NYALANYALI.COM, Kisah – Hari masih pagi, tapi jembatan tambatan perahu (JTP) itu telah ramai. Ya, memang seperti itulah setiap harinya JTP Pantai Palo di Sarotari Larantuka sibuk melayani penyeberangan perahu-perahu kecil menunju JTP Tanah Merah di Pulau Adonara.
Jalur ini telah menjadi alternatif penyeberangan Larantuka menuju Adonara dan sebaliknya. Orang lebih memilih penyeberangan ini karena jaraknya hanya 800 meter dan waktu tempuh hanya lima menit untuk menyeberang menembus Selat Gonsalu yang garang itu menuju Tanah Merah di Adonara.
Selat Gonsalu memiliki kecepatan arus 2,5-3,5 meter/detik. Dengan kecepatan arus seperti itu, Pemerintah Indonesia berencana membangun jembatan panjang yang menghubungkan Larantuka dan Adonara dengan dilengkapi beberapa turbin bawah laut yang akan digerakan oleh arus untuk jadi Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut (PTAL).
Arus yang deras membuat Selat Gonsalu tak ramah. Namun, bagi Yanto dan kawan-kawan yang setiap hari mengoperasikan perahu ketinting melintasi selat ini, mencumbu ganasnya arus Gonsalu adalah sebuah keharusan.
Sejak matahari belum muncul mereka telah siaga melayani penumpang. Setiap penumpang dikenai tarif lima ribu perak. Jika dengan sepeda motor harus menambah dua puluh ribu rupiah. Dan, jika ingin menyeberang ekspres tanpa perlu menunggu penumpang lain maka harus merogoh kocek Rp 40.000.
Beberapa kali mereka harus hanyut terbawa arus ketika secara tiba-tiba mesin mati di tengah perjalanan. “Meski demikian kami selalu bersyukur karena teman-teman dengan gesit membantu kami sehingga tidak hanyut terlalu jauh,” kata Yanto bercerita.
Yanto dan teman-temannya tak pernah mengeluh walau harus dibangunkan malam-malam untuk mengantar penumpang menyeberang. “Kalau harus bangun malam-malam untuk antar penumpang itu sudah biasa. Soal tarif kami tidak memberi patokan, tapi selama ini penumpang selalu mengerti karena penyeberangan malam hari kami selalu diberi lebih banyak,” ujar Yanto.

Malam hari terkadang mereka harus menjemput pasien rujukan atau ibu hamil yang hendak melahirkan dari Adonara menuju rumah sakit di Larantuka. Ada kode tertentu untuk memanggil mereka di malam hari. Cukup dengan mengedipkan lampu kendaraan beberapa kali sudah cukup membuat Yanto dan teman-temannya mengerti harus ada yang dijemput diseberang.
Yanto dan teman-temannya tak pernah takut dengan gelombang dan arus Selat Gonsalu. Mereka terbiasa menari-nari dengan perahu ketinting, mencumbu arus menantang gelombang. Bukan hanya untuk mengais rejeki, tapi lebih dari itu melayani banyak orang.
Mereka tetap melakoni aktivitas yang sama setiap hari dengan senyum ceria dan canda. Senyum yang mungkin tak lagi tampak ketika jembatan yang direncanakan pemerintah berdiri angkuh membentang di atas arus Selat Gonsalu yang selama ini mereka cumbui.
CHRISTO KOROHAMA – Larantuka, NTT
Buku #sayabelajarhidup ke-9 Nusantara Berkisah 01 (2018)