Acil Ipuk namanya. Acil adalah sebutan Bibi dalam tradisi masyarakat Suku Tidung, Kalimantan Utara. Ia adalah seorang wanita asli Tidung yang menggemari sekaligus cakap meracik minuman kopi khas Tidung yang disebut Kopi Babok. Bayangkan, dalam sehari, mulai bangun tidur hingga tidur lagi, Acil Ipuk tidak lepas dari Kopi Babok yang ia racik sendiri. Menurutnya, Kopi Babok sudah menjadi tradisi masyarakat Tidung di Kota Tarakan, bahkan dinikmati mulai kaum muda hingga mereka yang tua.
Kopi Babok pada dasarnya adalah kopi Robusta yang dipadukan dengan bahan-bahan rempah seperti Kapulaga, Kayu Manis, Kluwak, Jinten, serta Cengkeh. Selain itu, bahan pelengkap lain yang menjadi ciri khas adalah beras yang ditanam oleh suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Menurut Acil Ipuk, beras ini memiliki keselarasan dengan citarasa kopi Robusta yang digunakan dalam pembuatan Kopi Babok.
Daya tarik Kopi Babok lainnya adalah cara pengolahan tradisional yang masih terus dipertahankan hingga kini. Kopi mentah dan seluruh bahan pelengkapnya disangrai dalam penggorengan di atas tungku kayu bakar. Konon, aroma kopi akan lebih wangi bila disangrai dengan cara ini. Untuk hasil yang optimal, tahap ini dapat menghabiskan waktu 5 hingga 6 jam, tergantung banyaknya kopi yang diproduksi.
Setelah selesai sangrai, proses penumbukkan pun dapat dilakukan. Menurut Acil Ipuk, kopi akan lebih terasa nikmat bila dihaluskan dengan cara ditumbuk dengan kayu pada sebuah lesung batu. Legitnya kopi dan kesempurnaan minuman ini ketika diseduh ternyata bergantung pada proses penumbukkan. Inilah sebabnya, kopi tradisional Tidung ini dinamakan Kopi Babok yang berarti kopi tumbuk.
Sambil menunggu proses sangrai, Acil Ipukmenyeduhkan secangkir Kopi Babok simpanan sebelumnya untuk saya nikmati. Aroma kopi bercampur rempah-rempah pun pekat tercium melalui lubang hidung. Sudah menjadi kebiasaan saya menikmati kopi tanpa gula untuk merasakan citarasa yang apa adanya. Benar saja, Kopi Babok sudah menjadi istimewa bagi saya sejak seruputan pertama. Rasa hangat mengalir dengan perlahan dari mulut hingga ke liang perut. Minuman ini seolah ingin menampilkan sisi tradisional yang kental dalam balutan keramahan budaya masyarakat Tidung. Kopi Babok menegaskan bahwa ia adalah bagian warisan budaya yang layak untuk dipertahankan.
Tak terasa, Kopi Babok membawa saya dan Acil Ipuk larut dalam perbincangan yang mengasyikkan. Hingga satu kenyataan membuat saya terdiam sesaat, bahwa tak banyak lagi warga asli Tidung di kota Tarakan yang masih mau belajar cara membuat kopi tradisional ini. Kopi kemasan dan warung kopi kekinian perlahan mengubah tradisi minum kopi masyarakat Tidung. Generasi muda pun banyak yang tak lagi tahu bahwa mereka memiliki minuman tradisional yang bertajuk Kopi Babok. Tak tentu kepastian lestarinya Kopi Babok ini di masa depan. Entah bagaimana dengan kalian, tapi saya berusaha melestarikan keistimewaan Kopi Babok lewat sebuah tulisan.
Naskah dan Foto:
BAYU SATITO
Buku #sayabelajarhidup ke-9: Nusantara Berkisah 01 (2018)