NYALANYALI.COM, Kisah – Sedikit sekali orang yang tidak menyukai dan mencintai anak-anak, tetapi tidak banyak orang yang benar-benar melakukan sesuatu untuk anak-anak yang bukan anak kandungnya seperti yang dilakukan oleh teman-teman di Komunitas St. Andreas, Borong, Manggarai Timur, NTT.
Ibarat lari maraton, mereka melakukannya tanpa buru-buru namun konsisten.
Daerah Golo Ntoung, Cambir dan sekitarnya adalah bagian dari kota Borong yang terkenal sebagai salah satu sumber sayur mayur. Pasokan sayur dari wilayah ini sangat membantu pemenuhan kebutuhan akan sayur dalam wilayah kota borong dan sekitarnya. Anak-anak di daerah ini terbiasa membantu orang tua mereka untuk menanam, merawat dan menjual sayur; dan ini merupakan salah satu bagian dari cara mereka belajar dan bermain.
Bermain dan belajar versi mereka ini seringkali mengganggu pelajaran dan pergaulan mereka di sekolah dan lingkungan diluar rumah. Membantu orang tua berkebun dan berdagang pada saat yang sama kadang harus ditebus dengan bolos sekolah.
Tentu saja ini akan berpengaruh pada jam masuk sekolah yang ”senin kamis” dan berujung pada penyerapan pelajaran yang tidak maksimal. Konsukuensi logis dari hal ini adalah kemampuan akademis yang biasa-biasa saja bahkan cenderung rendah dan kepercayaan diri yang akhirnya ikut berkurang karena banyak “tidak bisanya” kalau soal pelajaran.
Bermain dan bahagia adalah hak anak-anak.
Tidak ada anak yang dilahirkan bodoh, semuanya hanya tentang mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar. Hal ini yang kemudian yang menjadi pendorong untuk teman-teman Komunitas St. Andreas Borong melakukan langkah-langkah konkrit yang luar biasa menurut saya.
Setiap hari anak-anak yang merasa sulit belajar dan ingin mengejar ketinggalan boleh datang dan belajar bersama di rumah tanta Deo, panggilan anak-anak untuk Christian Sitanggang, pencetus lahirnya komunitas ini. Bersama belajar membaca, menulis, matematika, bahasa Inggris dan mengerjakan PR sambil bermain di teras rumah sudah dilakukan sejak tahun 2017 secara konsisten.
Tidak ada perbedaan perlakuan untuk mereka dalam belajar dan semua dilakukan dengan santai sehingga semua anak bisa merasakan kesempatan yang sama.
“Kalau disekolah muridnya kan banyak, kasian bapak/ibu guru tidak bisa maksimal memberi perhatian untuk setiap anak. Kami hanya membantu untuk memperdalam yang sudah diberikan disekolah”, kata tanta Deo.
Selain membantu perkembangan akademis, yang menarik adalah apa yang dibuat di St. Andreas untuk menumbuhkan dan meningkatkan kepercayaan diri anak-anak.
Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan dengan orang tua yang sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menjadi petani penggarap dan dituntut untuk mandiri sejak kecil tentunya akan berbeda dengan anank-anak lain yang tumbuh dalam lingkungan yang lebih mapan secara sosial dan ekonomi. Beberapa anak kemudian menjadi agak susah untuk didekati dan mendapatkan predikat nakal.
Semua kita tentu pernah menghadapi anak yang nakal, susah diatur dan cenderung “liar”. Banyak penjelasan ilmiah soal ini, google akan menyajikannya dengan sukacita, tetapi sepertinya kalau dibuat sederhana, anak-anak ini hanya butuh perhatian.
Kami yang dibesarkan di Indonesia bagian timur, sangat paham rasanya didikan ala “mama timor” yang sempat ramai dibuat perbandingannya dimedia sosial dengan mama Jawa.
Nada dasar suara yang selalu tinggi ketika bicara, kesempatan bicara buat anak-anak yang hampir pasti sangat minim; anak-anak timur tidak boleh menjawab apalagi membantah dan berargumen dengan orang tua. Orang tua selalu benar, kalau orang tua salah maka bisa dipastikan anak ikut ambil bagian membuat kesalahan itu ada.
Jangan bicara soal pelukan, untuk generasi timur yang lahir sebelum tahun 2000an, pelukan dari orang tua yang konon katanya bisa membantu pertumbuhan fisik dan mental adalah hal langka dan mahal. Sulit sekali orang tua menunjukan kasih sayang dengan pelukan pada anak-anak dan anak-anak yang suka dipeluk akan dianggap sebagai anak manja. Manja tidak ada dalam kamus anak orang timur, manja itu itu adalah kelemahan.
Anak-anak tidak boleh makan kalau orang tua belum makan apalagi kalau ada tamu, alhasil pas makan hanya kebagian kuah dan serpihan lauk, sebagian besar generasi milenial timur saya yakin punya cerita dan drama perebutan lauk di dapur.
Tidak ada yang salah tentu saja, budaya timur memang begitu. Butuh manusia tangguh untuk bisa beradaptasi dengan alam yang keras.
Komunitas St. Andreas melakukan pendekatan yang sederhana dan natural kepada anak-anak. Salah satu tujuannya adalah agar anak-anak tidak mengalami hal-hal yang dialami oleh generasi sebelumnya. Perkembangan tekhnologi dan dunia masa kini sudah bisa beradapasi banyak dengan alam yang keras.
Generasi sekarang lebih dituntut untuk siap beradaptasi dengan lingkungan sosial yang keras. Tidak lagi mendekati anak-anak dengan gaya diktator dan keras. Contohnya kebiasaan menjaga kebersihan badan, mencuci tangan dan membuang sampah pada tempatnya diajarkan sambil bermain tanpa membuat anak-anak merasa harus melakukannya karena takut om Deo, mereka melakukannya karena mereka tahu bahwa hal itu baik untuk kesehatan.
Anak-anak juga diberi kesempatan untuk bicara ketika ada yang ingin disampaikan tanpa perlu takut dan malu, kendala bahasa jadi candaan bukan olokan.
Komunitas St. Andreas juga memerdekan anak-anak dengan lomba baca puisi dan pertandingan bulu tangkis. Orang tua berpartisipasi dengan mempersiapkan lapangan sederhana untuk pertandingan, konsumsi untuk para atlet dan suporter dan panggung perlombaan baca puisi. Tujuan utamanya adalah membangun kepercayaan diri anak-anak. Bukan soal menang kalah tetapi tentang bermain bersama, saling mendukung dan sportifitas.
Bukan hanya tentang membaca puisi dengan baik tetapi bagaimana kepercayaan diri dibangun untuk tampil dan bahwa semua anak punya kesempatan yang sama untuk tampil walaupun membaca masih terbata.
Hal menarik lainnya adalah ketika pada jam makan, anak-anak diberi kesempatan untuk mengambil makanan terlebih dahulu.
Ini terobosan luar biasa.
Teman-teman di Komunitas St. Andreas sudah memulainya dan dengan semua itu mereka hendak menggugah kita semua untuk menyadari bahwa setiap anak istimewa dan berhak untuk bahagia, dan orang tua berkewajiban untuk memfasilitasi kebahagiaan itu.
JEANY WAJONG
ASN – Borong, Flores, NTT
BACA:
Covid-19 “baru sampai” di NTT
Jangan Lupakan Masalah HIV/AIDS