NYALANYALI.COM, Kisah – “Burjo… burjooo…peyek..peyeekkk……” suara itu nyaring terdengar di telinga setiap hampir pukul 14.00.
Nyaring , penuh tenaga , tanpa peduli walau terdengar agak sumbang dan kurang jelas lafalnya. Tanpa mengenal terik matahari yang menyengat, suara itu terus saja terdengar. Kadang terhenti sejenak , mengambil napas panjang atau hanya sekadar menguap tanda kantuk mulai menyerang . Tak berapa lama lagi suara khas itu terdengar lagi.
Dialah Arif….
Laki laki setengah dewasa. Dalam usia yang sudah menginjak 22 tahun di mana usia itu bukanlah usia remaja lagi, sosoknya masih seperti layaknya remaja tanggung. Dia lahir dengan penuh keterbatasan. Punya kebutuhan yang lebih khusus daripada anak seusianya. Agak berbeda dengan teman sepermainnanya.
Penuh keterbatasan tapi penuh dengan kelebihan. Dengan jari jari kecil di tangan dan di kakinya yang jumlahnya melebihi anak anak pada umumnya, tidak membuat Arif minder dan berkecil hati. Bola mata yang redup, tetap bersinar samar menatap indahnya dunia. Penuh dengan cinta dari hati untuk bisa membuat pelangi di langit yang senantiasa terselubung kabut tanpa warna.
Arif adalah anak yang perkasa. Yang meniti hidup dengan penuh kekuatannya.
Bersekolah di SLB dapat Arif selesaikan dengan baik tepat di usianya yang ke -16 tahun. Sebuah perjuangan yang luar biasa berarti. Dengan semua yang dia punya akhirnya ijasah setingkat SD telah dia dapatkan. Di saat teman-temannya melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, Arif memilih untuk tidak meneruskan sekolahnya.
Dia punya pilihan, memutuskan untuk membantu ibunya. Seorang janda yang sejak kepergian suami 12 tahun yang lalu harus membanting tulang menghidupi Aris dan seorang kakak perempuannya. Dua malaikat yang senantiasa membuat hidup Bu Widodo selalu bermakna. Hidup seorang ibu apalah artinya bila tiada anak di sisinya walau apa dan bagaimana keadaanya. Seorang ibu adalah sosok manusia pilihan Gusti untuk anak-anaknya. Sebuah nyawapun dia rela berikan untuk buah hatinya.
Kakak perempuan Arif selepas menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan langsung bekerja di sebuah pabrik tekstil di daerah Demak. Berjuang bersama untuk mempertahankan hidup yang mahal nilainya. Hidup yang tidak murah di zaman ini. Tidak ada yang gratis untuk sebuah fasilitas bahkan di tempat umum sekalipun di negeri ini.
Arif tidak pernah malu dengan hidupnya. Percaya dan yakin dengan semua karunia pada dirinya. Dia tetap sabar menunggu anak anak SD kapan berhamburan ketika jam istirahat tiba. Arif dengan semua keterbatasan dan semua kelebihan yang dia miliki mangkal di sudut belakang sekolah dengan sebuah termos es berwarna biru muda.
Es kacang ijo adalah andalan dagangannya. Dan itu juga satu-satunya penjual es lilin dengan rasa khas kacang ijo . Ada keberuntungan yang berpihak pada diri Arif. Sang ibu yang membuatnya. Di rumahnya di daerah Gebangsari Mranggen, sebuah desa di ujung timur kota Demak, ibu Widodo membuka sebuah warung kecil di samping rumahnya yang sederhana pula. Ada rujak, pecel, kolak pisang, dan aneka gorengan. Juga terlihat jumlah sembako yang di jual dengan jumlah yang tidak terlalu banyak.
Arif anak yang supel dan bukan tipe pemarah.
“ Mas Arif… kok jari jarimu banyak to…kenapa..? “
“ Aku kan sakti…. Jari tanganku ada 12..jari kakiku juga 12..pasti tidak ada yang sepertiku ..”
“ Hahahaha..betul juga ya mas…berarti Mas Arif bisa lari jauh dan bisa pegang es banyak ya..”
Itu adalah sebuah penggalan obrolan yang kerap anak-anak lontarkan kepada Arif ketika mereka sedang membeli es kacang ijo yang bagi mereka rasanya enak dan murah.
Mereka adalah anak anak yang belum tahu hitam putihnya kehidupan. Belum tahu kerasnya kehidupan. Dan belum tahu bagaimana harus berjuang untuk hidup.Mereka tidak tahu apa yang ada pada diri Arif. Apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh seorang Arif dengan semua keterbasan dan kelebihannya.
Seusai jam istirahat sekolah bila dagangannya masih ada maka Arif segera menjajakan ke segala sudut gang di sekitar. Melewati rumah demi rumah , gang demi gang dengan suara khasnya, dengan lanhkah kakinya yang kadang terlihat gontai , tapi tetap tegar berjalan berkeliling untuk menghabiskan semua daganngannya.
Arif kini bukan anak anak lagi. Benar katanya ketika berceloteh dahulu.
Arif sakti….
Arif kini sudah kuat membawa sebuah gerobag sederhana. Sebuah gerobag berisi sebuah termos es kacang ijo, sebuah termos berisi bubur kacang ijo juga dan sebuah kardus berisi beberapa bungkus plastic berisi peyek. Ada peyek kacang ijo dan juga peyek teri.
Dari terbit hingga sang surya menuju peraduan, Arif tak mengenal lelah terus berjalan melewati gang demi gang, rumah demi rumah seperti yang biasa dia lalui setiap hari.
Hidup harus terus berjalan. Hidup harus ditebus dengan sebuah perjuangan yang panjang dan mahal. Tidak cuma hanya bergerombol di sebuah pos ronda di sudut kampong, obrolan ngalor ngidul tiada berujung dan tiada hasil. Sejuta impian tanpa pernah berusaha untuk mewujudkannya. Harapan yang sia sia.
Mata Arif kadang pedih. Kacamatanya sudah terlalu tua untuk dipakainya. Pendaran sinar surya kadang menyakitkan. Peluh yang bercucuran bukan hambatan bagi Arif untuk terus berjalan mendorong gerobagnya menyusuri jalanan yang panas dan berdebu. Bila musim hujan tiba jas hujan tua menjadi sahabat setianya. Jas hujan berwana hitam dengan ujung belakannya yang sobek dan sedikit hilang ujungnya tidak menjadikan Arif patah semangat melanjutkan hidupnya. Berjalan dan terus berjalan.
Arif tetap melangkah. Tetap setia dengan impiannya. Hidup ini harus dilaluinya dengan penuh perjuangan . Kelak pasti ada saatnya untuk merdeka. “ Burjoooo… burjoooo…peyek..peyeeekkk…..:
Suara itu semakin lama semakin lirih terdengar di sela tiupan angin senja yang mulai tiba.
Sarworini – Mranggen, Demak, Jawa Tengah
e-mail: sarworini@gmail.com
Buku #sayabelajarhidup ke-11: Nusantara Berkisah 02 – Orang-Orang Sakti (2019)