Uba Pasaribu, Bangkit Dan Berjuang Bagi Kaum Marjinal

NYALANYALI.COM, Kisah – Hatinya mudah remuk dan iba melihat para pemulung, Uba Pasaribu (47), bertekat bangkit dan menolong kaum marjinal. Ia tahu betul pahit-getirnya kehidupan pemulung.

“Saya ini pemulung. Jadi kalau melihat kawan-kawan yang hidup di bawah garis kemiskinan, hati saya remuk,” tuturnya saat ditemui ketika menjenguk rekannya yang lumpuh, Orly Panjaitan (54), di Jalan Kangkung, Kecamatan Tanjung Gusta, Gang Nangka, Helvetia, Medan, tempo hari.

Uba mudah sedih tatkala mendengar dan menyaksikan kaum miskin, pemulung maupun kelompok marjinal kesusahan. Ia seperti ingin memberikan dirinya saja menanggung beban penderitaan orang lain. “Mereka itu sebenarnya layak mendapat bantuan dari pemerintah. Namun mereka banyak yang tidak mendapatkannya,” katanya.

Uba mencontoh, ketika mereka sakit, yang mereka mampu membeli obat-obatan hanya obat dari kedai. Sementara, mereka membutuhkan penanganan lanjut ke rumah sakit. Umumnya mereka terbentur di dana. “Jadi mereka kebingungan, dari mana uang untuk berobat ke Rumah Sakit,” ungkapnya lagi.

Menemukan banyak fakta-fakta paradoks, memaksa Uba untuk berpikir bagaimana cara menolong kaum marjinal itu. Ia terbatas pengetahuan, kemampuan dan jaringan bahkan dana. Namun hatinya mengatakan, selalu ada solusi.

“Hati saya terpanggil untuk menolong mereka. Meski saya juga pemulung, hati saya iba tiap kali melihat rekan-rekan saya yang sangat kesusahan. Saya mudah iba. Karena, saya tau betul rasanya bagaimana menjadi orang tak punya. Sehingga, saya melakukannya, bukan karena memiliki banyak uang atau berada, namun karena tau betul, bagaimana menjadi orang yang tak berpunya,” kata Uba.

Pengalaman sakit selama menjadi pemulung menjadi pelecut bagi Uba untuk selalu bekerja tak kenal lelah mendampingi kaum marjinal. Ia telah menetapkan satu moto hidupnya: “Berkarya Dalam Badai”.

Uba adalah satu bilangan dari ratusan pemulung di Medan. Namun ia mampu bangkit dari keterpurukan ekonomi dan jadi pejuang bagi pemulung dan kaum marjinal lainnya. Ia ayah bagi dua anak. Kinerjanya selalu didukung dan disemangati perempuan bernama R Boru Sitangggang, istri sekaligus ibu bagi anak-anaknya. Mereka berjuang bersama meningkatkan taraf hidup kelompok akar rumput.

Upaya mengadvokasi kaum marjinal, awalnya tidak gampang. Ada banyak hambatan dan tantangan. Kadang kala, tantangan datang dari pihak yang didampingi, namun tak jarang pula rintangan muncul dari aparatur pemerintah yang kurang respek dengan masyarakat marjinal.

Dalam pertemuan sore itu, Uba bercerita banyak bagaimana membangun jaringan pertemanan dan strategi mengadvokasi kaum marjinal. Cara menjaring mereka, kata dia, rajin blusukan. “Setiap hari saya bertemu mereka di tempat memulung. Di situ saya selalu bertukar pikiran, dan mengedukasi mereka. Sambil berbagi cerita dan persoalan lainnya. Saya belajar mendengarkan suara mereka,” ujarnya.

Usai menjaring suara-suara kaum marjinal, Uba kemudian memikirkan bagaimana cara menolong mereka. Ada banyak hal teknis yang dilakukannya. Salah satunya, langsung membawa mereka sakit ke rumah sakit.

Tantangannya, banyak dari mereka tidak memiliki jaminan kesehatan. Kenapa mereka tidak punya? Menurut Uba, ada beberapa sebab. Pertama, kaum marjinal ini sebagian tidak memiliki dokumen kependudukan sepasti KTP, Kartu Keluarga (KK), akte lahir, akte kawin dan kartu BPJS Kesehatan. “Sebagian mereka sudah punya KK. Hanya persoalannya bagi mereka yang memiliki identitas, dilakukan pendampingan,” ujar Uba.

Bukan itu saja, ketika para pemulung kesulitan dalam pengurusannya, Uba pun mengambil alih untuk mengurus sendiri. Ia mendampinginya sampai ke kantor BPJS. Tetapi, upaya pendampingan itu tidak semulus yang diharapkannya. Terkadang, di kantor BPJS, ia kerap mengalami kendala.  Seperti aturan di BPJS disebutkan, dalam ke pengurusan harus menghadirkan orang yang bersangkutan. “Sementara, orang miskin yang bersangkutan, sudah sekarat di Rumah Sakit. Ini kan kendala,” kata Uba.

Masalah berikutnya, ketika BPJS sudah selesai, timbul persoalan baru di rumah sakit. “Kita sering temukan persoalan, tiga hari pasien yang kita dampingi belum pulih kesehatannya, malah sudah disuruh pulang oleh rumah sakit,” ucapnya.

Walaupun mengerjakan hal baik, Uba kerap dicurigai sebagai calo. Tidak sedikit cercaan dan kecurigaan dialamatkan padanya tatkala mendampingi kaum marjinal mengurus identitas kependudukan. Tapi ia tidak pernah patah arang. Karena ia yakin apa yang dilakukannya murni untuk menolong orang lain.

Bentuk kecurigaan yang dirasakannya, saat sedang melakukan tugas sosial. Kecurigaan datang dari Aparatur Sipil Negara (ASN) tempat dia berurusan. Padahal, dianggapnya aksi sosial yang diembannya justru meringankan tugas pemerintah. Menurutnya, pemerintah pasti ada juga keterbatasannya dan tak mampu mengkover semua kaum marginal di lapangan.

“Saya kan di lapangan. Saya juga kaum marjinal. Jadi saya tahu dimana dan siapa saja yang hak-haknya terpinggirkan. Saya ini membantu pemerintah. Saya bukam musuh. Tapi kita saling membantu,” kata dia.

DEDY GUNAWAN HUTAJULU
Penulis, Pegiat Komunitas Menulis – Medan, Sumatera Utara

Buku #sayabelajarhidup ke-9 Nusantara Berkisah 01 (2018)

Bagikan :

Advertisement