AKU DAN RAHWANA…

NYALANYALI.COM, Cerita – Pagi-pagi sekali aku datang kepada Rahwana. Pintu berlapis dan penjagaan bertingkat harus aku lalui. Hanya untuk bisa wawancara dengannya. 

Membuat janji wawancara pun sudah sedemikian lama.

Dia duduk di singgasana, wajahnya muram. Tanda tak baik kelihatanya. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja jati ukiran lama di depannya. Sesekali tangan bersedekap di depan dada. Jam berdentang keras sekali, tujuh kali.

Kami hanya berdua. Aku dan Rahwana.

Para pengawal dan pegawai yang semula menunduk-nunduk di depannya tadi ia suruh keluar, dengan cukup menggerakkan jari-jarinya. Mereka paham, segera berebutan keluar pintu ruangan berpendingin sangat dingin itu.

Rahwana menghela napas, kemudian ia duduk, tak seperti duduk tapi mengempaskan tubuhnya lebih tepat ke kursi kulit lembu. Melalui gerakan tangannya pula, ia menyuruhku duduk.  Duduk tepat di depannya. Ini kursi berlapis kulit lembu terbaik yang pernah ada pikirku, 

Dia memandangku tajam. 

“Aku tahu yang ingin kau tanyakan,” katanya, suaranya setengah menggeram.

“Bagaimana bisa tahu, saya belum mengirimkan daftar pertanyaan dan belum bertanya sampai detik ini juga?” 

“Tapi, aku tahu…”

Aku diam, memberi ruang kepadanya untuk bicara lanjutannya.

“Kau dan mediamu itu, pasti akan bertanya tentang banjir di banyak tempat, di tempat yang tak pernah banjir sekalipun di negeri ini, karena aku tak melakukan kebijakan keras untuk melarang perusahaan-perusahaan itu memotong pohon-pohon di rimba berjuta hektare.”

Ya, tentu saja aku akan bertanya itu. Bagaimana tidak? Banjir kemudian menjadi persoalan sosial, urusan publik.

“Kau lalu akan bertanya, tanggapanku terkait pertambangan yang masif sehingga membuat tanah menjadi kopong, persis tahu pong, semua digali, dikuras semua isinya. Kemudian banyak perusahaan meninggalkannya dalam kondisi danau-danau buatan yang mengerikan.”

Ya, aku akan bertanya tentang itu.

“Kau juga akan bertanya, ke mana saja aliran uang itu semua. Apakah aku dapat, anak-anakku dapat, partaiku dapat, orang-orang semua yang selalu menyanjungku dapat. Kau akan tanya siapa saja yang merasakan hasil dari semua itu.”

Ah, dia tahu yang kupikirkan dan kubayangkan akan menjadi headline tulisanku.

“Kau akan bertanya, bagaimana sampah makin menggunung, tingginya bisa sampai setinggi bangunan tempat kita bicara sekarang, bagaimana ikan-ikan kita mati karena perutnya penuh plastik, macan-macan lari ke perkampungan mencari makan, buaya tak lagi di muara karena muara sudah tak ada…”

Aku siap membuka mulut, tapi dia segera menyergah.

“Tunggu, aku belum selesai bicara. Gorong-gorong tersumbat… dan,….”

Rahwana berdiri  dari duduknya, telunjuknya mengacung ke arah jendela.

“Kau akan bertanya tentang polusi yang sesak itu dari perusahaan rekananku yang mana lagi, dan orang-orang yang mati setiap menghisapnya kemudian. Kau akan bertanya ini dan itu. Aku sudah tahu”

Lelak besar itu kembali mengempaskan ke kursi kulit lembu.

“Jika Tuan, sudah tahu. Memudahkan bagi saya, tak perlu membuat pertanyaan, silakan saja dijawab seluuruh pertanyaan itu. Saya akan mendengar dan mencatatnya”

Lelaki itu mendelik. Matanya seperti mau keluar. Aku sangat sadar pertanyaanku tentu saja menyinggungnya. Siapa tak kenal Rahwana, penguasa negeri. Setiap orang menunduk-nunduk kepadanya, suara apapun harus lebih pelan darinya. Setiap perkataannya adalah hukum kebenaran yang harus segera ponting panting dilaksanakan. Apapun yang diucapkan adalah kebenaran saja, bagi para penghambanya.

“Aku tak mau menjawab, satupun pertanyaanmu. Satupun tak akan aku jawab,” suaranya bergetar.

“Jika begitu, mengapa saya diminta datang untuk wawancara ini hari?”

“Aku hanya ingin melihatmu. Orang seperti apakah dirimu?”

“Setelah bertemu ini, apa pendapat Tuan?”

“Bagaimana mungkin orang sepertimu berani bertanya kepadaku. Bagaimana mungkin orang yang datang ke gedung terhormat ini, bisa berpikir lancang ingin mengorek semua dariku.”

Kemudian dia diam. Aku pun diam. Apalagi yang bisa aku katakan?

“Tahukah Tuan, apa yang terjadi jika bumi dan langit ini sangat begitu mengenalmu. Mengenal dengan sangat baik diri Tuan?”

“Aku tak mengenal bumi dan langit.  Aku hanya mengenal yang aku mau kenal dan tahu, meskipun tanpa bumi dan langit sekalipun.”

“Tuan…”

Aku berdiri.

“Tahukah Tuan, Shinta telah menjadi bumi yang diperas setiap hari oleh orang-orangmu. Bencana di mana-mana karenamu, memang tidak secara langsung dari tanganmu, tapi ada peran Tuan, ada nafsu Tuan. Bukankah Tuan sangat mencintainya? Tapi Tuan biarkan bumi dianiaya begitu rupa”.

Aku melanjutkan.

“Tahukah Tuan, Rama telah menjadi langit. Ia terus mengawasimu setiap hari. Dia tinggal melepaskan anak-anak panahnya satu hari, karena Tuan dan gerombolanmu membuat sengsara dan mencoreng nama semesta. “

Aku melanjutkan.

“Jika diijinkan bertanya, aku ingin bertanya, Tuan….”

Wajah Rahwana berubah sedemikian rupa, antara duka dan takut yang meraja. Kegarangannya entah hilang tersapu banjir yang mana. Kesombongannya entah tertelan mulut koruptor yang mana.

“Bertanyalah”

“Apakah Tuan bahagia dengan yang sudah Tuan lakukan, merusak bumi dan menyakiti langit?”

Aku kemudian keluar pintu. Rasanya tak perlu berlama-lama.

Aku mengangguk kepadanya. Lelaki gagah perkasa itu tertunduk layu. 

Aku menutup ruang kerjanya, pelan.

Dan, sekilas aku mendengar Rahwana menangis. Ia menyebut nama Shinta dan mohon ampun kepada bumi berkali-kali.

Aku melihat, langit mulai membelah.

Pondok Labu, Selasa Pahing, 26 Januari 2021

DIAN ANDRYANTO
Penulis #sayabelajarhidup

Bagikan :

Advertisement