NYALANYALI.COM – Tinggal menghitung hari, rakyat Indonesia akan memasuki puncak siklus politik lima tahunan. Pemilihan umum (pemilu) 2024 sudah di depan mata. Tahapan demi tahapan sudah dilalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilu. Partai politik sudah menyodorkan daftar nama bakal calon legislatif (bacaleg), kemudia akan diverifikasi, akhirnya ditetapkan menjadi daftar caleg tetap (DCT). Begitu pula dengan calon perseorangan DPD.
Bagi kebanyakan orang, pemilu adalah harapan menuju tata kelola negara menjadi lebih baik. Dengan adanya peningkatan mutu tata kelola negara, diharapkan indeks kesejahteraan segenap rakyat Indonesia berada di level baik.
Selain harapan ideal, tak sedikit terselip asa pragmatis atas proses pemilu. Penganut sofisme yang kebanyakan mengambil peran itu. Mendominasi politik transaksional. Bagi kaum sofis, pemilu adalah zona potensial dalam mengaktualisasikan kemahiran beragumentasi dengan seni retorika tinggi.
Tidak demikian dengan orang-orang yang sudah masuk usia senja, pemilih preboomer . Paling banter, mereka berharap ada situasi ekonomi dan sosial lebih baik setelah pemilu. Bahkan tak banyak informasi tentag kontestan pemilu yang mereka ketahui, karena sedikit kontestan yang tertarik untuk mengambil bagian lansia pada program sosialisasinya. Bagi kelompok pemilih lansia, pemilu adalah datang ke bilik suara dan mencoblos pilihan.
Tak sebesar potensi pada kelompok pemilih generasi milenial yang mencapai 33,60 % dari total daftar pemilih tetap (DPT) nasional. Menurut Komisioner KPU RI Betty Epsilon Idroos dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi DPT di kantor KPU, Jakarat, 2 Juli 2023, seperti dikutip Kompas.com, kelompok generasi preboomer, atau orang yang lahir sebelum tahun 1944 hanya berjumlah 3.570.850 atau 1,74 persen. Namun suara pada kelompok ini rentan disalahgunakan jika tidak adanya kerja sama dan komitmen proporsional antara penyelenggara dengan peserta pemilu.
Akses pemilu, baik informasi dan pengawasan di TPS menjadi pekerjaan rumah bagi KPU dan Bawaslu agar partisipasi kelompok lansia dalam pemilu tetap terjaga dan bebas dari motif politik uang serta politik identitas. Dengan akses informasi yang tepat sasaran diharapkan pemilih kelompok lansia dapat menentukan pilihan politik mereka sesuai hati nuraninya. Kondisi tata letak TPS juga diharapkan mampu mangakomodasi kebutuhan kelompok ini dengan keterbatasan fisiknya.
Sangat beragam tantangan petugas dalam mengakomodasi hak pemilih lansia di hari pencoblosan. Banyak keluhan fisik biasanya pada lansia. Mulai dari kesehatan mata yang tak mampu lagi melihat dengan jelas kertas suara, hingga kesulitan menuju TPS. Fakta yang mengarah pada situasi itu ditemukan saat petugas pemuktahiran data pemilih (pantarlih) melakukan kerja verifikasi data pemilih ke lapangan.
Pada situasi ini diperlukan kerja sama yang proporsional antara petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), pengawas TPS, dan saksi peserta pemilu.
Pesta demokrasi sejatinya harus menjadi kegembiraan pula bagi kelompok pemilih yang sudah senja usianya. Meski tak muda lagi, mereka punya hak bahagia dalam pemilu. Partisipasi mereka harus dilindungi, tak boleh diabaikan sedikitpun, karena itu amanat UU No 7 Tahun 2017.
Meskipun hanya kurang dari dua persen potensi suaranya, akses mereka untuk memilih presiden-wakil presiden, anggota legislatif, dan anggota DPD harus difasilitasi seramah mungkin. Harus ada komitmen kolektif untuk memberikan keramahan dan kebahagiaan pada mereka dalam memilih di bilik suara pada 14 Februari 2024 mendatang.
NORMAN SENJAYA