(Kumpulan Cerita: Kisah-Kisah Patah – S. Dian Andryanto)
NYALANYALI.COM, Cerita – “Hai Bim, Kenalkan, ini suamiku,” Ayu berkata sambil sedikit mendorong punggung lelaki gagah di sampingnya, dengan telapak tangan kirinya. Lelaki itu maju satu langkah.
“Pras, Prasetyo…” Pria itu mengulurkan tangan, dan menyebut namanya,
Di ballroom hotel, penyanyi dangdut ternama saat ini, Dyah Restu sedang menyanyikan sebuah lagu tentang rindu sebesar gunung batu, di acara reuni 10 tahun alumni SMA Mahardika, Yogyakarta. Bimo menyambut uluran tangan Pras, ia menyebutkan namanya, mengangguk dan tersenyum. Senyum yang dalam kepada Ayu.

***
Waktu berlari ke belakang, satu dasa warsa.
Bimo berlari keliling lapangan basket SMA Mahardika. Ia dihukum, karena berkelahi dengan Andi, anak kelas sebelah. Persoalannya, Andi iseng mengaitkan kakinya saat Ayu berjalan di lorong kelas hingga gadis itu terjatuh. Anak-anak lain bersorak.
Bimo melihat kejadian itu, ia berlari dari ujung lorong, dan melayangkan pukulan ke pipi Andi hingga tersungkur. Tentu saja Andi tak berani melawan, siapa yang tak kenal Bimo, berandal di SMA ini.
“Sekali lagi begitu, tak hajar bolak balik kamu,” kata Bimo.
Andi menciut, keisengannya salah alamat.
Bimo memegang tangan Ayu, membantunya berdiri.
“Kamu ndak papa?”
Ayu mengangguk, sedikit meringis, lututnya nyeri.
Bimo dan Andi disidang oleh guru BK, kemudian sepakat saling memaafkan, tapi keduanya dihukum lari 20 kali keliling lapangan basket, disaksikan siswa lainnya. Ditepuktangani dan ditertawakan. Bimo terus berlari, sesekali ia lari mundur mengundang tawa anak-anak lainnya.
“Pacarmu berangasan,” kata Sari kepada Ayu. Keduanya melihat dari lantai atas sekolah itu.
“Ngawur, pacar dari mana?”
“Lha, runtang runtung ke mana-mana kok ndak pacaran, bohong kamu,” Sari tak percaya.
“Memang bukan pacaran. Apa ndak boleh ke mana-mana berdua, tapi bukan pacaran? Aneh kamu itu,” Ayu tak terima.
“Bener bukan pacaran? Bukan yang yangan?” Sari melotot ingin tahu.
Ayu menggeleng.
“Bukan. Bimo ya ndak pernah ngomong pacaran, kok. Bersahabat gitulah, Sar.”
“Ora percoyo,” Sari mencibir. “Tiga tahun ini kamu ndak ada rasa sama si berandal itu?”
Ayu mencubit pipi sahabatnya itu, sampai Sari mengaduh.
Bimo lari di lapangan entah sudah berapa putaran. Bahkan melambaikan tangannya ke atas, ke arah Ayu. Tambah disoraki anak-anak lainnya. Sementara, Andi sudah terkapar di pinggir lapangan, baru lima putaran. Kelenger dia.
Dan waktu berlalu cepat. Masa-masa SMA itu akan ditinggalkan. Masa-masa pencarian jati diri itu akan ke tahap selanjutnya, menemukan jalannya di luaran sana. Saat tertawa sebanding dengan PR yang menumpuk setiap harinya. Ketika, segala kebandelan masa remaja menemukan tempatnya.
Bimo ingat benar saat pertama masuk SMA, saat pengenalan sekolah, kakak kelas menghukumnya karena datang terlambat dengan membuat pantun. Kemudian pantun itu ditujukan kepada salah seorang perempuan yang ditunjuk.
“Bunga mawar di taman bunga, indah warnanya tiada duanya, boleh aku tanya nama, rasanya aku sedang jatuh cinta…”
Bimo setengah jongkok berdiri di depan perempuan, seorang kakak kelas paling tambun saat itu. Kalimat itu diucapkannya.
“Sego liwet telur dadar, lihat sampeyan hatiku anget cintaku ambyar…”
Semua orang tertawa terpingkal-pingkal, melihat kelakuan Bimo. Kakak kelas itu sampai tersipu-sipu. Merah pipinya. Semerah jepit rambut Hello Kitty yang dipakainya.
Ayu yang berada di sana juga tertawa.
“Bocah gendeng,” kata Sari yang berdiri di sampingnya. Ayu mengangguk, setuju.
Itu kali pertama Ayu mengenal kelakuan slebor Bimo. Selanjutnya, beberapa kali ia tahu, Bimo diperingatkan sekolah beberapa kali karena berkelahi, dengan anak satu sekolah maupun dengan siswa sekolah lainnya.
Ayu tahu benar, penyebab Bimo berkelahi dengan anak sekolah lain itu. Dia jadi jadi perosalannya.
Saat pulang sekolah, saat menunggu angkutan umum dekat sekolah, serombongan anak-anak sekolah lain bersepeda motor mengganggunya. Setengah memaksanya akan mengantar pulang ke rumahnya. Anak-anak lain tak ada yang berani. Entah dari mana, Bimo muncul.
“Jangan ganggu,” peringatan Bimo itu bersaman dengan kepalan tangannya melayang.
Berkelahi mereka, tentu saja Bimo kalah, mana mungkin ia bisa menang melawan delapan orang. Setelah Bimo terjatuh, gerombolan pengeroyok itu melarikan diri. Motornya meraung-raung sebelum hilang.
Ayu berbegas membantu Bimo berdiri.
“Kamu ndak apa-apa?”
“Aduh, perhatian banget. Isin aku, malu aku,” kata Bimo sambil nyengir. Dia seperti tak merasakan memar di pelipis dan lengannya akibat dibogem mentah tadi.
Ayu tak tahu harus bagaimana, apakah ia harus tertawa, nanti dikira tak empati kepada orang yang membantunya sampai babak belur itu. Tapi, kalimat Bimo itu aneh di saat seperti ini. Kocak.
“Mulai sekarang, pulang ke rumah aku yang antar, biar nggak ada yang berani ganggu kamu lagi,” kata Bimo. Entah mengapa, Ayu hanya bisa mengangguk saja.
Itu awalnya mereka terlihat sering bersama-sama. Bimo tak punya sepeda, apalagi sepeda motor, maka mengantar Ayu dengan naik angkot bersama, meski jurusan keduanya berbeda. Satu ke Selatan kota, satu ke utara. Setelah sampai pagar rumah Ayu, Bimo akan naik angkot ke arah berlawanan untuk pulang. Begitu terus nyaris sampai tiga tahun ini.
Teman-teman sudah mengira Ayu dan Bimo pacaran. Tidak pernah sekelas dari kelas satu sampai kelas tiga ini, tapi orang seering melihat mereka bersama-sama. Jadi, apes bagi Andi, anak iseng itu mengganggu Ayu. Penjaganya segera menyalak.
Tiga tahun masa SMA itu makin diujung hari, setelah Ujian Nasional, tinggal pengumuman saja.
Malam minggu itu, kali pertama Bimo datang ke rumah Ayu, sampai masuk ruang tamu. Celingak celinguk ia saat pertama masuk ruangan itu. Cengar cengir dia ketika ayu menyajikan es sirup di gelas gambar kembang. Maklum, biasanya Bimo hanya sampai pagar luar saja. Itu sudah paling mentok.
Pembicaraan pun seperti biasa, kali itu mereka saling bertukar keinginan. Ayu ingin kuliah kedokteran di UI, karena kakaknya ada yang tinggal di Jakarta. Sementara Bimo ingin kuliah di mana saja, syukur bisa masuk UGM, asal di Yogyakarta, karena ia harus menemani simbahnya di sini.
Lalu setelah pembicaraan semua itu. Suasana menjadi agak kaku. Bimo berkali-kali minum es sirupnya. Ayu yang bisanya ramai itu pun diam saja.
“Wah, kita bakal pisah ya, Yu” kata Bimo memecah sepi.
“Iya”
“Kita ndak ketemu lagi ya, Yu”
“Iya”
Sepi lagi.
Bimo, berandal sekolah itu mati kutu.
“Naik becak ke Malioboro, naik dokar ke Beringharjo, jangan lupa sama aku ya, Yu?”
Ayu menahan tawa.
“Itu pantun?”
Bimo nyengir.
Ruang tamu senyap lagi. Suara cicak bunyi dua tiga kali.
“Bimo, makasih ya” Ayu memecah sunyi.
“Buat apa?”
“Tiga tahun menjaga aku,” suara Ayu, tercekat.
Bimo gugup, dia hanya menggaruk-garuk sandaran kursi yang pasti tidak gatal.
“Suwun ya, Yu”
“Buat apa?”
“Tiga tahun kasih pemandangan indah buat aku.”
“Pemandangan?”
“Kecantikanmu…ah..eh…uh…”
Kali ini benar-benar sepi nyenyet. Sampai terdengar suara batuk Bapaknya Ayu. Batuk yang dibuat-buat.
Di halaman, persis dekat pagar rumah.
“Aku mau ngomong, Yu”
“Ngomong apa, Bim”
Bimo ragu-ragu.
“Apa Bim?”
Bimo masih tak bicara.
“Ngomong apa?” Ayu setengah memaksa.
Bimo masih tak bicara. Ia mengulurkan tangan, Ayu menyambut.
Sebelum melangkahkan kaki keluar halaman, Bimo berkata, “Sepuluh tahun lagi aku akan datang ke kamu lagi, aku akan bicara sama kamu, apa yang akan aku bicarakan hari ini. Tunggu aku ya, Yu?”
Ayu mengangguk pelan. Ia sebenarnya tak tahu benar maksud Bimo, tapi ia sungguuh ingin menahan lelaki muda itu pergi. Ia ingin Bimo mengatakan hal yang sebenarnya ingin ia katakan juga.
“Tunggu aku ya, Yu?”
Bimo menggenggam tangan Ayu.
“Iya, aku tunggu, sepuluh tahun lagi, sampai kamu mau ngomong soal apa itu,” kata Ayu.
Bimo tersenyum, kemudian melangkahkan kakinya keluar pagar. Pagar yang nyaris tiga tahun menjadi pembatasnya dengan Ayu setiap ia mengantar pulang.
Makin jauh Bimo berjalan, dalam temaram lampu jalan, Ayu memandanginya sampai hilang di tikungan.
***
Dan, keduanya tak pernah bertemu lagi. Bimo mendapat kabar terakhir Ayu di terima di UI, bukan di Fakultas kedokteran, tapi di Manajemen. Ayu pindah ke Jakarta, tinggal bersama kakaknya, dan meneruskan sekolah dengan beasiswa ke London, Inggris. Kemudian hilang kabar. Bertahun lamanya.
Bimo sendiri berhasil masuk kedokteran di UGM. Itu karena ia terinspirasi pada pilihan Ayu. Kemudian ia bersedia ditugaskan ke beberapa daerah pedalaman. Bahkan tiga tahun terakhir ia bertugas di sebuah Puskesmas di Nanga Kantuk, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sekitar 10 jam jalan darat dari Pontianak. Di sana, Bimo membaktikan dirinya kepada masyarakat suku dayak Kantuk , di tempat terpencil itu. Kabar tentang dia pun samar-samar.
Hingga sebulan lalu, teleponnya berdering. Putus-putus, Andi, teman SMA yang pernah dipukulnya itu mengabarkan akan ada reuni 10 tahun alumni SMA Mahardika di sebuah hotel di Yogyakarta.
“Sepuluh tahun….” Bimo berdesis.
Dari Andi yang bekerja yang telah bekerja di sebuah BUMN, itu ia dapat kabar sekilas tentang Ayu. Setelah menyelesaikan pendidikan di London, Ayu bekerja di perusahaan multinasional. Posisinya cukup penting.
Ragu sebenarnya Bimo untuk datang ke reuni itu. Bukan hanya karena saat ini tempat tugasnya sangat jauh, tapi juga hanya mengingatkan kenangan masa remajanya dengan Ayu saja. Tentu saja ia tak berharap banyak, barangkali Ayu telah berbeda.
“Ayu akan datang, Bim,” kata Andi mengabarkan.
Keputusan untuk datang akhirnya Bimo lakukan. Setelah mendapat izin cuti dari atasannya yang selama ini jarang ia gunakan. Bimo terbang ke Jogja. Ada janji sepuluh tahun lalu yang harus ia tunaikan.
***
Dyah Restu, penyanyi dangdut ternama itu menghibur mereka yang tengah reuni di ballroom sebuah hotel.
Bimo datang langsung disergap Andi dan kawan-kawan semasa SMA –nya dulu. Mereka akhirnya bertemu dengan si berandal SMA. Berkelakar mereka mengingat masa-masa kenakalannya dulu. Kekonyolan lama diceritakan ulang sampai mereka terpingkal-pingkal. Tapi tidak dengan Bimo, ia tertawa kecil menanggapi celotehan kawan SMA nya itu. Matanya yang terlihat mengedarkan padangan ke seisi ruangan.
“Kamu lebih pendiam sekarang, Bim,” kata Andi.
Bimo tertawa memukul pelan lengan sahabatnya itu. Anak-anak lain pun terkekeh-kekeh mengingat pantun-pantun Bimo yang ajaib. Bukan soal jadi rayuan kepada siswi lain, juga ke Bu Erni guru kesenian, sampai Bu Tumin penjaga kantin sekolah. Tapi, banyak pantunya tidak menyambung sama sekali.
Bimo masih mengedarkan pandangannya.
“Ayu belum datang, sebentar lagi mungkin,” kata Andi, seolah ia tahu yang dipikirkan karibnya itu.
Benar saja, saat Bimo bercanda dengan teman lainnya. Dari pintu, Ayu berjalan. Anggun sekali. Wajah kekanak-kanakannya sudah hilang, Ayu tanpak lebih dewasa. Ia tersenyum dan menyapa beberapa orang yang ia lewati.
Tangan kanannya menggandeng seorang pria, tampan dan gagah. Ia menuju Bimo.
Itulah yang terjadi kemudian.
“Hai Bim, kenalkan ini, suamiku,” katanya.
Bimo tersenyum dalam kepada Ayu. Mereka berbasa-basi, agak kaku kelihatannya. Menceritakan tugasnya, dan Ayu mengatakan baru enam bulan ini menikah dengan lelaki bernama Prasetyo itu, seorang petinggi di pemerintahan.
“Sepuluh tahun Bim, nggak ada kabarnya kamu,” kata Ayu.
“Ah iya, sepuluh tahun….” Bimo mencoba tertawa.
Suara Dyah Restu mengalun dari atas panggung, lagunya menceritakan tentang janji yang terlupa. Para alumnus ikut bernyanyi, lagu duka tapi mereka bawakan dengan riang suka-suka.
Bimo perlahan-lahan beringsut mundur. Kemudian ia membalikkan badannya, keluar dari ruangan itu. “Bukan Ayu yang akan menungguku sepuluh tahun itu,” kata Bimo.
Sudut mata Ayu menangkap, lelaki yang ia harapkan saaat remaja itu, pergi. Punggungnya nampak luruh. Makin menjauh. Air mata Ayu mengambang. Sudut matanya melihat lelaki yang selalu menjaganya selama SMA itu hingga hilang dibalik pintu keluar.
“Bim, tak perlu sepuluh tahun sebenarnya, aku tahu yang mau kau ungkapkan seperti aku tahu kesedihan di matamu, malam ini”.
***
Hari telah larut, Bimo berdiri di depan SMA Mahardika, tempat ia memuaskan masa remajanya. Kemudian ia berjalan ke pertigaan, tempat ia dan Ayu biasa menung gu angkot. Tempat ia mengantarkan Ayu hingga depan pagar rumahnya.
Ia merogoh sebuah kotak dari kantong celananya. Meletakkannya dekat batu. Ditinggalkan begitu saja, kalung emas dalam kotak kecil itu di sana. Di tempat cinta itu bergelora di masanya.
Sebetulnya, malam itu Bimo ingin memberikan kepada Ayu. Seperti janjinya, sekaligus ia ingin meminangnya. Perwujudan cinta masa remajanya, tepat sepuluh tahun mereka terpisah. Tapi, itu tak dapat dilakukannya, karena Ayu telah menemukan tambatan hatinya. Bukan dirinya. Bukan Bimo yang dulu menjaganya.
Bimo meninggalkan itu semua. Ia berjalan makin jauh dalam gelap samar, lampu jalan. Kotak berisi kalung yang semula jadi harapannya teronggok begitu saja. Dalam sepi entah seberapa jauh menemani hidupnya. Angin malam bertiup perlahan, melagukan masa lalu yang tak kembali.
Pondok Labu, 14 Mei 2020
S. DIAN ANDRYANTO
Kumpulan Cerita Wattpad Kisah-Kisah Patah – Inspirasi Lagu-lagu Didi Kempot
Inspirasi kisah lagu “Pamer Bojo”
BACA:
Cerita Satu: Menunggu Pengiris Luka Tiba – S. Dian Andryanto “Kumpulan Kisah-Kisah Patah”
Cerita Dua: Hujan Air Mata di Atas Gunung Batu – S. Dian Andryanto “Kumpulan Kisah-Kisah Patah”