NYALANYALI.COM, Kisah – Empat puluh lima menit waktu tempuh yang dibutuhkan untuk sampai ke Pelabuhan Onan Batu-Pulau Semau dengan tarif Rp20 ribu per orang dan motor Rp 50 ribu sekali jalan.
Sesampainya di Pelabuhan Onan Batu, nakhoda dan awak kapal mulai menurunkan sepeda motor dan barang-barang para penumpang, tidak ada jembatan, tangga kayu atau papan khusus di kedua pelabuhan, sehingga mereka harus berhati-hati kalau tidak mau barang-barangnya nyemplung ke laut.
Keluar dari pelabuhan, lanjut dengan ojek, dengan biaya yang cukup wow yaitu Rp 100 ribu. Kami disambut jalan tanah kemudian jalan beraspal mulus dengan rumah penduduk di kanan-kirinya.
Perjalan ini cukup melelahkan dengan jarak tempuh 30 kilometer melewati jalan berbatu, bekas aspal dan berlumpur membuat saya merasa lelah ditambah membawa peralatan perang (kompor,wajan,panci,beras,bumbu masak,kasur,batal dan koper). Satu setengah jam pun berlalu dan rasa lega pun datang, sampai juga di daerah tempat tugas. Pulau kecil yang kering, yang memanggil saya karena ilmu dan berpisah karena cita-cita saya.
Pulau yang jauh hari sudah saya kenal lewat Internet ini terkenal dengan sebutan pulau mistis, aroma keangkeran sedikit terasa kala saya pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini. Namun kesan angker sedikit demi sedikit menghilang oleh keramahan penduduk pulau ini. Sambutan penuh persaudaraan saya dapatkan ketika menuju tempat tugas saya di SMA Negeri 1 Semau Selatan. Baik dewan guru, staf, maupun para siswa menyambut saya dengan antusias. Demikian juga penduduk sekitar yang dengan tangan terbuka menerima keberadaan saya dan teman sesama GGD saya.
Tak perlu repot mencari tempat tinggal karena sebelum sampai di tempat tujuan, tempat tinggal sudah disiapkan Bapak kepala sekolah. Meskipun hanya numpang di rumah salah satu penduduk, itupun rumah yang sangat sederhana.
Hanya berupa bangunan bekas warung berukuran 4×5 meter persegi dengan lantai semen yang beratap seng dengan ketinggian yang tak seberapa, hanya berjarak 20 cm saat berdiri, sehingga saya harus ekstra waspada kalau tidak mau kepala saya kena atap. Efek atap seng yang tidak tinggi pulalah, kalau siang hari saya harus menahan panas lebih dari 40 derajat di musim kemarau.
Namun saya harus bersyukur masih mendapatkan tempat tinggal yang setidaknya cukup layak huni. Jarak dari rumah ke sekolah pun hanya kira-kira setengah kilometer, sehingga cukup berjalan kaki untuk menuju sekolah.
TRI SUSANTO
Guru SMA Negeri Semau Selatan, Kupang, NTT
Buku #sayabelajarhidup ke-9 Nusantara Berkisah 01 (2018)