung yang penting dicatat sebelum sampai ke Kongres Perempuan 1928. Pertama, peran perguruan tinggi Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara. Taman Siswa memberikan kesempatan yang sama kepada anak perempuan untuk mengenyam pendidikan. Karena itu, banyak perempuan bersemangat sekolah di Taman Siswa.
Kedua, keberadaan organisasi-organisasi kepemudaan, seperti Jong Java (1915), Federasi Pemuda Rakyat Sumatera (1917), Jong Minahasa (1918), Jong Ambon, dan Jong Sulawesi, yang berpikiran lebih modern, banyak melibatkan perempuan dalam pergerakan mereka. Keterlibatan perempuan dalam organisasi heterogen ini telah berperan besar mempengaruhi kesadaran gerakan perempuan menjadi semakin politis.
Peran aktif perempuan Indonesia dalam politik juga terekam jelas pada periode perjuangan kemerdekaan dari Belanda 1930-1940-an. Kesetaraan hak berpolitik antara kaum laki-laki dan perempuan terus berlanjut setelah Indonesia menjadi negara yang berdaulat. Perempuan telah mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum 1945.
Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, juga sangat menjunjung kesetaraan laki-laki dan perempuan. Sebab, di undang-undang tersebut, negara menjamin hak perempuan bisa berkiprah di semua bidang, termasuk pendidikan, kesehatan, dan politik.
Bahkan tindakan afirmatif diperkenalkan melalui UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum untuk memastikan 30 persen perempuan dicalonkan dalam daftar calon anggota legislatif. Hal ini dilakukan guna menangani masalah kekurangan keterwakilan gender di bidang.
Meski begitu, masih saja ada kesenjangan dalam hal partisipasi dan keterwakilan perempuan di struktur politik formal. Kaum perempuan belum setara dengan laki-laki di lembaga legislatif tingkat nasional sejak 1955, ketika perempuan hanya menduduki 5,06 persen kursi di parlemen.
Memang sempat mengalami kenaikan pada pemilu 1977 hingga 1992. Keterwakilan perempuan masa itu pun mencapai 12,6 persen. Namun angka ini kembali merosot pada pemilu 1999 karena hanya mencapai 11,40 persen. Keterwakilan mulai merangkak kembali dan cukup substantif pada pemilu 2009 dengan 18,04 persen.
TIM REDAKSI NYALANYALI