Menunggu Pengiris Luka Tiba

(Kumpulan Cerita Kisah-Kisah Patah – S. Dian Andryanto)

NYALANYALI.COM, Cerita – Kereta berlari cepat. Berkibas-kibas pemandangan lalu lalang. Arum memandang luar jendela jelang pagi itu. Sudah semalaman ia dalam gerbong yang membawanya ke Timur. Dalam genggamannya, dua lembar kertas, usai ia baca. Surat dari ibunya untuk seseorang, sepekan sebelum Ibu berpulang.

Surat itu adalah pesan terakhir Ibu, yang dengan sangat memintanya untuk diberikan kepada seorang lelaki yang menunggu di Stasiun Balapan, setiap Sabtu Legi. Jika lelaki itu masih ada.

Solo

27 tahun lalu….

Itu adalah pelajaran terakhir. Cahyo tak seperti biasanya, ia terlihat amat bergegas merapikan buku-buku tugas murid-muridnya. Sebelum berlari keluar ruang kelas sekolah dasar di sudut luar kota, tempatnya mengajar tiga tahun belakangan.

Anak-anak berhamburan dari kelas, berlarian serabutan, mereka ingin pulang selekasnya. Begitu pun Cahyo. Ia seperti tak mau kalah. Beberapa sapa guru-guru lain hanya ia tanggapi dengan lambaian tangan.

Ia segera menstarter motor tuanya. Beberapa kali memang perlu menyalakannya. Beberapa kawan sering menggodanya betapa ia sayang dengan motor kerap rewel itu, sampai lupa cari istri. Cahyo hanya sambut canda itu dengan tertawa saja. Karena kawan tak tahu kisah sebenarnya.

Keluar pagar sekolah, Cahyo segera mengebut motornya secepat yang ia bisa. Bukan ke kontrakannya, ia menuju kota. Melewati jalanan desa, melintas persawahan, di kiri-kanan deretan pohon randu yang mengiringi perjalanan. Harapannya segera sampai.

Angin membisikkan cinta dan harapan. Bisikan asmara menabraknya berkali-kali. Cahyo tersenyum sendiri sepanjang jalan, karena ingin segera bertemu perempuan itu. Gadis yang ia temui, di toko buku langganannya di kota.

Di toko buku langganan yang setidaknya seminggu sekali ia sambangi itu, setahun lalui ia melihat gadis itu. Belakangan ia tahu, si gadis itu dipindahkan dari Jakarta untuk turut mengembangkan toko buku ini. Dan tiap kali ke toko buku itu, Cahyo selalu berjumpa dengannya. Sekadar bertanya ada buku baru atau mencari alat tulis dan peraga yang dibutuhkan murid-muridnya. Itu mulanya. Dan, ia melihat nama di pakaian seragamnya, Tyas.

Sering bertemu dan mempunyai kesamaan minat pada buku-buku sejarah, membuat percakapanan mereka kerap akrab dan lama, bukan laiknya pembeli dan supervisor toko buku lagi. Hingga itu hari, Cahyo menunggu toko buku tutup. Mengajaknya makan malam nasi liwet di Keprabon. Gayung bersambut, tak ada jarak lagi, berboncengan mengitari Kota Solo. Malam itu bulan penuh tak seindah perasaan Cahyo. Pelukan Tyas di pinggangnya, dingin angin malam hilang seketika. Serasa hangat semua.


“Aku ingin hidup bersamamu, Tyas,” kata Cahyo.

“Apa, Mas?” teriak Tyas tak mendengar, karena jalanan begitu riuh. Kendaraan deru menderu.

“Aku tresno kamu, Tyas. Tresno, ngerti? Cinta…” teriak Cahyo, ingin mengalahkan segala suara itu malam.

Tyas tak menjawab, tapi Cahyo merasakan pelukan di pinggangnya menjadi lebih erat. Cukup baginya mengartikan, daripada sejuta kata-kata apapun juga. Nasi liwet menjadi hidangan mereka, ketika cinta menghampiri tak ada yang menandingi. Empat bulan ini mereka memadu asmara. Meski Cahyo tak sekalipun mendengar kata cinta dari bibir Tyas. Tak perlulah itu, karena laku menyayangi bisa ia rasakan. Tatapan mata Tyas, tak bisa diingkari, cinta itu tampak melekat di sana. Dan, ia tak ragu sedikitpun juga.

Ingatan itu berkilas-kilas cepat, saat ia menembus tengah kota. Menuju toko buku, tempat Tyas bekerja. Mendung bergayut.

Cahyo masuk toko buku, ia tak melihat Tyas. Pandangan ia edarkan, tak nampak sosok tambatan hatinya itu. Berjalan cepat ia menyusuri lorong-lorong, tak ada juga. Hingga langkahnya terhenti di depan Dita, sahabat Tyas.

“Mas, Tyas tidak lagi kerja. Dia harus ke Jakarta hari ini, sepertinya ada yang sangat penting. Pesannya, kalau aku ketemu Mas Cahyo, diminta menemuinya di Stasiun Balapan sekarang,” kata Dita, cepat ia berkata. Cahyo mengangguk, dan ia bergegas keluar toko buku. Kecamuk pikirannya.

Motor tua itu pun tak bisa diajak kompromi lima kali distarter, tak juga nyala. Cahyo tinggalkan. Ia bergegas naik becak ke Stasiun Balapan.

Senyum samar Tyas menyambutnya di depan pintu masuk stasiun lama itu. Stasiun yang mulai beroperasi sejak 10 Februari 1870, pada masa Mangkunegara IV.

Mereka duduk berhadapan kemudian di kantin stasiun.

“Aku harus ke Jakarta, Mas. Kesehatan Mama memburuk,” katanya.

Cahyo mengangguk.

“Iya, Tyas. Kau harus ke sana, Mamamu membutuhkanmu. Kasih kabar aku sesampainya di sana, ya?”

Tyas, mengangguk meski lemah.

“Kamu janji akan ke sini lagi? Atau, aku akan menyusulmu ke Jakarta,” katanya.

Tyas memandang Cahyo cukup lama, ada air mata yang mengembang meski ditahannya untuk tak jatuh.

“Aku janji ke sini lagi, menemuimu, Mas,” kata Tyas, suaranya tercekat. Mereka berpelukan cukup lama.

Cahyo mengantar hingga masuk gerbong, menaruh koper di atas bangku di Gerbong 3 Bangku 3A, Senja Utama Solo. Tyas berjalan di lorong di belakangnya, terus memandanginya. Lelaki yang empat bulan ini mengisi hatinya. Ada perih yang tak bisa disembunyikannya, dan tak dapat dikatakannya.

Cahyo tersenyum berkali-kali untuk menenangkan Tyas, yang ia tahu tentu sangat mencemaskan kesehatan Mamanya yang bertahun sudah sakit kanker. Sejak ayahnya tiada, hanya Tyas seorang yang menjadi andalan perempuan tua itu.

“Kalau Mama sudah membaik, datang lagi ke sini,” kata Cahyo. Tyas hanya memandangnya, dan mengangguk pelan. Riuh dalam gerbong kereta,itu bagai hilang. Hanya ada mereka berdua saja. 

“Aku, janji datang, Mas,” kata Tyas, tepat peluit kepala stasiun menjerit, dan roda besi bergerak pelan.

Cahyo menyentuh hidung Tyas dengan jarinya pelan-pelan.

“Hati-hati, ya. Aku tunggu kamu di sini.” 

Keduanya beradu senyum.

Cahyo melompat dari gerbong, kereta mulai bergerak ke Barat. Ia melambaikan tangan. Tyas menatap dari kaca jendela. Kemudian menunduk. Air mata jatuh, yang tak pernah Cahyo lihat.

***

Photo by Amos Bar Zeev – Unsplash

Sehari tak ada kabar. Sepekan tak ada berita. Sebulan tak ada jawaban. 

Cahyo sepulang mengajar ke toko buku di kota. Ia menemui Dita, sahabat Tyas selama bekerja di sana.

“Ketika kamu bilang dulu Tyas tidak lagi kerja, maksudmu dia keluar kerja di sini?” tanyanya.

“Iya, mas,” Dita mengangguk, menegaskan itu.

Cahyo tak pernah menyangka, karena ia pikir Tyas ke Jakarta sementara waktu selama ia merawat Mamanya. Kemudian ia akan kembali, bekerja di toko buku ini dan menemuinya kembali. Jawaban, mengapa nomor telepon ponselnya sudah tak bisa dihubungi.

“Ada apa sih, Dit?”

Dita tergagap.

“Aku nggak tahu, Mas,”

“Kamu punya nomor teleponnya yang lain?”

Dita menggeleng.

“Kamu punya alamat lengkap rumahnya di Jakarta? Tyas pernah menyebut tinggal di daerah Palmerah, tapi aku ndak punya alamat lengkapnya.”

Dita hilang sebentar ke ruang dalam. Kemudian ia menyerahkan secarik kertas, tertulis sebuah alamat.

“Suwun, Dita,” suara Cahyo, bergetar.

Dita melihat punggung lelaki itu meninggalkan toko buku yang belakangan tak pernah Cahyo kunjungi lagi. Itu terakhir kali ia ke toko buku itu. Langkah lelaki itu tak sekeras biasanya menapak keluar pintu. Dita menghela napas panjang.

Setahun lebih Cahyo masih menunggu kabar Tyas.

Anak-anak murid telah naik-naikan kelas. Libur kemudian. Cahyo meniatkan hati ke Jakarta, berbekal secarik alamat yang diberikan Dita.

Dalam kereta yang membawanya ke Barat itu, tak sekejap pun ia bisa memejamkan mata. Orang disebelahnya telah mendengkur. Lewat Stasiun Purwokerto, teriakan penjual pecel masuk gerbong pun tak mampu membangunkan tetangga bangkunya itu.

Juga, tak mengusik Cahyo yang larut dengan pikirannya. Segala tanya berkelindan di sana. Apa yang harus dikatakannya jika bertemu Tyas? Haruskah ia marah dan kecewa karena perempuan itu tak menepati janjinya memberikan kabar kepadanya? Apa yang akan dilakukannya setelah bertemu? Apakah Tyas masih memiliki perasaan yang sama seperti dulu ketika ia percaya cinta mengikatnya? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika semua telah berubah? Apa kata pertama yang akan dikatakannya jika bertemu Tyas yang menambatnya karena ia begitu sayang? Setahun sudah.

Pagi sampai Jakarta, cahaya emas di ujung Monas masih nampak bias dari lampu-lampu gedung di kitarannya .

Cahyo tak ingin membuang waktu. Segera menuju alamat itu, tukang ojek yang membawanya ngebut seolah tahu penumpangnya ingin segera bertemu kekasih.

Bangunan di ujung sebuah gang itu nampak sepi. Cahyo melirik jam tangan, masih pukul 07.45.

Berdiri di luar pagar besi.

Seorang perempuan keluar dari rumah itu membawa sapu.

“Maaf Bu, benarkah ini rumah Tyas?”

Perempuan setengahbaya dengan pakaian daster itu, mengernyitkan keningnya.

“Tyas? Tidak ada yang bernama Tyas di rumah ini,” katanya.

Cahyo refleks melihat secarik kertas alamat yang diberikan Dita, satu-satunya petunjuk yang bisa membuatnya menemui Tyas. Ia menyodorkan kepada perempuan berdaster itu.

“Alamat ini benar, Bu?” 

Perempuan itu meraih kertas dan membacanya. Dia mengangguk.

“Benar. Rumah ini setahun lalu sudah dijual ke majikan saya setelah ibu pemilknya meninggal,” katanya.

Cahyo tercekat, lidahnya kelu.

“Benarkah tak ada yang bernama Tyas di rumah ini dulu atau sekarang?” Cahyo bertanya, harapan seperti menyembur dari kata-katanya.

Perempuan berdaster itu menggeleng keras. Tapi, ia kemudian memanggil penjual sayur yang mangkal di ujung gang. Ditanyakannya soal gadis bernama Tyas.

“Dulu Mbak Tyas memang tinggal di sini, setelah ibunya meninggal, rumah ini kemudian dijual,” kata penjual sayur itu.

“Tahukah di mana Tyas sekarang, Bu?”

“Ndak tahu, Mas. Sudah lama sekali. Ikut suaminya,”

Kata-kata penjual sayur itu menggedor jantung Cahyo sangat keras. Ia agak terhuyung.

“Suami?”

“Iya, Mbak Tyas menikah, di hari ibunya meninggal, setahun lalu itu”.

“Tahukah ibu di mana dia tinggal sekarang?” Sekali lagi cahyo bertanya, harapan sudah tak menggetar dari kalimatnya.

Penjual sayur menggelang. Ia mengangguk. Pergi menjauh dari rumah berpagar hitam di ujung gang itu. Meninggalkan dua perempuan itu bergunjing tentang kisah seorang perempuan yang menikah di depan jasad ibunya.

“Eh, Mas.. mas…Siapanya Mbak Tyas?” teriak penjual sayur.

Cahyo merasa ada benda tajam, tipis dan memerihkan yang menikam dari belakang menembus jantungnya. Ia berjalan menjauh. Sangat jauh.

***

Telepon berdering. Beberapa kali berdering nyaring. Perempuan tengah hamil besar itu berjalan pelan mengangkat gagangnya.

“Halo…”

“Tyas…”

“Dita?”

“Bagaimana kabarmu? Sejak kamu ke Jakarta itu waktu, dan pesanmu tak memberikan teleponmu kepada Mas Cahyo, dan kabar terakhir pernikahanmu itu baru kali ini aku menghubungimu.”

Dita tak mendengar kata-kata selain suara tangis yang tertahan di seberang telepon.

“Kamu baik-baik saja Tyas?”

Cukup lama telepon tak ada kata saling bersahutan.

“Aku sedang hamil, Dit.”

“Ah, syukurlah. Sampaikan aku ikut bahagia kepada suamimu ya?”

“Aku sudah cerai, Dit”

“Apa? Kau sedang hamil, dan bercerai?”

“Dia memilih bersama perempuan lain, pacarnya yang dulu,” kata Tyas.

Lama diam.

“Pernikahan ini memang tak seharusnya ada. Aku menuruti kata Ibu untuk menikah dengan anak sahabatnya, karena itu permintaan terakhirnya. Lelaki itu diharapkannya bisa menjadi suami yang menjaga aku sepeninggal dia. Meskipun kami tahu, cinta itu tidak ada di antara kami.”

Dita mendengarkan. Sesekal helaan napasnya terdengar.

“Aku meninnggalkan Mas Cahyo tanpa berita, karena aku terlalu takut kejadian ini menyakitinya. Mungkin dia akan menemukan perempuan lain yang lebih baik dari aku, dan bisa membuatnya bahagia. Aku akan menjalani takdirku bersama anakku ini.”

Diam.

“Tyas, kamu tahu tidak Mas Cahyo masih menunggumu. Setiap Sabtu Legi, ia seharian menunggu di Stasiun Balapan. Dia lelaki yang dikenal di stasiun itu, lelaki yang menunggu kekasihnya kembali. Sampai sekarang ia belum menikah.”

“Apa?” Tyas setengah menjerit. Gagang telepon hampir jatuh dari genggamannya.

Sabtu Legi adalah hari dan pasaran ketika ia meninggalkan Cahyo di stasiun itu dengan penuh harapan bersua kembali.

“Datanglah ke Solo, Tyas. Temui Mas Cahyo jika kau bisa….”

“Aku tak ada wajah lagi di depannya, Dit. Aku meninggalkannya dan membuatnya terluka.”

“Aku tahu kau mencintainya, Tyas. Datang dan temui dia suatu waktu, supaya dia tahu yang ditunggunya tak sia-sia….”

Dita tak mendengar lagi kata-kata Tyas, hanya suara tangis yang menyesak.

***

Gerbong 3 bangku 3A, Arum duduk memandang jendela. Stasiun Balapan tak lama lagi.

Ia kemudian membaca sekali lagi tulisan tangan ibunya, Tyas, yang sepekan lalu meninggal. Bertahun-tahun ibunya itu hidup dengan dirinya, tak menikah lagi, dan ia tahu ibunya memendam kesedihan yang sangat. Surat ini adalah jawaban pertanyaannya, kesedihan apa yang begitu amat menyiksa ibunya.

Mas Cahyo,
Semua ini menjadi tak mudah lagi. Tak ada keberanianku menemuimu kembali. Aku pergi darimu, dan tak menepati janji.

Hari itu, Sabtu Legi, saat kau mengantarku ke Jakarta adalah hal berat sepanjang umurku. Aku harus tersenyum tapi aku tahu menipumu, orang yang sungguh-sungguh mencintaiku.

Itu hari aku ditelepon Ibu, dia ingin aku pulang hari itu juga, karena ia merasa waktunya tak lama lagi karena sakitnya. Dan, ia ingin aku menikah dengan putra sahabatnya , yang aku dititipkannya agar menjagaku selamanya. Salahku Mas, tidak bisa menolak itu. Tidak sanggup mengatakan tidak kepada permintaan terakhir ibu. Salahku Mas, aku belum meceritakan kepada Ibu bahwa aku sudah mendapatkanmu, lelaki yang kupilih untuk menjaga dan membahagiakanku selamanya.

Pernikahan hanya bertahan lima bulan saja, saat aku hamil. Kami berpisah. Tak ada cinta itu, kami menyadari sebenar-benarnya. Kami saling melepaskan, tak bisa menjaga permintaan Ibu.

Aku menjalani hidupku dengan merawat anakku ini dan berkantor di toko buku itu di pusat. Aku yang meminta Dita tak boleh memberikan keberadaanku kepadamu. Itu hanya akan menyakitimu. Setiap kali aku melihat lorong-lorong di toko buku, betapa susahnya aku. Karena selalu ada bayanganmu melintas di sana.

Aku menjalani hari-hariku dengan penuh rasa bersalah itu. Tidak mudah. Aku diburu dosa, terlebih setelah Dita memberitahuku kau selalu menungguku di stasiun itu, berusaha meyakinkanmu sendiri bahwa aku menepati janjiku, dan aku tahu tak bisa kuwujudkan sampai ini hari.

Suratku ini kuminta anakku membawanya kepadamu. Aku ingin anakku menemuimu, lelaki yang aku cintai. Ini surat terakhir, karena jika sampai di tanganmu, aku sudah pergi, lebih jauh lagi. Setidaknya aku sudah menepati janjiku untuk datang suatu kali meski lewat suratku ini.

Permintaan maafku sepertinya tak lagi ada arti ya, Mas. Aku mendustai dan mengecewakanmu, aku tahu itu. Tapi aku siap menerima salahku ini, dibelenggu rasa bersalah hingga akhirku.

Maafkan aku.

Semoga kau mau memaafkanku, Mas Cahyo. Biar jalanku lapang. Agar hatimu tak luka selamanya.

Salamku, yang tak mampu menepati janjiku kepadamu

Tyas

Arum membaca sekali lagi, sebelum menutup kertas dan memasukkan kembali ke amplop yang tidak dilem itu. Sepertinya Ibunya ingin ia bisa membacanya juga.

Dan, ia tahu. Inilah permintaan teerakhir yang disampaikannya di sebuah malam sebelum Ibunya itu mengembuskan napas terakhirnya. Sendiri dalam sepi.

Siapakah lelaki yang sangat berarti bagi ibunya itu? Arum ingin kereta segera sampai.

***

Duapuluh tujuh tahun sudah Cahyo menyambangi Stasiun Balapan. Setiap Sabtu Legi, ia berharap Tyas akan datang kepadanya.

Stasiun itu ada beberapa perubahan. Dan ia ingat betul perubahannya. Bahkan pedagang di sana sudah dilanjutkan anak-anaknya, beberapa kios lainnya sudah berganti pemilik.

Ini hari, Sabtu Legi kesekian setelah berpuluh tahun itu. Cahyo naik becak turun di depan stasun. Motor tuanya sudah tak ada, tak bisa hidup kembali sejak itu hari ia mengantar Tyas pergi.

Hidup dijalani saja, tak terlalu banyak riak, mengajar murid-murid SD hingga tahun lalu pensiun sebagai guru. Hidup sendiri.

Sebelumnya ia tak pernah percaya sedikitpun cinta bisa seperti ini. Orang bisa melupakan dan membuat cinta baru, menjalaninya dengan bahagia pula. Ia telah mencoba tapi tak pernah bisa. Hanya Tyas, yang diinginkannya.

Cahyo kali ini duduk di luar, karena belakangan tak bisa menunggu dalam peron seperti sebelum-sebelumnya. Ia tahu benar jam-jamnya kereta dari Jakarta datang. Di tahun-tahun awal matanya selalu nanar menatap pintu kedatangan. Ia perhatikan saksama setiap penumpang yang tiba. Ia berharap menyelip Tyas di sana.

Di usia tak lagi muda, Cahyo tak mengendurkan untuk datang dan berharap Tyas turun dari kereta dan menemuinya. Berpuluh tahun itu tak mewujud.

Setiap ada pengumuman kereta dari Jakarta akan masuk stasiun, Cahyo membetulkan kemeja lamanya. Ia ingin terlihat rapi, kalau saja Tyas benar datang. Ia mempertajam pandangan jangan sampai ada yang terlewat dari matanya yang lelah.

Kereta dari Jakarta sebentar lagi masuk.

Satu per satu penumpang keluar pintu kedatangan.

Mata Cahyo terbelalak, ia melihat perempuan berwajah mirip Tyas keluar dari stasiun.

“Tyas….Tyas…” katanya, lirih. Sebelum jatuh.

***

Arum keluar stasiun, ia mengedarkan pandangannya. Ia ingin melihat lelaki mana yang harus diberikan surat dari Ibunya.

Di sudut stasiun ia melihat orang bergerombol.

“Ada apa itu, Pak?” tanyanya kepada petugas stasiun.

“Ada lelaki tua meninggal mendadak, mungkin kena serangan jantung, kami sedang memanggil ambulans,” kata si petugas. Arum mengangguk.

Ia terus berjalan, melewati bangu-bangku di ruang tunggu penumpang, masuk ke kantin dan warung, memastikan tentang lelaki yang dikabarkan setia menunggu Ibunya datang sejak puluhan tahun lalu. Lelaki yang berhak atas permintaan maaf Ibunya.

Pondok Labu, 10 Mei 2020

S. DIAN ANDRYANTO

Kumpulan Cerita Wattpad Kisah-Kisah Patah – Inspirasi Lagu-lagu Didi Kempot
Inspirasi kisah lagu “Stasiun Balapan”

Bagikan :

Advertisement