17 Hari Menginap di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet

NYALANYALI.COM, Penyintas Hebat – Pada 17 Desember 2020 adalah hari yang sulit saya lupakan. Masih tercetak jelas di memori, suasana siang itu. Saya sendirian di kamar. Kedua pintu kamar tertutup. Agak panas, tidak banyak angin, tapi terbantu dengan jendela yang terbuka sedikit. Kamis itu adalah hari keempat saya isolasi mandiri di kamar, di lantai dua rumah nenek di bilangan Lebak Bulus.

Sejak kembali dari Yogyakarta hari Minggu sebelumnya, saya sudah melakukan isolasi mandiri. Sebagai tindakan pencegahan, juga karena tubuh saya tiba-tiba menurun kondisinya. Batuk muncul, menyusul dengan demam, dan diikuti rasa sakit di sekujur tubuh. Perjalanan bisnis ke Yogyakarta yang sebelumnya dijalani dengan suka cita, harus berakhir dengan saya terpapar tak berdaya.

Padai hari Rabu, saya pergi ke laboratorium terdekat untuk melakukan tes PCR untuk pertama kalinya. Untungnya, kantor menanggung seluruh biaya tes, karena harganya tak bisa dibilang murah untuk saya yang hanya pekerja swasta dengan gaji pas-pasan. Saya pun harus menunggu waktu satu hari untuk mendapatkan hasil tesnya. Maka, sejak kembali ke rumah setelah melakukan swab hidung dan mulut, saya hanya bisa menunggu di dalam kamar.

Sampai kemudian ponsel saya berbunyi, menandakan email masuk. 17 Desember 2020, 15:51 WIB. Email dengan subjek “Lab Result for Name: ELOKHAURI SASISUCI – Specimen: 100-022-2539” muncul di pop-up notifikasi. Dengan tangan bergetar, saya menggeser notifikasi tersebut, memasukkan kata sandi ponsel, dan muncul kemudian email dengan tautan hasil PCR test dalam bentuk PDF yang terenkripsi tanggal lahir.

Dengan seluruh gejala yang saya rasakan di hari-hari sebelumnya, saya sudah tidak kaget lagi ketika hasil tes tersebut menunjukkan bahwa saya positif Covid-19. Berbekal informasi yang sudah saya cari hari sebelumnya, saya langsung melapor ke petugas satgas Covid-19 di 119 dan diarahkan untuk melapor langsung ke puskesmas terdekat secara langsung, diwakilkan oleh keluarga serumah.

Berbekal identitas diri dan hasil tes, ibu dan adik saya segera melapor ke puskesmas. Langkah selanjutnya adalah menunggu rujukan ke Rumah Sakit Darurat COVID, Kemayoran. Saya diberi tahu bahwa karena bergejala dan juga berisiko menularkan ke orang serumah, saya diharuskan untuk dirujuk ke Wisma Atlet (RSDC). Namun, untuk dirujuk pun saya harus menunggu dua hari.

Saya baru dijemput oleh petugas Puskesmas di hari Sabtu, 19 Desember 2020. Saya dan dua orang lainnya kemudian diantar ke puskesmas Cilandak terlebih dahulu, berkumpul dengan yang lain untuk kemudian bersama ke Wisma Atlet. Namun ternyata, dari sepuluh orang yang berkumpul di puskesmas, hanya lima orang yang ke Wisma Atlet, dan sisanya melakukan isolasi mandiri di hotel yang bekerja sama dengan pemerintah. Sebagian besar dari mereka adalah tenaga kesehatan. Dan ada seorang ibu yang sudah positif untuk kedua kalinya.

Hari sudah menjelang malam ketika saya akhirnya mendapatkan kamar. Pendaftaran administrasi berlangsung lancar namun lama, mengingat jumlah pasien yang datang bersamaan dengan saya mencapai puluhan. Saya mendapat gelang pasien berwarna ungu, untuk menandakan di gedung mana saya akan tinggal. Total ada tujuh gedung di Wisma Atlet, tapi hanya gedung 4, 5, 6, dan 7 yang dipakai untuk merawat pasien.

Di Wisma Atlet, Kemayoran, gedung 4 lantai 23 kamar nomor 23 lah saya tinggal selama tujuh belas hari untuk melakukan perawatan Covid-19. Lantai 23 pun ternyata baru dibuka untuk pasien karena angka yang positif terus melonjak. Di kamar 23, saya tinggal bersama dua orang pasien lainnya. Kamar setiap pasien lebih mirip rumah kontrakan dua kamar, dibanding kamar perawatan.

Ada ruang tamu lengkap dengan sofa tapi tanpa televisi, satu kamar mandi dengan penghangat air, satu kamar tidur yang lebih besar dengan dua kasur single bed, dan satu kamar tidur lebih kecil dengan satu single bed. Setiap kamar dilengkapi dengan satu nakas dan satu lemari. Kemudian ada “dapur” kecil dengan wastafel dan tanpa peralatan masak, yang kemudian kami ubah menjadi tempat mencuci baju dan menjemur.

Mengingat banyaknya pasien, di setiap lantai terdapat satu kamar yang diubah menjadi pos perawat. Di pos perawat inilah kami akan mengambil makan dalam bentuk nasi kotak dan obat yang sudah diberi nama masing-masing, setiap harinya.

Di pos ini juga kami bisa datang untuk berbicara langsung dengan perawat yang berjaga ataupun dokter ketika sedang jam kunjung. Tidak ada dokter ataupun perawat yang datang berkeliling ke kamar, mengingat terbatasnya tenaga kesehatan yang terlibat. Komunikasi antara perawat jaga dengan pasien pun dilakukan melalui grup WhatsApp.

Semua petugas, baik dokter, suster, ahli gizi, maupun petugas kebersihan harus memakai APD lengkap ketika berada di lingkungan Wisma Atlet. Pasien pun diharuskan memakai masker di manapun berada.

Hidup saya menjadi sebuah rutinitas yang berulang setiap harinya. Pukul 06.00 setiap pagi, perawat akan mengirimkan pesan di grup WhatsApp bahwa sarapan dan obat pagi sudah tersedia. Tidak lama kemudian, biasanya pukul 08.00, akan ada pesan lagi bahwa snack box sudah bisa diambil di pos perawat.

Senam pagi, 22 Desember 2021, 09:09 WIB – Foto Dok. Elok R Sasisuci

Setelah mengambil snack box dan menyimpannya lagi di kamar untuk dimakan sore hari, saya langsung turun ke lapangan untuk olahraga pagi. Beruntungnya, untuk kurang lebih seminggu pertama saya disana, saya bisa ikut kelas zumba gratis. Salah satu pasien adalah seorang instruktur senam dan ia mengajukan diri untuk memimpin senam setiap pagi selama satu jam, pukul 09.00 – 10.00 WIB.

Setelah mengikuti senam dan berjemur, saya kembali ke kamar untuk istirahat sambil menunggu perawat mengumumkan makan siang pukul 12.00 WIB. Siang hari biasanya saya habiskan untuk menonton Netflix, mencuci baju, makan snack dan tidur siang. Makan malam adalah pukul 18.00 WIB yang kemudian dilanjutkan dengan membaca buku sampai waktunya tidur.

Selama di Wisma Atlet, tidak banyak peraturan dan jadwal yang harus diikuti. Selain makan dan obat tiga kali sehari dan juga anjuran untuk olahraga dan berjemur di pagi hari, kami dibebaskan untuk melakukan apa saja. Atau mungkin juga karena gejala yang saya alami tidak terlalu serius, sehingga masih bisa berkegiatan seperti biasa. Obat yang diminum pun berbeda untuk setiap pasien. Total obat yang harus saya minum adalah lima sekaligus, yang terdiri dari antibiotik, antivirus, vitamin, vitamin D, dan obat batuk. Terkadang akan ada obat antivirus yang perlu diminum pukul 00.00 WIB.

Di hari kedua dan ketiga, saya mendapatkan jadwal untuk ambil darah dan rontgen. Kemudian di hari kesepuluh, saya mendapatkan jadwal untuk tes PCR. Hasilnya diumumkan di hari kesebelas, yang ternyata masih positif. CT sudah tinggi yaitu 35, dibanding CT awal saya yaitu 15. Namun karena masih positif dan batuk yang belum juga reda, dokter menyarankan untuk menambahkan lima hari perawatan dan menjadwalkan untuk PCR kedua.

Saya melewati tahun baru di Wisma Atlet, yang selalu sunyi dan hening di malam hari. Tapi di kejauhan, kembang api bisa terlihat dan terdengar dengan jelas. Mungkin karena lokasinya yang dekat dengan Ancol. Setelah menonton kembang api sebentar dari jendela kamar, saya memutuskan untuk tidur karena tanggal 02 Januari 2021, saya akan melakukan tes PCR lagi.

Minggu, 03 Januari 2021 dokter memanggil saya ke pos perawat untuk membacakan hasil tes PCR yang kedua. Di hari ke-enam belas dirawat di Wisma Atlet itulah saya dinyatakan negatif dari coronavirus.

Senin, 04 Januari 2021 saya mendapatkan Surat Keterangan Selesai Rawat dan hasil tes PCR yang tertulis dalam huruf kapital yang ditebalkan: NEGATIF.

Pondok Labu

Minggu, 31 Januari 2021

ELOK R SASISUCI

BACA:

Penyintas Covid-19: Merasakan Kesempatan Hidup Kedua

Bagikan :

Advertisement