NYALANYALI.COM, Cerita Anak – Hujan makin deras. Aku mengayuh sepeda semakin cepat sebelum badan menjadi basah kuyup.
Jalanan dalam kompleks ini selalu kulewati sepulang les. Hingga aspal berlubang dan polisi tidur seperti sudah kuhapal letaknya. Tapi tidak seperti hari ini, beberapa kali jalan berlubang pun kutabrak juga.
“Yang penting, segera sampai rumah sebelum hujan tambah deras,” batinku.
Tapi, hari itu hujan memang sangat deras. Beberapa kali petir pun terdengar keras meledak di angkasa.
Separuh badanku sudah basah. Akhirnya, aku mengalah. Sepeda kubelokkan ke parkiran sebuah mini swalayan di kompleks itu.
“Berteduh sebentar, daripada sakit,” kataku, dalam hati. Hujan tambah menjadi-jadi. Aku pun berteduh di sana, sambilmemeriksa buku-buku lesku tidak basah.
Sambil menunggu hujan reda, aku duduk di samping sepeda. Beberapa pengendara motor lewat, tapi mereka sudah menggunakan jas hujan. Dan, tentu saja orang-orang dalam mobil tak akan merasakan diguyur hujan. Beberapa ayam pun terlihat berlarian, sebelum diam di bawah gerumbulan pepohonan.
“He he he…ayam saja takut hujan,” kataku, geli melihat beberapa ekor ayam berteduh sepertiku.
Tiba-tiba aku sangat terkejut, karena ada sesuatu yang menempel di kakiku. Dingin sekali. Ketika kulihat, ternyata seekor anak kucing yang kebasahan. Mungkin dia mendekat biar tidak terlalu dingin. Bulunya yang abu-abu itu benar-benar sudah basah. Mungkin anak kucing ini baru beberapa hari dilahirkan.
Aku kasihan melihat anak kucing itu. Tubuhnya yang kecil terlihat menggigil. Dan, dari mulutnya yang kecil itu muncul suara, ”Miiiing…miiingggg”
“Pasti kelaparan juga nih anak kucing,” pikirku. Aku mencari biskuit yang selalu kubawa dalam tas, aku berikan sepotong kecil. Anak kucing itu memakannya dengan lahap. Aku berikan potongan berikutnya, diapun melahapnya.
Lama-lama, aku keasyikan bermain dengan anak kucing itu, sampai hujan reda.
Saat aku akan meninggalkan tempatku berteduh. Anak kucing itu menjilati kakiku.
“Sudah ya, aku pulang dulu. Besok ketemu lagi.”
Sepedapun kukayuh pelan-pelan. Tapi dibelakangku, terdengar “Miiiiing…miiing…miiing..”
Saat aku menoleh, ya ampun, anak kucing itu mengikuti. Langkah kakinya yang kecil tentu saja tak mampu mengejar sepedaku. Tapi dia nampak berusaha keras untuk berlari menyusulku. Aku pelankan sepedaku, dia pun menyusul.
Separuh jalan sudah, tetap saja anak kucing itu menyusulku. Akhirnya aku tak sampai hati, hewan kecil itu terlihat letih mengejarku. Tapi dia tidakputus asa.
Anak kucing itupun kugendong, kubawa pulang.
Beberpa hari setelah itu, aku bawa ke dekat mini swalayan, tempat aku temukan anak kucing itu. Siapa tahu ada yang kehilangan binatang ini. Tapi berhari-hari tidak ada yang mengaku memilikinya.
Akupun memeliharanya. Aku mengajarinya untuk buang kotoran dan kencing di kamar mandi. Tidak kusangka, dia bisa mengikuti perintahku. Tak sulit pula makannya, apa saja dia mau, tak harus makanan khusus kucing. Meski kadang kelakuannya menjadi liar kalau sudah mengejar cicak atau kecoa hingga beberapa piring dan gelas di meja pun sudah pecah karenanya.
Anak kucing yang kutemukan itu tambah besar. Telapak kakinya semua putih, seperti dia sedang memakai kaos kaki. Bulu abu-abunya makin lebat. Ekornya pun berdiri tegak dan mengembang. Setelah lihat di Internet dan buku tentang kucing, ciri-cirinya sama dengan kucing anggora. Mungkin dia peranakan anggora dan kucing kampung.
Mukanya yang lucu, selalu membuatku tak bisa marah kepadanya. Meskipun dia senang mengacak-acak tempat tidur yang sudah kuberesi. Setiap aku pulang sekolah, dia sudah menyambut dengan memunculkan wajahnya di kaca jendela. Meskipun sudah dikasih kotak untuk diat idur, tetap saja dia tidur di kamarku, bahkan sering naik ke tempat tidur kemudian mendengkur.
Kucing itu, kunamai Miming. Karena kuingat suaranya ketika kecil dulu, “Miiing…miiingg”…bukan “Meong..meong” seperti kucing kebanyakan.
Si Miming ini menjadi sahabat sejatiku sampai hari ini.
M. Rakryan Abiyasa
Jakarta