Tetap Merajut Tak Kenal Pandemi

NYALANYALI.COM, Kisah – Tahun 1981, saat  kelas 1 SMP, guru PKK mengajak kami membuat serbet berhias rajutan di sekelilingnya, rajutan sederhana dengan cara crochet atau merajut satu jarum. Seluruh murid perempuan di kelas tidak ada yang bisa melakukannya walau ditutor langsung oleh guru. Saya dapat mengerjakannya dengan mudah, bahkan selama jam pelajaran tersebut saya berhasil selesaikan empat serbet. Akhirnya, saya Bersama bu guru mengajari kawan-kawan satu kelas.

Bukan hal mudah bagi mereka yang masih awam dengan crochet, karena mengait benang lalu mengubahnya menjadi jalinan yang indah benar-benar butuh perjuangan. Walaupun sebenarnya tidak susah-susah amat, namun bagi pemula semua stitches/tusuk rajut nampak sama walau sebenarnya berbeda satu dengan yang lainnya.

Saya menikmati proses mengajari kawan-kawan, step by step-nya, dan turut gembira bila mereka memahami yang saya ajarkan lalu berhasil membuat produk dengan sempurna.

Sejak itu mulai suka kegiatan merajut. Tapi jauh sebelum itu, pada 1978 , saat kelas 4 SD saya ikut kursus merajut satu jarum (crochet). Orang tua mendaftarkan saya ke sebuah sekolah jahit/ modeste yang juga membuka kelas merajut di Semarang.

Sebenarnya saya tidak menyukai kegiatan ini, karena semua muridnya adalah orang-orang tua yang (cuma) merajut syal, taplak meja, dan tas bunga-bunga. Sangat membosankan, karena saya satu-satunya anak kecil di sana.

Dimasa itu,  belajar merajut tidak semudah sekarang, karena bahasa symbol (gambar) rajut belum dikenal luas seperti sekarang. Kami hanya mengikuti step-step yang dicontohkan guru, tanpa diajarkan bagaimana membaca pola gambar. Tahun 1986 saya mengikuti kursus merajut dua jarum (knitting) dan macramé, di Jakarta. Knitting ternyata lebih simpel dan sederhana caranya dibandingkan crochet, namun saya menyukai keduanya. Hingga kini, tidak terhitung lagi berapa banyak produk yang sudah saya buat.

Satu hal yang tidak pernah saya sadari sebelumnya adalah kenyataan bahwa saya ternyata menyukai proses belajar dan mengajar merajut. Saya bisa meyakinkan para pemula bahwa merajut bukan sesuatu yang sulit. Merajut adalah sebuah bentuk kesenangan.

Kecintaan pada kegiatan merajut akhirnya saya wujudkan dalam sebuah buku yang saya tulis dan diterbitkan pada 2010. Dalam buku ini saya mengenalkan konsep pembelajaran dasar-dasar merajut crochet yang dipadatkan sebagai materi belajar selama tiga hari dengan tingkat kesulitan yang disesuaikan dengan produk yang dibuat.

Konsep ini telah saya terapkan pada pembinaan ibu-ibu PKK di kelurahan Lebak Bulus dan para pelaku UMKM dibawah naungan yayasan Tangan Di Atas (TDA) Jakarta.

Dulu saya sempat ikut komunitas merajut, namun sekarang tidak. Beberapa tahun lalu saat kegiatan merajut mulai booming di media sosial, saya pernah bergabung di komunitas rajut dan turut mensponsori beberapa kegiatannya.

Sekarang saya tidak ikut komunitas rajut kecuali menjadi anggota pasif beberapa grup rajut dari luar negeri. Menurut saya, mengajar merajut lebih berguna bagi dibanding  berkegiatan dalam komunitas rajut.

Merajut adalah salah satu bentuk ‘meditasi aktif’ atau meditasi gerak, dimana kita dengan kesadaran penuh dan fokus mengulang-ulang gerakan, membuat beberapa pola dan bentuk dari benang, hingga menjadi sebuat produk yang indah.

Kegiatan ini tanpa disadari merupakan gerakan meditatif yang menghasilkan rasa nyaman dan tenang bagi mereka yang sudah bisa merajut. Waktu yang terbuang tidak sia-sia karena kita menghasilkan produk rajut.

Inilah yang menarik dari kegiatan merajut. Selain memberi ketenangan dan perasaan nyaman bagi pelakunya, merajut adalah sebuah kegiatan yang produktif.               

Pandemi tidak menghalangi kegiatan saya merajut. Saya tetap mengajar orang yang mau belajar atau tetap mengisi waktu senggang dengan kegiatan ini.

Saya tidak menjual produk secara konsisten, biasanya bila ada yang tertarik pada produk yang saya buat maka mereka akan membelinya. Artinya, saya tidak dengan sengaja membuatkan sesuatu untuk calon pembeli. Rajutan adalah produk yang ekslusif, artinya tidak dijual secara umum alias limited edition. Sehingga bisa diduga, tidak ada yang mau membeli produk rajut di masa ini. Bagaimanapun juga produk rajutan hanyalah kebutuhan tersier, bukan sesuatu yang primer.

AYU KHARIE
Wiraswasta – Pamulang, Tangerang Selatan

Bagikan :

Advertisement