NYALANYALI.COM, Kisah – Sejauh ini, pembacaan sejarah pada umumnya hanya terhenti di ranah kajian pustaka saja, padahal kajian lapangan sangat penting dilakukan sebagai pembuktian teori sejarah dari kajian pustaka yang telah ada. Langkah penelusuran sejarah sampai saat ini akan terhenti jika pembacaan sejarah berada di gerbang mitologi. Berbagai anggapan masyarakat berkembang liar tatkala yang muncul dari sebuah wilayah situs adalah kata ‘angker’. Berangkat dari hal tersebut, peneliti bermaksud merangkum semua kajian yang ada untuk dijadikan bahan dalam penelitian di lapangan.
Watu Gong, kepurbakalaan yang berlokasi di Kabupaten Wonosobo, tepatnya di Kecamatan Selomerto, Desa Tumenggungan, Dusun Sawangan. Watu Gong adalah sekumpulan batuan berbentuk gamelan yang terbuat dari batuan andesit, tersebar di sebuah ladang milik penduduk setempat. Kondisi situs tersebut sangat memprihatinkan, tanpa perlindungan atas ancaman bahaya dari alam maupun manusia. Curah hujan yang tinggi sedikit demi sedikit akan merusak struktur batuan, ditambah lagi dengan minimnya pengetahuan dan informasi masyarakat tentang benda purbakala menambah mirisnya kondisi situs. Hal tersebut diperparah pada beberapa tahun silam, pembangunan pondasi gedung sekolah yang letaknya berdekatan dengan situs memanfaatkan batuan-batuan andesit yang masuk dalam kategori cagar budaya yang seharusnya dilindungi.
Dikenal sejak lama oleh masyarakat, baik dalam maupun luar Wonosobo, Watu Gong mendapatkan perhatian khusus sebagai tempat yang memiliki unsur magis. Terbukti beberapa kali Watu Gong dikunjungi oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap potensi yang ada di dalamnya, baik secara arkeologis maupun karena kepentingan pribadi, seperti iming-iming harta karun yang konon tersimpan di sekitar lokasi. Cerita misteri yang masih kental menyelimuti Watu Gong juga menjadi daya tarik tersendiri terhadap pencinta klenik atau hal-hal yang bersifat supranatural. Bahkan rombongan tim dari televisi swasta yang populer dengan acara ‘Tukul Jalan-Jalan’ pernah datang dan membuktikan sendiri tentang keberadaan Watu Gong dengan beragam cerita misteri yang menyelimutinya.
(Gambar : Salah satu batuan berbentuk gong yang setelah dilakukan penggalian ternyata ditopang oleh sebuah struktur bangunan kuno)
Watu Gong berada di lahan warga setempat. Pemilik lahan menyebutkan, bahwa kondisinya dari dulu sampai sekarang masih sama dan belum ada penelitian dari pihak manapun. Oleh pemilik lahan setiap harinya area situs ditanami tanaman musiman seperti jagung, singkong dan beberapa tumbuhan berkayu keras. Hanya saja, tumbuhan berkayu keras akan tumbang dengan sendirinya pada diameter tertentu. Anomali tersebut seharusnya dijadikan pathokan dalam sebuah penelitian, tetapi nyatanya tidak pernah dilakukan. Observasi dan pendataan yang dilakukan dinas-dinas terkait sampai saat ini belum ada tindak lanjut ke arah kajian. Benda Cagar Budaya (BCB) yang tersebar di area situs juga tidak terawat dan seakan dibiarkan terbengkalai.
Menurut penuturan warga, sekitar 1992 sampai 1997, pendataan atas Benda Cagar Budaya (BCB) telah dilakukan oleh dinas terkait baik Kabupaten Wonosobo maupun Provinsi Jawa Tengah. Sangat disayangkan, upaya dari dinas-dinas terkait hanya sampai pada inventarisasi data saja tanpa adanya kajian lebih mendalam atas BCB tersebut. Sementara itu, mitologi yang terlanjur berkembang di masyarakat masih menjadi menu baku atas pembacaan sejarah karena keterbatasan informasi yang bersifat akademik.
Adalah sekelompok peneliti yang tergabung dalam Tim Peneliti Mandiri, dari beberapa keilmuan mereka berasal : Filologi, Antropologi, Geofisika, Teknik Arsitektur, Teknik Sipil, dan Teknik Indutri, memiliki kepedulian yang sama terhadap sejarah bangsa. Mempertanyakan, ke mana kini peradaban bangsa yang konon katanya sangat maju di era lalu seakan hilang tak berbekas? Pada tahun 2016, berusaha mengurai sejarah yang ada di Watu Gong. Tidak berkeinginan muluk-muluk, tidak juga inginkan sebuah kepopuleran, hanya ingin mendedikasikan ilmunya untuk masyarakat, benar-benar untuk masyarakat, sebagai sumbangsih dan kecintaan terhadap Bangsa Indonesia.
Jarak tak lagi menjadikannya hambatan, Surabaya – Wonosobo PP sudah biasa mereka lakukan. Bermandikan peluh karena terik sang surya atau menggigil kedinginan di malam hari karena berada 800-an meter dpl sudah menjadi santapan sehari-hari mereka, karena begitu besarnya semangat untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada bangsa dan negara. Sebungkus makanan berdua,ukuran mini dengan sebutan ‘sega kucing’ dan air putih sudah cukup untuk menuntaskan hasrat lapar dan haus selama di medan riset.
(Gambar : Tim Peneliti Mandiri dari berbagai disiplin keilmuan berfoto di depan basecamp penelitian Watu Gong
Penelitian dilakukan selama satu tahun lebih tiga bulan, dana tidak lagi mereka keluhkan, semua dilakukan secara mandiri, berswadaya, tanpa campur tangan pihak lainnya. Bagi mereka itulah ibadah, bermanfaat bagi lainnya, karena mereka tidak sedang berhitung dengan Tuhan. Pendekatan yang mereka gunakan sangat sederhana, kearifan lokal. Metode yang mereka gunakan kadangkala memancing cibiran dan tawa ejekan para ahli yang sesungguhnya mereka sendiri tidak melakukan apa-apa.
Jika dianalogikan, bagaimana cara kita yang berada di Surabaya dapat mencapai Jakarta? Kita akan memiliki banyak cara untuk sampai ke tujuan, ada yang berkendaraan pribadi atau umum, naik mobil, kereta, bahkan pesawat menjadi pilihan praktis agar cepat mencapai tujuan. Begitulah kami memahaminya sebagai metode. Di setiap keilmuan memiliki metode yang berbeda-beda, bukan berarti jika tidak menggunakan metode A dianggap salah, atau menggunakan metode B dianggap melanggar aturan. Sekali lagi tidak seperti itu. ini murni keilmuan, bukan hanya karena ke-egoan atau hitungan kapitalis semata.
(Gambar : kebersamaan Tim Peneliti Mandiri dengan masyarakat lokal dalam melakukan geolistrik untuk mendeteksi sebaran batuan di dalam permukaan tanah)
Data penelitian didapat, jika bicara tentang hasilnya, luarrr biasssa… tidak salah jika Nusantara sampai saat ini menjadi tanah rebutan dan incaran banyak bangsa di dunia, tanpa kita sadari. Begitu cerdas dan lihainya sang pendahulu menyembunyikan warisannya, bukan karena mereka tidak mau berbagi dengan penerusnya, justru mereka menyimpan untuk dihadiahkan kepada sang anak-cucu, dengan anggapan suatu saat jika telah tiba waktunya, warisan tersebut akan berada di tangan yang tepat. Memahami itu, kita yang berada di era kekinian, kata orang zaman serba canggih, menjadi merasa kecil dan tampak semakin bodoh.
Watu Gong, sebaran batuan itu ternyata bukan hanya tembung ndilalah, tapi sebuah sandi untuk dipecahkan. Jarak yang hampir simetris dan seakan membentuk sebuah denah itu juga bukan tanpa maksud, itulah karya agung dari tingkat kecerdasan tinggi sang leluhur. Secara titik koordinat area Watu Gong berada tepat di antara Gunung Sindoro – Sumbing, ditarik garis lurus berada tepat di Gunung Slamet.
(Gambar : area Watu Gong yang diberikan tanda panah, berada di antara Gunung Sindoro – Sumbing, dan jika ditarik garis lurus berhadapan dengan Gunung Slamet)
Watu Gong, tersembunyi ratusan tahun lamanya, sudah tiba saatnya dirimu menunjukkan realita pada Nusantara dan dunia, begitu cerdasnya perancangmu, begitu cermatnya petungan sang pendahulu sehingga disembunyikannya dirimu dari peradaban yang berniat merusakmu. Kini, Gong itu telah ditabuh, berbunyi, “Glung… glung… glung”, pertanda tabir misterimu terbuka. Selanjutnya, ‘pertunjukan’ apakah yang dimainkan Sang Sutradara?
AGUSTIN ARIANI – Wonosobo, Jawa Tengah
Buku #sayabelajarhidup ke-9 Nusantara Berkisah 01 (2018)