Kabar Kerabat Mancanegara, Bertahan Saat Pandemi Covid-19 di Rantau

NYALANYALI.COM – Suasana pandemi Covid-19 sudah begitu dekat dengan kehidupan warga saat ini. “Pada akhirnya kita diharapkan  bisa melakukan resiliensi, yaitu kemampuan untuk mengendalikan keadaan agar tetap berfungsi  secara kompeten dalam menghadapi berbagai tekanan hidup, jadi kondisi-kondisi yang terjadi saat ini sebetulnya  akan bisa mengasah orang-orang menjadi lebih tangguh,” ujar psikolog Ajeng Raviando, Psi..

Jika, kondisi pandemi di berbagai Indonesia bisa dengan mudah kita dapatkan informasi melalui berbagai media, bagaimana keadaan pandemi Covid-19 di mancanegara? Beberapa WNI yang saat ini tinggal di luar negeri menceritakan pandangan matanya mengenai situasi dan dampak yang mereka rasakan. Begini kisahnya:

Ivo White
President Minnesota Indonesian Society (MIS) periode 2020-2022
Stylist @Banana Republic @Mall of America

Minneapolis -Minnesota, Amerika Serikat

“Sejak 2013 saya tinggal di Plymouth, Minneapolis -Minnesota (Midwest) Home of Vikings, Amerika Serikat. 

Saat pandemi, bulan Maret tahun ini, keadaan di Minneapolis, Minnesota tidak terlalu mengkhawatirkan sebenarnya. Daerah ini  kena lockdown sejak Maret situ elama dua bulan. Saat itu saya sedang ambil computer course dan bekerja di dental clinic, otomatis tempat kursus pun lockdown dan saya kehilangan pekerjaan. 

Setelah dua bulan lockdown kemudian dibuka kembali, aktivitas mulai berjalan dengan new normal, social distancing dan  harus memakai masker. Restoran-restoran pun hanya boleh menerima sejumlah costumer sesuai yang diperbolehkan. 

Hampir semua pekerja di pemerintah bekerja dari rumah kecuali sektor retail. Dan sepertinya berjalan lancar. Namun, ternyata gelombang kedua pandemi merebak lagi di Amerika dan Minneapolis, Minnesota pun tidak terelakkan. Dan sejak dua minggu yang lalu, Gubernur Minnesota mengumumkan status lockdown kedua. Mal-mal masih boleh buka, retail juga boleh buka,  tetapi restoran hanya boleh untuk order dan curb pickup saja.”

Lakso Anindito
Mahasiswa Swedish Institute Scholarships for Global Professionals
Lund, Swedia

“Saya sejak pertengahan 2020 tinggal di Lund, Swedia. Saya belajar di Swedia menggunakan beasiswa Swedish Institute Scholarships for Global Professionals dari pemerintah Swedia.

Terkait penanganan Covid 19, Swedia memiliki pendekatan berbeda dengan negara lain karena tidak melaksanakan lockdown maupun kewajiban untuk penggunaan masker. Sebagai informasi, pengambilan kebijakan kesehatan di sini sangat unik karena memang wajib didasarkan pada badan yang dipercayakan untuk memberikan rekomendasi pada saat penanganan wabah atau penyakit lainnya. Artinya pemerintah maupun parlemen akan menjalankan apapun rekomendasi dari  badan yang dipimpin Anders Tegnell sebagai State Epidemiologist.

Pada salah satu wawancara, Tegnell mengatakan bahwa pilihan tidak lockdown dan tidak wajib masker diambil sesuai culture masyarakat Swedia yang dianggap dapat bertanggungjawab atas pribadinya masing-masing dan lebih berkelanjutan. Selain itu, tracking dilakukan secara masif serta masyarakat dapat melakukan tes dengan gratis ketika menunjukkan tanda-tanda terkena Covid sekecil apapun.

Selain itu, khusus di kota saya tinggal, di Lund, Wali kota Philip Sandberg, sempat terkenal di dunia karena menyebarkan kotoran ayam di wilayah-wilayah publik untuk mencegah orang berkumpul karena baunya, dan di sisi lain menggunakan pendekatan ini untuk menyuburkan tanah.  

Angka Covid-19 di Swedia sempat menurun pada titik yang termasuk paling rendah di Eropa pada musim panas dan awal musim gugur. Tetapi, saat ini jumlah meningkat kembali sehingga pemerintah memperketat pertemuan dengan memberikan batasan satu meja hanya boleh maksimal 8 orang dan ini tidak berlaku untuk kegiatan di luar kota.

Di sisi lain, terdapat batasan buka restoran dan kafe sampai pukul 22.00. Pada kondisi sulit ini, di Lund, ada kebijakan Wali Kota Lund yaitu memberikan voucher belanja bagi para pegawai pemerintah Lund. Menariknya adalah voucher itu hanya bisa dibelanjakan di toko lokal. Artinya selain menolong kesulitan pegawai, ada upaya untuk mendorong ekonomi lokal tetap hidup.”

Yuliani
Domestic Helper/ Asisten Rumah Tangga.
Goldhill Avenue Singapore

“Saya tinggal di Singapore sejak 2004. Alhamdulilah, Singapore sudah mulai berbenah dari pandemic Covid-19. Saat lockdown di berlakukan dari bulan Maret 2020, kini Singapore perlahan mulai membuka kembali wisatawan asing walau masih dibatasi. Ada aturan yang sangat ketat, perlu biaya $2000 untuk masuk Singapore untuk karantina selama 2 minggu disini.

Semua terdampak, banyak juga yag kehilangan pekerjaan akibat pandemi ini, dan aku selalu berdoa semoga majikan saya tidak sampai kolaps sehingga tenaga saya masih di pekerjakan di sini.”

Fittont Indra Sani
Pegawai sawasta
Kanagawa Perfecture Yokohama City, Yokohama, Jepang

“Saya tinggal di Jepang sejak Juli 2004. Pandemi Covid-19 di Jepang, sebenarnya 4 bulan yang lalu Jepang sudah mulai longgar. Pemerintah mulai memperbaiki perekonomian dari sektor wisata, hotel dan restoran. Ini yang terdampak besar sekali. Akhirnya pemerintah membuat gerakan “Go to Travel” untuk wisata dalam negeri dengan diskon besar-besaran untuk wisatwan yang menginap di hotel dan berkunjung ke restoran. Tujuannya agar usaha industri pariwisata hidup kembali.

Nah, cuma pada November kemarin, kasus Covid-19 malah hampir seluruh provinsi jadi meningkat antara lain di Tokyo, Osaka, Hokkaido. Akhirinya pemerintah baru-baru ini membatasi dan menutup program “Go to Travel” itu.

Tentu saja situasi ini berdampak pada pekerjaan saya yang bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja. Dari Maret lalu, saya sudah tidak bisa dinas ke Jakarta lagi. Dan pemagang yang harusnya datang ke sini menjadi ditunda. Baru Oktober pintu perbatasan Jepang dibuka untuk orang Indonesia, boleh masuk yang punya visa pemagang atau perawat. Barulah mulai bulan ini yang dari awal tahun harusnya masuk Jepang, sekarang sudah bisa masuk kembali. Dengan syarat harus karantina dulu 14 hari. 

Tapi, November ini meningkat lagi. Takutnya ada perubahan kebijakan lagi. Terus untuk pekerjaan yang tadinya perusahan Jepang sudah mengambil para pemagang pun juga jadi harus mengeluarkan uang banyak. Biaya tiket mahal. Belum lagi karantina 14 hari di hotel itu biaya semuanya tanggungan perusahan tersebut. Semalam sekitar 7000 yen sekitar Rp 945 ribu rupiah kali 14 hari  jadi Rp 13,230 per orang. Kalau untuk tiga pemagang maka perusahaan harus mengeluarkan dana ini sekitar Rp 40 juta-an.

Akhirnya ada yang membatalkan kontrak tidak jadi mengambil, karena perusahan tersebut keuangan juga sedang tidak bagus. Kasihan ke anak-anak pemagang dalam kondisi ini. Sudah lama menunggu, visa sudah dapat tapi ditunda. Dan tentu pemasukan perusahan saya juga jadi menurun. Di sini tidak ada ketentuan denda pelanggar protocol Kesehatan, karfena rakyatnya sudah taat aturan semuanya.

Di sini saya masih aktivitas pulang pergi ke kantor masih naik kereta. Pergi padat, pulang juga padat. Padahal Tokyo sudah makin banyak kasus Covid-19. Tapi masuk kerja tiap hari, tidak ada work from home, jenis pekerjaan saya tidak bisa dikerjakan dari rumah, jadi harus ke kantor. Di sini juga tidak ada sekolah online, anak—anak  tetap sekolah sejak Juni lalu, sempat diliburkan Maret-Mei. Selama libur cuma disuruh mengerjakan tugas saja.”

Dian Nugraheni
Sandwich maker di Leo’s GW Deli, Washington, DC
Arlington County, Virginia, Amerika Serikat

“Saya tinggal di Amerika Serikat sejak 2009. Selama pandemi Covid-19 ini, perlahan bisnis kecil maupun menengah bertumbangan. Banyak orang diberhentikan kerja, atau dikurangi jam dan hari kerjanya. Orang-orang yang kehilangan pekerjaan boleh apply unemployment dan akan mendapat transferan dana per orang  sebesar US$300 per minggu.

Para pekerja yang pekerjaannya bisa dilakukan secara jarak jauh, maka mereka work from home. Essensial worker tetap harus bekerja di luar rumah. Anak-anak sekolah school from home. Banyak bantuan berupa bahan makanan yang terdiri dari bahan makanan 4 sehat 5 sempurna, yang datang dari berbagai penjuru.  Ada stimulus yang diberikan oleh pemerintah, meski baru saatu kali sejak terjadinya pandemik.

Memakai masker adalah mandatory, tapi banyak juga yang tetap ngeyel. Saat ini pandemi memasuki gelombang kedua, jumlah orang yang terkena Covid-19 dan harus dirawat di rumah sakit jauh lebih banyak ketimbang ketika pas gelombang satu pandemi,

Vaksin untuk Covid-19 sudah mulai diproduksi, oleh perusahaan farmasi Pfizer dan Moderna. Kelompok yang pertama kali akan mendapat vaksin adalah para pekerja kesehatan, lalu para lansia, kemudian anak-anak. Orang-orang lain akan menunggu sampai ketiga kelompok tersebut terpenuhi.”


Rima K.Moedjiono (Riema Lee)

Pengusaha kuliner Fajar Catering, Pengajar Bahasa dan budaya Indonesia untuk perusahaan Korea
Incheon, Bupyeong, Korea Selatan

“Saya tinggal di Korea Selatan sejak 2002. Nah, mengenai situasi di Korea saat pandemi ini, semua masih tetap berjalan normal, walau banyak pembatasan jam kerja buat restoran, kafe, tempat-tempat olahraga  seperti fitness atau Gym Center. 

Sekolah-sekolah masih online. Walau beberapa bulan lalu sempat sekolah dengan tatap muka. Tetapi karena saat ini darurat naik level 2.5, jadi semua kegiatan sekolah dilakukan secara online kembali. Banyak kegiatan dilakukan secara virtual atau online seperti saat saya mengajar masak-masakan Indonesia pun dilakukan secara online. 

Semua aktivitas erekonomian tidak berpengaruh, tetap normal. Bantuan sosial dari pemerintah disalurkan secara rata dengan kebijaksanaan per daerah. Untuk saat ini, kasus Covid-19  di Korea meningkat lagi karena juga saat ini memasuki musim dingin jadi virus cepat berkembang. Penanganan pasien Corona juga sangat bagus di sini.

Saat ini bila memasuki Korea saat setelah dari luar negeri, diharuskan karantina mandiri 14 hari, ini juga sebagai persyaratan utama saat pengajuan visa, jadi alamat harus disertakan. Dan alamat tersebut akan dicek kebenaranya dengan koordinasi pusat kesehatan masyarakat daerah. Bila pemilik rumah atau alamat tidak sesuai, maka bila sudah sampai Korea pun akan ditolak dan dideportasi. Untuk hal ini, Korea Selatan sangat ketat dan tegas.

Penanganan Corona sungguh serius, setiap waktu pemberitahuan kasus baru selalu disampaikan via handphone secara transparan hingga masyarakat semakin waspada. Bila di daerah kita banyak kasus Covid-19 atau tidak. 

Utk pemakaian masker,  di Korea hukumnya wajib. Bila kita di luar ruangan ketahuan tidak bermasker akan ada sanksi hukum denda atau penjara  (denda sekitar 100.000₩ bagi perorangan, 300.000₩ bagi suatu kelompok atau orgsnisasi)

Bila tidak memakai masker tidak diperkenankan naik kendaraan umum seperti taksi, bus, kereta api dan lainnya. Saat ini sementara waktu, karena sudah level 2.5, maka  untuk kafe, restoran, tempat olahraga, pusat pembelanjaan semua harus tutup pukul 21.00 waktu Korea, untuk restoran hanya boleh melalui pemesanan dengan pengiriman saja.”

URRY KARTOPATI & TIM REDAKSI NYALANYALI.COM

Bagikan :

Advertisement