(Kumpulan Cerita Kisah-Kisah Patah – S. Dian Andryanto)
NYALANYALI.COM, Cerita – Ambulans keluar pelan-pelan dari halaman Stasiun Balapan, Solo. Suara sirinenya meraung-raung. Memecah segala kebisingan, pagi itu.
Seorang gadis berdiri di halaman luar stasiun. Ia mengedarkan pandangannya, jelas ia sedang mencari-cari. Ia bertanya kepada beberapa lelaki yang duduk di sana , “Kenal Pak Cahyo?”.
Mobil ambulans tadi melewatinya, bersama lelaki yang terkulai di dalamnya, sebelum makin menjauh, bersama suara jeritan sirinenya. Gadis itu masih mencari, dua lembar surat dalam amplop putih dalam genggamannya.
Jalanan depan stasiun mendadak macet, mobil-mobil lain memberikan ruang ambulans itu bergerak, sebelum lepas, dan berlari menjauh.
Mobil-mobil pun bergerak kembali. Juga, sebuah mobil sedan hitam.
“Ada apa Pak Barno?,” tanya perempuan muda itu kepada supirnya dalam sedan hitam itu.
“Tidak begitu tahu, Mbak Dyah. Mungkin ada penumpang kereta yang sakit, itu dibawa ambulans,” kata Barno, sembari menggerakkan kendaraan yang di kemudikannya keluar dari kemacetan di jalanan depan stasiun itu.
“Oh,” Dyah, perempuan muda itu hanya singkat berkata.
Ia kemudian memainkan kembali ponsel di tangannya. Jari-jarinya bergerak lincah mengetik pesan.
//Tante Ratna, maaf. Pagi-pagi ini saya jalan duluan ke Jogja dengan Pak Barno. Insya Allah, malam nanti saya sudah sampai di hotel tempat acara//
Cling. Pesannya segera berbalas.
//Ah syukurlah, kami tadi mencari-carimu. Ya sudah kalau begitu. Benar kamu tidak perlu ditemani? Aku bisa menyusul kamu//
Dyah menjawab.
//Tidak usah Tante. Kita ketemu di venue acara nanti malam saja. Saya ditemani Pak Barno//
//Oke. Baik-baik, Dyah//
Berbalas pesan itu kemudian berhenti.
Dyah mengalihkan pandangan dari layar ponselnya ke luar jendela.
Kejadian semalam melintas dalam ingatannya. Berkilas-kilas cepat seperti berlariannya orang, pohon, bangunan, awan, di luar jendela mobilnya.
Lapangan Balekambang, Solo, gegap gempita itu malam, menyambut kembalinya ia ke panggung dangdut, yang sudah enam bulan ditinggalkannya. Itu kali pertama ia berdiri di atas panggung kembali, pentas yang membesarkan namanya, Dyah Restu.
Penggemarnya membludak memenuhi Balekambang semalam. Beberapa di antaranya membentangkan poster-poster bertuliskan, “Welcome Back Dyah Restu”, “Bernyanyilah Kembali Dyah”, “Kami Setia Menunggumu”, “Dyah Restu, Ratu Nestapa”, dan banyak lagi semacam itu.
Dan, pentasnya semalam sukses besar. Pentas yang menyambut kehadirannya lagi di blantika musik dangdut itu penuh sesak. Penggemarnya menyanyikan lagu-lagunya bersama-sama, gema suaranya membelah angkasa. Bergetar semuanya.
“Maaf Mbak Dyah, kita ke mana?” suara Pak Barno memecah lamunannya.
“Nglanggeran, Wonosari, Pak….”
“Ke sana, Mbak Dyah?” Pak Barno, seperti tak yakin dengan jawaban penumpang perempuan di belakangnya.
“Iya, ke sana,” kata Dyah.
“Siap,” suara Pak Barno, singkat.
Mobil melaju, Pak Barno melihat spion ke belakang. Dyah memandang keluar jendela, tak ada ekspresi di wajahnya.
Dan sepanjang dua jam perjalanan, nyaris tak ada percakapan lagi.
Pak Barno yang biasanya ramai dan sering melucu itu, pun lebih banyak diam.
Sudah tiga tahunan setiap Dyah Restu manggung sekitar Jawa Tengah, ia selalu yang mengantar. Bos rental mobilnya selalu bilang, Dyah Restu hanya mau disupiri Pak Barno. Ia pun tak tahu alasannya. Bahkan, untuk keperluan lain tidak terkait pentas menyanyi pun ia yang dikontak untuk menyetiri ke mana pun Dyah pergi.
Dyah pun sudah beberapa kali datang ke rumahnya di Klaten. Meski di dalam dusun, Dyah tetap memaksa mampir karena ia mempunyai oleh-oleh untuk istri dan tiga anaknya. Itu akibatnya di dusunnya, Pak Barno ikut terkerek kondang namanya, karena artis dangdut terkenal itu beberapa kali mampir ke rumahnya.
Sedan hitam itu terus berlari. Matahari meredup, mendung membayang.
Setelah makan siang di sebuah warung di luar Kota Klaten, sampai mereka di Desa Wisata Nglanggeran, Wonosari, Yogyakarta. Destinasi terkenal dengan Gunung Api Purba. Bukit-bukit berbatu itu indah terlihat. Penuh misteri.
Tergopoh-gopoh Sugeng dan Triyono, dua anak muda pengelola desa wisata itu menyambut Dyah Restu. Tanpa pemberitahuan dulu, tak ada sambutan khusus jadinya.
“Nggak apa-apa, Mas, saya juga dadakan ke sini,” kata Dyah, berusaha menenangkan keduanya yang tak enak hati.
“Saya naik dulu ya Mas,” lanjut Dyah, terus menapakkan kakinya ke bukit batu itu.
Sugeng, Triyono dan Pak Barno mengikuti beberapa jaraknya dari belakang.
“Kita ikuti saja, jangan dekat-dekat,” kata Pak Barno. Keduanya ingin bertanya lebih lanjut, tapi Pak Barno menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
Ponsel Pak Barno berdecit, dari Tante Ratna, manajer Dyah Restu.
//Tolong dijagain Mbak Dyah ya Pak Barno?//
***

Jalanan mendaki di bukit berbatu, Gunung Api Purba, berliku-liku. Kadang bertangga-tangga, sesekali harus menyusup di lorong sempit. Terus mendaki. Dyah sudah beberapa kali ke sini, sehingga ia tahu benar rutenya sampai ke puncaknya. Tak ada keraguan sedikitpun kakinya melangkah.
Dyah menapakkan kakinya. Setiap kakinya menjejak, setiap kali pula kenangan itu mendobraknya.
Sepuluh bulan lalu ia ke tempat ini penuh dengan rasa riang. Bersama Bayu. Lelaki yang dicintainya itu.
Ketika itu mereka melakukan pemotretan pre-wedding. Jauh dari Jakarta, sehingga tak dibuntuti awak media yang selalu menguntit kemana pun dia pergi. Maklum, Dyah Restu adalah penyanyi dangdut paling ternama saat itu. Setiap geraknya jadi pemberitaan.
Pilihan lokasi foto di Nglanggeran itu pilihan Bayu, sebenarnya. Lelaki itu sejak muda memang senang bertualang.
“Aku sudah jatuh cinta dengan tempat itu, sejak pertama kali ke sana,” kata Bayu, itu kali. “Bisakah kita pemotretannya di sana? Banyak spot menarik untuk foto kita, sayang,” kata Bayu, meminta.
Dyah setuju. Sepanjang ia mengenal lelaki yang akan jadi suaminya, tak pernah Bayu meminta seperti itu. Selama ini karena tugasnya, tak punya waktu leluasa mereka bertemu.
Dyah bukan tipe perempuan yang suka repot, sehingga tak ada perdebatan apapun menentukan lokasi pemotretan itu. Dibuatlah jadwalnya, dan itu tadi, sepuluh bulan lalu terjadilah pemotretan itu.
Dyah melihat Bayu riang sekali saat itu, di sana. Menggandeng tanganya selalu, tak ingin lepas, menapaki jalan setapak ke puncak Gunung Api Purba.
Pemotretan pun dilakukan dengan cepat. Beberapa spot memang menarik untuk direkam. Barisan bukit batu raksasa itu tampak tegar, entah sudah berapa zaman berdiri di sana, di tengah Nglanggeran.
Banyak kekonyolan yang dilakukan Bayu, ia meminta Dyah melompat, sehingga foto yang diambil seolah mereka berdua tengah melayang di udara, dengan latar pegunungan hijau jauh di belakang sana.
“Aku ingin jadi suamimu selamanya,” kata Bayu, di tengah waktu rehat pemotretan. Lelaki itu memandangnya dalam-dalam.
Dyah Restu tertawa bahagia mendengarnya.
“Janji?”
“Janji,” kata Bayu, suaranya dalam.
“Tempat ini jadi saksi, loh,”
“Iya, tempat ini akan jadi saksi janjiku itu. Percaya?”
“Sebelum kamu bilang itu, aku sudah percaya. Kalau tidak, buat apa kita rencanakan pernikahan ini?” kata Dyah, tertawa.
“Ah ya, aku lupa, akan menikahi Dyah Restu, penyanyi dangdut paling terkenal di negeri ini. Beruntungnya aku, karena pasti banyak lelaki yang ingin meminangmu.”
“Aku memilihmu, Bay.” Dyah memeluk Bayu, kala itu.
Dyah serasa masih mendengar tawa Bayu di telinganya. Begitu dekat. Begitu hangat.
Tapi ini hari Dyah menapakkan kakinya sendiri ke tempat janji itu yang terucap. Sesekali ia berhenti, menghela napas, mengingat segala kenangan yang menusuk-nusuknya di setiap sudut tempat itu. Dyah membiarkan peluh menetes di wajahnya. Tidak ia seka.
Di belakangnya Pak Barno yang membawa tas berisi air mineral dan payung, terengah-engah. Sugeng dan Triyono membantu lelaki setengah baya itu saat harus mendaki ke jalan yang agak terjal.
Dyah terus berjalan. Hingga berhenti di atas puncak.
Diedarkannya pandangannya ke seluruh alam sekitar. Mendung makin menebal.
Ia berdiri menengadahkan wajahnya. Rinai mulai jatuh.
“Mengapa kamu pergi, Bay? Kebahagiaan apa lagi yang aku punya? Semua harapan sudah kusandarkan kepadamu semua, kau pergi juga.” Lirih Dyah hatinya berkata.
Di tempat ini segala kenangan itu saling bertumpu. Janji dan harapan itu menjadi lara saat ini, tak sebahagia saat diucapkannya waktu lalu. Di tiap kenangan bersama Bayu hanya nestapa saja mengingatnya. Bukankah semua awalnya adalah bahagia, mengapa akhirnya hanya air mata. Bukankah semula tak ada duka, mengapa di ujung harus bertemu nestapa. Cinta begitu perih terasa, bagi Dyah Restu, penyanyi sang ternama.
Mendung makin pekat. Rinai tak lagi satu-satu yang jatuh. Gerimis sudah datang.
Pak Barno sudah akan maju menyorongkan payung, tapi Dyah melambaikan tangan.
“Ndak usah Pak, nggak papa,”
Gerimis pun turun. Jatuhlah hujan itu di atas gunung batu. Berderai. Dyah membiarkan wajahnya membasah, seiring air matanya yang jatuh. Hingga tak ada yang mengetahuinya ia menangis.
Dyah membiarkan dirinya diterpa hujan jelang itu sore. Ia masih berdiri di puncak, melampiaskan dukanya. Sesekali angin basah bertiup kencang, Dyah bergeming, diam saja. Tak ada satu pun kata yang terucap, hanya ia yang merasakan kesedihan mendalam itu. Tanpa sorak sorai para penggemarnya, tanpa sorotan lampu panggung sebagaimana biasanya. Dyah merasakan semuanya sendiri, di puncak Gunung Api Purba itu. Rintihan hatinya bagai dendang cinta tak sampai muara.
“Benar berita itu, Pak Barno? ” tanya Triyono tak bisa lagi menahan keingintahuannya.
Pak Barno mengangguk.
“Jadi Mas Bayu itu….” belum selesai Sugeng berkata, Pak Barno sudah memotong.
“Kasihan Mbak Dyah, setelah sepuluh bulan lalu pemotretan pre-wedding di sini, Mas Bayu kembali ke tempat tugasnya, di Papua.”
“Mas Bayu tentara ya?” tanya Sugeng.
“Iya. Empat bulan kemudian…..” Pak Barno pun menceritakan.
Helikopter yang membawa Sersan Dua Airlangga Bayu sebagai komandan regu beserta tujuh anggotaTNI lainnya jatuh di Pegunungan Bintang, Papua. Tak ada yang selamat. Bayu pun gugur di sana.
Berita-berita menyampaikan itu berhari-hari lamanya. Karena salah seorang yang tewas dalam kecelakaan itu adalah calon suami Dyah Restu, penyanyi dangdut ternama.
Hancur berantakan hati Dyah mendengar kabar itu. Bertepatan saat ia tengah memilih hasil foto-foto pre-wedding yang akan dibingkainya dan ditampilkannya di resepsi pernikahan yang tinggal menghitung hari saja.
Tak kuasa ia setelah itu melihat foto-foto keceriaan di puncak Gunung Api Purba. Seluruh foto disimpannya rapat-rapat dala peti. Disimpan di sudut gudang, tergelap.
Cukup lama pemulihannya. Dyah tak bisamenghadapi kenyataan itu. Bayu pergi saat pelaminan tengah disiapkan dan tak lama lagi mereka duduk berdua di sana.
Enam bulan ia tak keluar rumah, mengurung diri berkepanjangan. Murung dan sedih adalah temannya yang bergantian datang. Tawaran-tawaran menyanyi diabaikannya. Dyah tak ingin apa-apa, ia hanya mau Bayu kembali padanya untuk menyelesaikan kisah bersama.
Berkali-kali Tante Ratna membujuknya untuk keluar dari suasana muram itu dan kembali menghibur penggemarnya yang meminta ia kembali melagu.
“Saya bisa menghibur mereka. Tapi, siapa yang menghibur kesedihan saya? Siapa yang mampu merasakan kehilangan saya? Siapa yang peduli betapa hancur saya?” teriak Dyah, itu waktu.
Tante Ratna diam saja. Ia tertunduk dan mengerti arti kehilangan itu.
Hingga sebelum pentas di Balekambang Solo itu, Dyah menelepon.
“Tante Ratna, saya ingin bernyanyi lagi…”
“Kamu yakin, Dyah?” Tante Ratna tak percaya
“Semalam Bayu datang di mimpiku, dia mengajakku ke atas bukit batu, dan memintaku kembali bernyanyi. Dia memintaku…”
Tante Ratna tak bisa berkata apa-apa lagi. Dan, jadilah pentas besar di Solo itu menandai kembalinya Dyah Restu.
***
Dyah masih berdiri di puncak Gunung Api Purba, hujan makin deras. Tubuh gadis itu kuyup. Di kejauhan Laut Selatan membentang, pastinya. Tangisnya meledak, karena rindu yang sekian lama tertahan. Air membasahi wajahnya. Wajah perempuan diguyur lara dan kenangan yang tak dapat tergantikan apapun juga. Hujan menyentuh wajahnya berkali-kali, seperti Bayu membelainya di ujung hari.
Pondok Labu, 12 Mei 2020
S. DIAN ANDRYANTO
Kumpulan Cerita Wattpad Kisah-Kisah Patah – Inspirasi Lagu-lagu Didi Kempot
Inspirasi kisah lagu “Banyu Langit”
BACA:
Cerita Satu: Menunggu Pengiris Luka Tiba – S. Dian Andryanto “Kumpukan Kisah-Kisah Patah”