Jangan Lupakan Masalah HIV/AIDS

NYALANYALI.COM, Opini – Bahasan tentang HIV/AIDS semakin ke sini sepertinya semakin tenggelam, seakan kalah pamor dengan pembahasan soal stunting dan Covid-19 dibagian kesehatan dan bahasan politik dari segala lini.

Dulu (benar-benar dulu ketika menyebut tahun 2006-2010), saya bersama suami dan beberapa orang  teman punya semangat yang luar biasa ketika bicara soal HIV/AIDS.  Jemput bola dan mendatangi mereka yang terindikasi atau bahkan sudah positif HIV, entah untuk sekedar ngobrol atau untuk mengajak berobat.

Seiring waktu masing-masing orang punya kesibukan dan kebutuhan hidup yang harus menjadi prioritas, ditambah lagi trauma mendalam karena ada orang dekat yang kemudian terinfeksi dan baru ketahuan ketika sudah parah dan kami pada akhirnya harus merelakan dia dikuburkan dalam kemudaan dan kecantikan yang terampas.

Beberapa waktu terakhir sepertinya ada hal, cerita dan orang-orang yang entah bagaimana kembali mengingatkan dan akhirnya mendekatkan masalah HIV/AIDS kedalam percakapan di lingkungan sekitar. Kembali ada cerita yang dibagi soal ARV, pontang pantingnya teman-teman ODHA karena stok obat menipis dan ketakutan karena stok obat yang katanya kurang, cerita tentang gagal obat yang terjadi karena ketidaktahuan dan/atau kesengajaan, bahasan tentang masalah social yang lumayan bikin merinding senantiasa dan banyak lagi.

Belakangan ditambah lagi bahan diskusinya lagi soal covid, apakah teman-teman ODHA akan lebih rentan, bagaimana mekanisme pengobatan dan ketersediaan obat; banyak ragam diskusi yang berujung pada kecemasan.

Sentakan makin keras ketika bertemu dan ngobrol dengan salah satu ODHA, yang sepertinya merupakan gambaran nyata dari pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”, pas bisa bangun dan mau melangkah eh malah dikejar anjing.

Masih muda, punya suami yang kemudian berpulang lebih dahulu ke rumah abadi dimana tidak ada lagi kesakitan dan penderitaan, punya anak batita yang sudah harus berjuang melawan hepatitis dan punya diri sendiri yang harus berjuang lebih keras melawan virus HIV dengan HB yang sepertinya malas menanjak menuju normal dan harus juga melawan stigma dan diskriminasi demi batita yang butuh seorang mama yang tegar.

Bukan saatnya bertanya darimana dan bagaimana virus itu bisa masuk kedalam tubuhnya.

Bukan saatnya menghakimi kemudaan yang sia-sia karena rasa putus asa dan ketidakpatuhan pada pengobatan yang berujung pada (kemungkinan) resistensi obat. 

Bukan pula hak kita mencari tahu semua itu…..

ODHA dan Populasi Kunci memiliki hak untuk mendapat kualitas pelayanan yang baik, tetapi seringkali tidak mendapatkan haknya karena stigma negative dan diskriminasi dari masyarakat

Kalimat tersebut adalah gambaran dari kondisi yang dialami oleh teman-teman ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dan OHIDA (Orang yang Hidup dengan ODHA).

Berdamai dengan kenyataan terinfeksi virus HIV itu sangat tidak mudah, mengakuinya kepada keluarga dan masyarakat tentu berat apalagi harus menanggung beban berbagai penyakit penyerta yang menggerogoti fisik.

Pemerintah melalui Dinas Kesehatan dan KPAD (Komisi Penanggulangan AIDS Daerah) ditingkat Kabupaten sudah banyak berusaha dan berbuat, tapi like the same and always…..pemerintah dan seluruh jajaran terkaitnya bukan superhero apalagi peri yang bisa mengubah keadaan dalam hitungan bim salabim. Butuh dukungan dari keluarga, lingkungan masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya untuk bersama membantu ODHA, meminimalisir penyebarannya dan mengobati yang sudah sakit.

Masih banyak teman-teman ODHA yang takut untuk membuka diri karena tahu bahwa stigma akan menghalangi mereka bergaul, merusak system di tempat kerja dan bahkan mungkin akan berakhir di pondok kecil di kebun.

Jangan pula heran ketika mendengar masih ada cerita tentang ODHA yang “dibuang”  dari lingkungan dan dibuatkan pondok di kebun, atau pakaiannya dibakar ketika meninggal, dan hal-hal lain yang harusnya sudah tidak terjadi lagi di era “live streaming”.  


Masih ada banyak cerita miris lain yang belum tersentuh, perlu sebuah diskusi dan tindakan konkrit yang dibuat untuk membantu secara berkesinambungan, masalah yang dihadapi oleh teman-teman ODHA sangat beragam. Ada yang sifatnya insidentil tetapi tidak jarang masalahnya seperti rantai yang tidak berujung.

Tentu saja juga tidak bisa disimpulkan bahwa mereka tidak berdaya atau tidak bisa membantu diri sendiri, tetapi kadang stigma dan diskriminasi membuat beberapa pintu kesempatan tertutup dan butuh bantuan orang lain untuk mengetuk atau membuka pintu-pintu tersebut.

Membantu tidak harus selalu dengan uang, tetapi dalam kondisi tertentu uang cukup mudah akan bisa membantu menyelesaikan beberapa soal. Berbuat baik juga tidak harus selalu dalam jumlah banyak, kadang niat tulus dan telinga yang mau mendengar sudah sangat cukup sebagai tabungan kebaikan.

Beberapa teman di kota Ruteng sudah mulai langkah kecil dengan berbagi kopi. Kalau selama ini ngopi hanya sembari ngobrol ngalor ngidul, ghibah dan sekedar a cup of coffee, mungkin saatnya untuk mulai berpikir tentang orang-orang yang jangankan untuk kopi segelas seharga Rp 20.000, untuk makan ketika dirawat di RSUD-pun mereka harus berbagi makanan jatah RS untuk tiga orang. Teman-teman membayar lebih dari harga jual kopi yang mereka minum untuk membantu teman-teman ODHA, namun kegiatan ini untuk sementara tidak dilanjutkan karena pandemi.

Semua orang punya peran dan bagian masing-masing dalam setiap persoalan termasuk soal HIV/AIDS, dan kita masing-masing pula yang menentukan mau ambil peran yang mana. Pemerintah dan jajarannya sudah banyak melakukan bagiannya, dukungan stakeholder lain masih sangat dibutuhkan supaya hasilnya bisa lebih maksimal.

JEANY WAJONG
ASN – Borong, Flores, NTT

Bagikan :

Advertisement