Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi

NYALANYALI.COM, Kisah – Bukan mauku berpulang di usia mudaku. Bukan inginku mereka menyematkan Panglima Besar di depan namaku. Bukan kehendakku ribuan orang berdiri di sisi-sisi jalan mengantar jasadku, empat tank dan delapan puluh kendaraan mengawalku dari Magelang ke Yogyakarta, kemudian aku dikuburkan, sebulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan kita. Bukan mauku kalian harus mengingatku.

Mauku, ingat perjuangan pendahulumu. Darah dan air mata kami mengantarkanmu merdeka seperti hari ini, yang tak sekecap pun kami nikmati.

Aku Soedirman. Petang itu pukul 18.30, 29 Januari 1950 di Magelang, aku tinggalkan tumpah darahku di usia 34 tahunku.

***

Masih muda aku. 24 tahun umurku. Beregu mereka membidik dadaku, dihukum matinya aku itu hari, 5 September 1949. Belanda-belanda itu bernafsu menyudahi umurku.

Aku anak muda, hanya seorang guru biasa. Merekalah yang menjadikan aku meletakkan buku dan pinsilku, menjadi senapan. Kekejaman mereka memicuku untuk melawannya. Hingga aku diburu, ditangkap, dan dijatuhi hukuman mati itu.

Robert Wolter Mongonsidi namaku. Putra asli Malalayang, Manado. Tak menyesal sedikitpun harus pergi di usia mudaku, semua demi untukmu yang ini hari sukaria di masa mudamu. Peluru menembus dadaku sudah, kalian masih bertengkar merasa paling benar.

***

Akulah perempuan muda itu. Kartini namaku. Kebahagiaanku tak lama, tiga hari setelah melahirkan putraku, tak kuasa aku menahan takdirku. Aku tutup usia, 25 tahun ketika itu, di Rembang, 17 September 1904.

Hanya tulisan-tulisanku wasiatku kepadamu. Bacalah. Apakah disana kau temui keputusasaan itu yang membunuhku? Bacalah. Apakah ketenaran dan popularitas pribadi mengejar ambisi jadi keinginanku? Bacalah. Apakah aku hanya memikirkan diriku sendiri? Bacalah. Bukan tentang gelap kemudian muncul terang semata, tapi tentang harapan yang tak pernah hilang.

***

Ini puputan. Perang habis-habisan. Di ladang jagung Desa Marga, Tabanan, Bali, aku dan seluruh prajuritku tak hendak menyerah. Sudah digariskan Sang Hyang Widi Wasa, kami harus menyiram tanah air kami dengan darah muda kami, daripada menyerah kepada penjajah. Terhina jika benar bertekuk lutut.

Itu hari, 20 November 1946. Terkepung kami. Habis-habisan kami lakukan perlawanan. Apakah bisa kau bayangkan? Dalam pikiran kami hanya merdeka, seiring wajah anak, istri, orangtua yang segera kami tinggalkan dan tak bertemu lagi.

Aku, I Gusti Ngurah Rai. Komandan Ciung Wanara. Pelaksana pertempuran habis-habisan itu, puputan. Hingga peluru menyudahiku diusia 29 tahunku.

Mengapa kini kalian lupakan puputan itu? Saat kalian habis-habisan saling berebut kekuasaan dengan segala cara. Ketika kalian justru habis-habisan memusuhi saudara senegerimu sendiri dengan tiada malunya. Mengumbar kebencian, kedengkian melalui lidahmu, melalui jempolmu, untuk itu kalian bisa sampai habis-habisan. Jangan kalian nodai makna sakral puputan itu?

***

Akulah penerbang muda itu. Langit temanku. Cakrawala panjiku. Angkasa raya negeri ini nafas hidupku. Cintanya aku pada tanah airku, dari ketinggian selalu damai nampaknya selalu.

Hingga itu hari, dalam tugas mengambil obat-obatan yang dibutuhkan dalam perjuangan, pesawat Dakota VT-CLA ku, sudah di atas Yogyakarta. Tiba-tiba dua pesawat Kittyhawk Belanda menembaki. Pesawatku dan delapan awakku dihajar rentetan tembakan tanpa perlawanan. Pesawat pembawa obat-obatan itu oleng kemudian melesak jatuh.

Cakrawala biru temanku. Langit sahabatku. Awan lembayung karibku. Negeri ini kurabuk, kupupuk dengan nyawaku. Aku Ignatius Adisutjipto gugur di usia 31 tahun, itu hari, petang 21 Juli 1947. Bersama komodor udara Abdulrahman Saleh, juru radio opsir udara Adisumarmo Wiryokusumo dan lainnya.

Aku melihat bunga-bunga di taburkan dari lubang-lubang langit. Harum baunya. Indah warna warninya. Seiring pesawatku menghunjam bumi.

Aku masih muda. Masih ingin melihat angkasa saat Indonesia Raya dikumandangkan. Saat Indonesia Pusaka dinyanyikan. Saat Rayuan Pulau Kelapa disenandungkan. Saat air mata selalu menitik mendengar Indonesia Tanah Air Beta dilagukan.

Tapi kami hanya mendengar doa pengiring berpulangnya kami. INDONESIA kutitipkan padamu.

***

Sungguh kami ingin hidup seribu tahun lagi menjaga dan merawat negeri ini. Kami sudah persembahkan usia muda kami untuk negeri ini. Apa yang kalian sudah lakukan saat ini di usia mudamu untuk Tanah Air mu?

S. Dian Andryanto
Buku #sayabelajarhidup ke-7: PITA GARUDA (2017)

Bagikan :

Advertisement