Penjaga Batu Berukir dari Lereng Sembrani

Enam tahun berlalu, tumpukan batu berukir itu masih menunggu. Di sudut halaman sekolah ia ditempatkan. Misterinya tetap melekat, belum terjawab hingga kini. Apa mau dikata, segala upaya pelaporan ke pihak terkait telah dicoba, tapi yang diterima hanya wacana.

Seorang penjaga sekolah, Pak Pandi namanya. Tahun 2013 lalu, bersama putranya ia menemukan batu berukir di halaman depan tempat kerjanya, salah satu SMA di Kabupaten Wonosobo, berlokasi di lereng bukit Sembrani, Jawa Tengah.  Bingung dan kaget bukan kepalang Pak Pandi, mata cangkulnya membentur benda keras yang ternyata batuan kuno penyusun candi. Posisi badan dan kemuncak candi tidak lagi vertikal, tapi membujur horizontal. Masih tertata rapi, dengan lapisan tanah menghitam seperti abu di atasnya.

Desa Kahuripan, Kecamatan Watumalang, Kabupaten Wonosobo siang itu geger. Beberapa pekan lamanya hilir mudik para pencari berita, penghobi selfi, bahkan para penghayat spiritual. Batu berukir itu menjadi tranding topic di daerahnya. Setelah itu? Ya begitulah, nasibnya serupa dengan penemuan kepurbakalaan sebelumnya, tanpa penanganan. Ditampung dulu, menunggu turunnya anggaran, adalah jawaban klasik yang sudah kami hapal dari pemerintah.

Ditemukan di Dusun Bedhali, masyarakat menyebutnya Candi Bedhali. Setelah tak kunjung datang bantuan dari pihak desa, kecamatan, maupun daerah, ia menyusun sendiri batu berukir itu, susunannya sama saat pertama lihat ia lihat. Pak Pandi, sang penemu, profesinya sebagai penjaga sekolah, berinisiatif cepat merogoh isi dompetnya sendiri. Dibangunkannya sebuah cungkup, wujud penghormatan kepada warisan leluhur. Ia tak lagi berhitung dengan angka yang dikeluarkannya. Adalah kewajibannya untuk menyelamatkan, menjaga, dan melestarikan warisan leluhur bangsa.

Candi Bedhali telah berdiri anggun, relief dan ukirannya mencirikan peradaban agung. Bunga mawar merah putih menghiasi setiap sudut cungkup. Pak Pandi setia menggantinya tiap sepasaran. Meski tak se-eforia saat awal penemuan, tamu Candi Bedhali tak pernah surut. Mereka datang dengan beragam tujuan, ada yang bertanya karena tuntunan sekolah, ada yang hanya untuk selfi, ada yang mengasah spiritual, dan menariknya ada pula yang datang dengan tawaran nominal.

Pak Pandi seorang yang santun dan bersahaja, tinggal di sebuah rumah dengan istri dan kelima putranya, berjarak sekitar 300 meter dari Candi Bedhali. Baginya, kaya itu relatif, tak dapat diukur hanya dengan angka dan gebyar penampilan saja. Baginya, kaya adalah mau berbagi dengan lainnya, tanpa berhitung dengan angka.

Kepedulian dan kecintaannya terhadap warisan sejarah telah dibuktikannya, bahwa tanpa bantuan dari pemerintah ia pun bisa. Keteguhan hatinya luar biasa, di saat nafsu harta mulai meracuninya. Tak tergiur ia, saat beberapa orang datang kepadanya, menawarkan uang belasan juta, bahkan kendaraan roda dua telah disiapkan di halaman rumahnya. Imbalannya, batu berukir berpindah tangan.

Pak Pandi memang orang terpilih. Himpitan ekonomi tak mengalahkan kecintaannya terhadap warisan bangsa. Enam tahun sudah ia menjalani ‘puasa’, dari godaan harta melimpah. Semesta tahu apa yang dikehendaki. Tuhan pun tak pernah ingkar janji. Keteguhan hatinya berbuah manis, putra ke-3 nya berkesempatan meneruskan kuliah di luar negeri. Jenar namanya, menjadi salah satu putra bangsa yang terpilih untuk menimba ilmu di Negeri Tirai Bambu, melalui jalur beasiswa.

Sesuatu akan indah pada akhirnya. Sang penjaga batu berukir, dari Lereng Sembrani ia berasal. Kepadanya kita harus belajar, tentang kepedulian, cinta, dan banyak hal. Ia lah guru sebenarnya, tak hanya mengajarkan teori tanpa praktek, tak hanya sesumbar tanpa menjalani. Ia lah guru sejati, tanpa tunjangan dan tanpa sertifikasi.


Naskah dan Foto: Agustin Ariani –Garung, Wonosobo, Jawa Tengah

e-mail:kenwilis.ariani38@gmail.com
Buku #sayabelajarhidup ke-11: NUSANTARA BERKISAH 2 – ORANG-ORANG SAKTI (2019)

Bagikan :

Advertisement