Yang Tak Pernah Hilang

NYALANYALI.COM – “Kalau diinterogasi nanti, jangan bukan jaringan. Biar gue yang tanggung jawab. Bilang aja lu cuma dititipin ransel yang dibawa ke Blok M. Di sana ketemu orang yang pakai kaos Soekarno,” kata Bimo Petrus Anugrah kepada temannya di bui, setelah mereka ditangkap selagi menempel poster anti-Orde Baru.

Salah satu dari 35 narasumber film dokumenter “Yang Tak Pernah Hilang” bercerita, betapa Bimpet, panggilan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu, begitu tenang dan lekas beradaptasi, meski baru dicokok aparat.

Ini salah satu kisah menarik dalam film yang awak tonton di Epicentrum 21, Kuningan, kemarin siang. Dokumenter yang membuat banyak penonton tirtanetra, termasuk awak. “Aku mau ketemu Abduh jam satu siang nanti di Grogol. Kalau jam tiga nanti enggak ada kabar dariku, berarti aku hilang,” ujar narasumber lain yang sempat bersua Bimpet beberapa jam sebelum diculik.

Ada pula kisah penculikan Herman Hendrawan di Megaria pada 12 Maret 1998. “Banyak intel pegang ht (handy talky-Red). Tapi kok dia juga bawa ht?” kata salah satu narasumber seraya menyebut nama seorang aktivis. Khianat?

Sayang informasi itu tidak didalami dalam film ini. Dari sebuah tulisan di sebuah situs online, mantan aktivis tersebut telah meninggal. Juga info tentang sebuah kontainer di laut Jakarta berisi mayat bercelana jeans yang dipinjamkan seorang narasumber kepada Herman. Muhammad Soleh yang ditangkap usai demo di Surabaya berkisah, pernah ketemu orang dekat penanggung jawab penculikan aktivis 1997-1998.

“Saya mau kasih tahu makam mereka. Tapi janji jangan cerita kepada seorang pun,” ujar sang calon pembocor. Soleh menolak syarat tersebut, karena kabar mengenai keberadaan 13 korban penculikan yang belum kembali hingga kini itu justru dinanti keluarga dan publik.

Awak tak kuat menahan air mata saat Raharjo Waluyo Jati, korban penculikan Kopassus yang wafat pada 8 Agustus 2023, menjawab pertanyaan apa yang akan dilakukannya pertama kali kalau Bimpet dan Herman akhirnya kembali. “Minta maaf dan terima kasih. Karena apa yang mereka berdua alami di luar kekuasaan kami. Juga karena apa yang mereka perjuangkan dulu ternyata kini masih jauh dari hasil yang kami dambakan,” jawabnya.

Ditemani Jati, Bimpet izin kepada ayahnya, Pak Utomo, di Malang sebelum ke Jakarta. Sebab ia pasti akan drop out dari kuliahnya di Universitas Airlangga, Surabaya. Awak salami lelaki 80 tahun yang mendukung putranya berjuang usai nonton.

Film dokumenter ini sungguh mengaduk-aduk hati. Nur Hiqmah, Ketua Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD) yang dibentuk sesudah PRD difitnah Orba sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996, membacakan surat panjang Herman, kekasihnya.

Sebuah surat yang mempertanyakan hubungan renggang mereka. “Karena aku sibuk dalam gerakan, atau adakah sebab lain?” tanya Herman yang rumahnya di Pangkalpinang sempat awak mampiri. Untuk kedua kali awak menangis.

Dalam sel bawah tanah Kopassus di Cijantung, Jati mendengar suara Herman menyanyikan “Widuri”, lagu kesukaan Herman. Namun, Jati tak pernah bersua Herman lagi setelah itu. Awak yang 1,5 tahun meliput kasus penculikan, dari laporan keluarga korban hingga vonis penculik, masih ingat, testimoni Andi Arif di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada 1998 yang mengutip ucapan petugas pengantar makannya di sel “kapal selam”, “Kalau lagi diinterogasi, jawab aja, Mas. Jangan sampai di-Dedy Hamdun-kan.” Dedy suami aktris Eva Arnaz yang diculik dan belum kembali sampai sekarang.

Sebelum film ini diputar, Dodik Katjasungkana, Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) Jawa Timur yang menjadi produser, mengungkapkan, dokumenter tersebut mulai diproduksi pada 2019. Sukarela, sebagai respons terhadap penanggung jawab penculikan aktivis yang diangkat menteri oleh Jokowi.

Pada masa Covid-19, sutradara awalnya wafat karena sakit. Alhasil, film dokumenter ini baru selesai selama lima tahun. Memorabilia elok dari teman-teman seperjuangan Herman dan Bimo yang patung mereka berdua pun gagal ditaruh di kampus Unair, kendarlti telah didesain pematung Dolorosa Sinaga. Alasan pihak kampus, keduanya aktivis politik, bukan akademik.

Saat menyalami Dodik serta Wilson, aktivis PRD, awak usul film dokumenter ini diputar keliling kampus. Agar anak-anak muda sekarang tahu dua pahlawan yang berani melawan Soeharto. Seperti seorang gadis di sebelah awak yang baru sarjana hukum dengan skripsi exile 1965 serta temannya yang lagi menulis skripsi penghilangan paksa 1998.

Dua tragedi berdarah dalam sejarah negeri ini yang menandai pergantian kekuasaan Soekarno dan Soeharto. Impunitas yang membuat seorang penculik bisa jadi presiden di negara Pancasila.

RAMDAN MALIK

Bagikan :

Advertisement