Film Realisme Magis Maroko dan Surealisme Iran

NYALANYALI.COM – Anjing, burung, semut, serta domba menjadi artis pendukung “Animalia” yang menutup Madani Film Festival di Epicentrum XXI semalam. Film Maroko yang mengingatkan awak kepada prosa-prosa realisme magis Amerika Latin. Kisah “Cinderella”, Itto, gadis desa yang disunting “pangeran” kaya. Hidup bagai di istana mewah bersama mertuanya. Scene sang suami mencium perutnya yang hamil di tepi kolam renang dengan gunung dan laut di kejauhan, bak Hotel Bali Cliff yang pernah kuinapi.

Saat suami dan mertuanya pergi, suatu kejadian aneh memaksa Itto meninggalkan rumah mewah dengan motor bak terbuka, bersama orang-orang miskin penipu. Ia ditinggalkan begitu saja di kota kecil, yang hanya berisi lelaki-lelaki pemain kartu dan nongkrong di hotel buruk tempat menginap. Setiap kali bertemu, mereka memandang curiga Itto yang hamil besar. Kawan satu-satunya hanya seekor anjing tahu balas budi usai ia beri makan. Dengan motor bak terbuka pula, ia diantar pemilik hotel untuk menemui suaminya melewati gurun.

Setelah sholat pada malam mereka menginap di rumah warga desa peternak domba, pria baik hati yang mengantar Itto bertanya tentang Tuhan, gaya hidup selfish, serta segala sesuatu yang seolah bisa diselesaikannya dengan uang. Ironi antara iman dan amal yang inkonsisten dimainkan di bawah langit gemintang. Dialog yang asyik. Kalau film Indonesia mungkin ceritanya sudah jatuh cinta dan selingkuh mereka berdua di perjalanan.

Di tengah perjalanan, seorang pemuda peternak numpang motor bak terbuka mereka. Ada pula seperti taifun yang menyimbolkan setan. Sang pemilik motor ingin menjumpainya, Itto dan pemuda peternak pun menyusul. Scene tak jelas antara realitas atau fiksi tampil di benak perempuan cantik yang mirip Najwa Shihab itu.

Akhirnya Itto bertemu dengan suaminya di batas kota yang dijaga ketat aparat. Kembali ke dunia “Cinderella” yang penuh hipokrisi, kata pria pemilik motor. Tapi, pertanyaan-pertanyaan eksistensial terus menghantui pikiran Itto. Suaminya marah, karena dilontarkan Itto jelang tidur tengah malam.

Keesokan harinya, ibu mertuanya membangunkan Itto yang tertidur di sofa. Keluarga itu lalu sholat bersama masyarakat di sebuah masjid besar yang memisahkan jamaah perempuan dan lelaki. Semut dan burung yang sebelumnya muncul di perjalanan Itto tampak kembali. Bahkan seekor burung serang suaminya yang sedang sholat, sementara Itto lari menembus jamaah laki-laki untuk menyelamatkan suaminya.

Scene mencekam itu lantas berganti dengan Itto melahirkan di rumah sakit. Film ditutup solilokui Itto tentang Tuhan dan hidup, sambil gendong bayi di bawah langit berbintang.

Awak tak tahu, apa yang menyebabkan film Iran pun jadi surealis sekarang. “World War III” yang menjadi film terbaik dalam Festival Film Venesia 2022, awak tonton Rabu malam lalu di Metropole XXI. Cerita Shakib, tuna wisma yang tiba-tiba jadi Hitler, ketika membantu syuting film. Adegan eksekusi mati orang-orang Yahudi di kamar gas direkonstruksi. Shakib pun dapat rezeki nomplok. Pacarnya yang tunarungu meminta bantuan, ia pun menyembunyikan di bawah rumah kayu properti film. Rumah itu lalu terbakar. Shakib kehilangan lagi, setelah istri dan anaknya mati karena gempa.

“Realitas yang sulit dijelaskan dan dijalani lagi?” tanya awak kepada Krisnadi Yuliawan, Board Madani Film Festival.

Sahabat yang kerap awak panggil Guru Sufi itu membuka peluang penyebab tersebut, setelah kami keluar bioskop dan toilet. Surealisme atau realisme magis bisa jadi cara ungkap baru film-film Timur Tengah. Sutradara Iran pasca Abbas Kiarostami cs telah meninggalkan neorealisme. Barangkali juga film Maroko yang meraih Special Jury Prize dalam Sundance Film Festival 2023 itu. Awak terus terang kehilangan kisah-kisah sederhana dan sehari-hari lewat figur anak, perempuan, serta nobody person lainnya.

Awak merindukan film dokumenter “Mrs Iran’s Husband” yang kutonton di Kineforum Teater Sjuman Jaya TIM Rabu siang lalu. Dua istri, Sara dan Iran, yang telah memiliki selusin anak, tapi suami mereka, Sultan Mohammad, masih ingin menikah untuk ketiga kali. “Kebiasaan lelaki suku Bakhtivari sejak dulu,” kata Mohammad yang asyik tiduran, sementara kedua istrinya bekerja keras di desa peternak tersebut. Getir, puitis, apa adanya.

RAMDAN MALIK

Bagikan :

Advertisement