NYALANYALI.CO, Kesehatan – Hari AIDS, 1 Desember, pemahamannya tentu seharusnya tak sebatas lambing pita merah semata, Ada yang lebih dari itu. Duapuluh – tigapuluh tahun lalu, banyak orang masih menganggap angin lalu persoalan penyebaran virus yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh. Awal tahun 1990-an kemudian, orang-orang mulai terbuka mata dan pikirannya tentang dampak yang ditimbulkannya. Empat huruf, AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) seakan menjadi momok manusia bumi. Pita merah kemudian banyak dikenakan sebagai kepedulian terhadap korban yang tak sedikit berjatuhan.
Badan kesehatan dunia pun mencanangkan setiap 1 Desember sebagai peringatan eksistensi penyakit maut yang ditemukan sejak awal tahun 1980-an itu. Pada 2001 UNAIDS (United Nasional Joint Program on HIV/AIDS) memperkirakan jumlah ODHA mencapai 40 juta. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen tersebar di sub Sahara, Afrika. Belum lama ini, UNICEF atau badan PBB urusan anak-anak, mengatakan 18 juta anak-anak di kawasan sub Sahara Afrika bisa menjadi anak yatim karena AIDS sebelum akhir tahun 2010.
UNAIDS merilis laporan baru pada November 2020, bahwa sebanyak 24,5 juta penderita HIV-positif sudah menerima pengobatan hingga pertengahan 2019. Meningkat 1,2 juta orang dalam durasi enam bulan terakhir. Jumlah tersebut merupakan dua pertiga dari seluruh populasi yang terinfeksi virus di seluruh dunia. UNAIDS mencanangkan 30 juta penderita HIV-positif mendapatkan terapi anti-retroviral pada pengujung 2020.
Meskipun diskriminasi terhadap penderita AIDS semakin hari, nampak berkurang, tapi kewaspadaan terhadap AIDS pun kelihatan makin berkurang pula. Beberapa tahun lalu, selebritis, publik figur, tokoh masyarakat, bahkan pers beramai-ramai menunjukkan peduli AIDS, belakangan kepedulian itu makin menipis seiring merosotnya “trend” AIDS sebagai bahan pembicaraan. Memprihatinkan.
AIDS sebagai sekumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). “Jika HIV berhasil masuk ke tubuh seseorang, maka yang akan diserang adalah sel darah putih. Itu sebabnya penderita HIV begitu mudah terserang penyakit,” kata Robiyana, koordinator rekruitmen dan pelatihan Yayasan AIDS Indonesia .
HIV, si biang itu hidup pada cairan tubuh seseorang yang sudah terinfeksi, seperti dalam darah, sperma, atau cairan vagina. Tidak ada tanda khusus atau gejala-gejala yang menandakan seseorang terjangkit HIV. Satu-satunya cara mendeteksi hanya dengan tes darah. dr. Kartono Mohammad pernah mengatakan, penderita HIV bisa hidup normal laiknya orang biasa sekitar lima sampai 10 tahun. “Takdir itu di tangan Tuhan, jadi tidak benar jika penderita HIV positif langsung divonis tidak bisa bertahan lama. Semangat hidup mereka turut mempengaruhi,” katanya, beberapa tahun lalu.
Berbagai faktor turut memicu semakin bertambahnya korban akibat keganasan virus yang belum ditemukan penawarnya ini. Mulai gaya hidup, kemiskinan, pendidikan yang rendah serta sosialisasi yang kurang turut membawa Indonesia dalam daftar masyarakat rawan HIV/AIDS. Sebagai catatan, kasus AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada 15 April 1987. Seorang wisatawan Belanda, Edward Hop, 44 tahun, dinyatakan meninggal karena AIDS di Rumah Sakit Sanglah, Bali.
Hal tersebut juga diperparah kurangnya kesadaran masyarakat bahaya AIDS. Masyarakat diharapkan harus aktif dalam upaya pencegahan HIV/AIDS, karena virus ini hanya bisa dicegah , tidak bisa diobati,
Kurang kepedulian masyarakat terjawab dengan data-data yang menunjukkan penderita HIV/AIDS semakin bertambah dari tahun ke tahun. Hingga Juni 2005, di Indonesia sudah tercatat 3.739 untuk HIV positif dan 3.359 untuk AIDS positif, sedangkan yang meninggal sudah mencapai 828 orang. Indonesia saat ini menempati posisi ketiga di Asia-Pasifik, setelah India dan China. Jumlah pengidap HIV/AIDS pada 2019 meningkat 30 persen dari sebelumnya hanya 15 persen dibanding tahun 2018.
Pada 2019, DKI Jakarta menjadi daerah terbanyak penderita HIV di Indonesia. Sementara, Papua menjadi daerah terbanyak penderita AIDS. Menurut Kemenkes RI per tanggal 27 Agustus 2019, penderita HIV di DKI Jakarta masih terbilang banyak, yaitu 62.108 jiwa. Kemudian disusul Jawa Timur 51.990 orang, Jawa Barat 36.853 orang, Papua 34.473 orang, dan Jawa Tengah 30.257 orang.
Angka-angka yang tercatat tadi merupakan fenomena gunung es. “Angka itu berasal dari mereka yang melapor setelah mengetahui positif HIV, tapi jumlah yang tidak melapor tidak pernah kita tahu,” kata Robiyana.
Selain kurangnya kesadaran masyarakat, penyakit ini memang belum ada penawarnya. Kalaupun ada, itu hanya sebatas penghambat pertumbuhan HIV di tubuh. ARV (Antiretrol Viral) menjadi santapan wajib bagi penderita HIV/AIDS. Obat ini tersedia dalam berbagai jenis, tergantung kebutuhan penderitanya. Tanpa ARV, seseorang postif HIV akan mudah terserang penyakit. Bahkan dia bisa meninggal hanya karena flu maupun diare. Fungsi obat tersebut supaya daya tahan tubuh tidak cepat habis, tapi tidak untuk memusnahkan HIV-nya.
Memang, belum ada yang tahu pasti bagaimana sebenarnya sejarah virus HIV. Banyak pakar menduga, virus mematikan ini berasal dari binatang babon, sejenis kera yang hidup di Afrika. Tapi, ada juga yang beranggapan HIV muncul karena perkembangan lingkungan yang memaksa mereka untuk migrasi mencari tempat baru. “Mungkin contoh kasusnya seperti flu burung saja, mengapa penyakit ini baru ada sekarang? Mengapa tidak dari dulu?” kata Robiyana.
Menyadari sebuah gaya hidup tak harus berakibat AIDS, satu langkah bijak. Sematkan pita merah, sekarang.
URRY KARTOPATI
dari berbagai sumber – Ilustrasi Foto : Woman photo created by master1305 – www.freepik.com