NYALANYALI.COM, Kisah – Waktu saya masih di Sekolah Dasar (SD), ada peraturan untuk memotong kuku seminggu sekali. Pemeriksaan kuku yang telah dipotong rapi dilakukan setiap Hari Senin, dengan menggunakan penggaris kayu yang njelei (besar/tebal dan panjang, serta bikin perih sampai ke hati kalau kena pukul).
Saya katakan kuku dipotong rapi, sebab meski sudah tumpul tapi masih bergerigi akan tetap kena getok si penggaris njelei. Saya permah mengalami: dipukul biasa tapi sakit hati banget binti malu sehingga mata pun berkaca-kaca. “Cengeng!” kata si guru, yang seandainya masih hidup ingin saya pukul gantian dengan penggaris itu.
***
Berhubung belum bisa potong kuku dengan rapi, saya selalu minta bantuan Ibu atau Ayah. Kadang Ibu mau, tapi kalau sedang sibuk akan menyuruh potong kuku sendiri. Begitu pun Ayah plus catatan: jangan terlalu tumpul motongnya, jangan dibentuk bulat kukunya, dibentuk kotak saja biar kuku tidak masuk ke daging.
Yang sering terjadi potong kuku sangat tumpul hingga berdarah atau kuku masuk ke dalam daging jari jempol kaki lalu jadilah cantengan.
Rasanya…duh. Pakai sepatu sakit, pakai sandal enggak boleh, mana bentuk jempol jadi jelek banget. Badan kadang demam.
Tapi, entah kenapa, kalau cantengan ini sudah matang, Ayah seperti mendapat keasyikan sendiri. Pernah, suatu ketika, dipencet sampai nanah keluar semua dan darah segar keluar. Jeritan dramatis binti kolokan pun keluar dari mulut saya.
Keesokan hari, sudah kempes. Jalan enteng, senyum sumringah terkembang. “Huuu…aleman,” kata Ayah.
Kadang, Ayah melakukan operasi cantengan yang mengerikan. Diambilnya duri pohon jeruk nipis, dibakar dengan korek apinya, lalu jempol saya yang sedang matang-matangnya ditusuk dengan duri itu. Badan saya dipegangi Kakak No. 3, kaki dipegangi Kakak No. 4, sehingga hanya mulut yang bisa teriak-teriak. Itu pun tidak boleh sama Ibu.
Ayah tidak mau berhenti sampai darah segar keluar. Sesudahnya, diperban dengan menggunakan cairan antiseptik yang duwingin byanget. Sambil terpincang-pincang, saya menjauh dari mereka dan misuh-misuh kesakitan. Saya adukan ke backing saya alias Ibu eee malah dikuliahi.
***
Dalam perjalanannya, saya mencari tahu tentang si duri pohon jeruk nipis itu. Ternyata, memang mengandung antibiotik atau apalah istilahnya yang biasanya digunakan dalam kondisi darurat. Terutama, oleh para tentara yang mengalami masalah/luka saat sedang bertugas, padahal tidak ada jarum untuk menyuntik, menjahit luka agar tidak infeksi, atau mengeluarkan bisa ular tanpa obat bius/obat penahan sakit.
Jadi, saat itu, saya disamakan dengan para tentara yang terluka oleh Ayah. Sadis (sakit bingitz) tapi cespleng (malam “dioperasi”, pagi sudah bisa berjalan dengan nyaman).
RUSSANTI LUBIS
Catatan: secuplik kisah masa kecil dengan Ayah yang hari ini.berulang tahun (31 Maret 1930-10 Maret 1999).