NYALANYALI.COM, Opini – Hari itu seorang wartawati media cetak gusar. Pasalnya ia harus menjelaskan berita yang tak pernah dibuatnya. Ia menerima serentetan pertanyaan dari seorang kolega yang telah terbiasa menjadi narasumbernya. Sang narasumber bersikukuh meminta bahwa berita yang terlanjur tayang tersebut harus segera diluruskan.
Semua itu bermula dari ulah teman wartawati tadi. Rekannya memuat berita tanpa verifikasi terlebih dahulu. Selain itu pada berita tersebut ditemukan banyak salah kutip dan keliru menangkap pesan narasumber sehingga menimbulkan misleading.
Sang teman adalah jurnalis media daring di perusahaan yang sama dengan si wartawati cetak. Namun demikian secara kapasitas kemampuannya kurang terasah. Ia jarang liputan langsung ke lapangan. Entah karena bergulat dengan tuntutan aktualitas maka berita misleading tersebut akhirnya terjadi.
Di sisi lain sang narasumber hanya mengenal perempuan jurnalis media cetak karena memang sudah terbiasa bekerja sama. Ia tak kenal jurnalis media daring yang keliru menangkap omongannya. Alhasil karena tahu mereka berasal dari perusahaan media yang sama, sang narasumber lebih memilih ‘menginterogasi’ koleganya di media cetak.
Terang saja wartawati cetak tadi geram karena katempuhan harus menjelaskan dan meminta maaf akibat ulah ceroboh temannya. Di perusahaan mereka memang terjadi semacam persaingan antara jurnalis cetak dan jurnalis daring. Mereka berkompetisi saling menunjukkan keunggulan masing-masing. Si cetak berbangga dengan kedalaman beritanya sementara si online berbangga dengan aktualitasnya.
Kejadian di atas nyata terjadi dan menjadi fenomena tersendiri di industri media dewasa ini. Di beberapa perusahaan media terdapat sumber daya yang berbeda untuk produk cetak/elektronik dan produk daringnya. Berbagai friksi kerap tak terhindarkan di antara keduanya. Dalam beberapa kasus tertentu masalah acapkali timbul dari produk daring. Kita tentu sudah paham benar dengan apa itu click bait serta artikel yang menjual sensasional.
Menjual Sensasional
Beberapa waktu lalu di awal kemuculan pandemi Covid-19, berseliweran foto dan artikel mengenai korban virus corona yang bergelimpangan di jalanan Wuhan Tiongkok. Foto tersebut viral di media sosial yang malangnya malah dijadikan sumber rujukan oleh beberapa portal media online. Tanpa proses verifikasi berita tersebut terlanjur menyebar di masyarakat, Fatal.
Kemudian hari diketahui bahwa foto viral itu hoaks semata. Alhasil portal berita online yang sudah terlanjur menurunkan berita tersebut ramai-ramai klarifikasi. Fenomena jualan sensasional dengan mengabaikan verifikasi sebenarnya bukanlah hal baru. Bill Kovach dan Tom Rossenstiel dalam ‘Sembilan Elemen Jurnalisme’ (2006) mengungkapkan, media gaek sekelas Herald Tribun milik Hearst pun pernah bersalah karena lebih banyak memberitakan hal-hal sensasional ketimbang penemuan ilmiah.
Kovach dan Rossentiel lalu secara jernih menjelaskan bahwa intisari jurnalisme adalah sebuah disiplin verifikasi. Para wartawan seyogyanya memiliki disiplin verifikasi sendiri meski tak dibakukan dalam kode mana pun. Praktek-praktek verifikasi seperti mencari saksi untuk sebuah peristiwa, mencari sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak merupakan metode verifikasi paling minimum.
Menurut Kovach dan Rossentiel, disiplin verifikasi adalah ihwal yang memisahkan jurnalisme dari hiburan, propaganda, fiksi, atau seni. Hiburan (entertainment) dan sepupunya (Infotainment) berfokus pada hal-hal yang paling menggembirakan hati. Sedangkan jurnalisme sejak awal berfokus untuk menceritakan yang terjadi setepat-tepatnya.
Titik Temu
Baik itu media cetak (penulis menyebutnya jurnalisme baku) maupun media daring dan lainnya seperti vlogger, blogger, content writter (penulis menyebutnya jurnalisme wow) memiliki karakteristik yang berbeda. Terdapat asumsi yang berkembang di masyarakat mengenai ciri menonjol keduanya. Jurnalisme wow misalnya dianggap lebih mengedepankan kecepatan dan bermain di talking news. Kedalaman berita tak terlalu diperhitungkan karena yang terpenting adalah konsumsinya yang bisa dinikmati khalayak luas dengan segera.
Di sisi lain, keunggulannya itu justru kerap menggelincirkannya. Banjir informasi berita digital seringkali tak dibarengi fact checker sehingga masyarakat bingung mana yang betul-betul informasi benar dan mana yang asal viral. Konten berita yang dikemas acapkali tak memperhatikan kaidah jurnalistik lantaran lebih berfokus pada trafik.
Namun demikian, justru jurnalisme wow inilah yang paling pesat perkembangannya. Kemudahan akses internet membuat portal media online tak henti bermunculan. Selain itu fasilitas platform media sosial juga dioptimalkan semaksimal mungkin. Semua demi alasan praktis dan keterjangkauan. Perusahaan media yang paling dalam menyasar ruang publik adalah yang terbaik.
Menarik untuk menyimak mengapa Washington Post ikut-ikutan membuat akun TikTok. Dalam sebuah video pendeknya media legendaris itu mengkampanyekan ‘We Are Newspaper’. Secara tersurat video itu mengajak para remaja agar mau menggali informasi dengan bijak. Secara tersirat, Washington Post justru melakukan upaya penetrasi pasar yang dimonopoli generasi Z dan generasi Alpha kelak.
Sementara itu, saudara tertuanya yaitu jurnalisme baku cenderung mengalami stagnan bahkan kemunduran sejak beberapa tahun terakhir. Beberapa koran silih berganti bertumbangan karena tak kuat menghadapi perkembangan jaman. Perusahaan media print kewalahan menghadapi gelombang disrupsi digital. Akibatnya cetak terpaksa tutup lapak. Tercatat koran-koran yang dulunya ‘jagoan’ di level nasional kini hanya tinggal kenangan. Mereka antara lain Sinar Harapan, Koran Tempo Minggu, Harian Bola, Jurnal Nasional, Jakarta Globe, dan lainnya yang tengah menunggu giliran.
Di sisi lain, kehadiran koran masih dibutuhkan untuk menangkal kekacauan informasi (disorder information). Koran dipercaya memiliki perspektif yang relatif lebih jernih di tengah berita hoaks, ujaran kebencian, dan gempuran fitnah yang belakangan merajalela. Kedalaman berita di koran masih dianggap katarsis bagi rancunya informasi dewasa ini. Koran juga diyakini masih memegang komitmen clearing house dengan kukuh.
Akan tetapi bagaimanapun, objektifitas serta nilai-nilai ideal itu hanya akan berguna jika media tersebut tetap hidup beroperasi. Tak bisa dipungkiri, baik itu jurnalisme wow maupun jurnalisme baku eksistensinya bergantung pada kemapanan finansial. Pengiklan masih menjadi sumber pendanaan tak terbantahkan. Sebagai perusahaan hal tersebut tentu saja wajar dan malah justru ancaman jika media tak punya pemasukan.
Agaknya pendapat Jane Stokes dalam ‘How To Do Media and Cultural Studies’ (2003) menjadi relevan. Secara lugas ia menyatakan industri budaya termasuk media di dalamnya tak bisa lepas dari dorongan pasar dan ekonomi. Dorongan tersebut paling signifikan dalam menentukan apa yang akan dikerjakan. Industri budaya terlibat dalam produksi benda-benda simbolis yang perlu bersaing dalam ruang pasar.
Menurut Stokes, organisasi seni paling dermawan sekalipun memerlukan uang untuk bertahan. Tak ada industri budaya yang sepenuhnya beroperasi di luar dorongan profit making. Stokes dengan tegas menyatakan, tak peduli apakah organisasi pencari keuntungan atau kedermawanan (charitable), dalam dunia nyata berarti harus menghasilkan uang. Mempelajari industri budaya adalah berarti juga memahami ekosistem bisnis sebagai sumber utama pendapatannya.
Sebagai organisasi yang harus mempertahankan eksistensinya, jurnalisme wow dan jurnalisme baku bertemu. Kemapanan finansial dibutuhkan agar konten berita relatif steril dari campur tangan pihak lain. Kemapanan itu juga harus menyentuh dari hulu ke hilir, mulai dari wartawan hingga para pengecer koran. Namun sebagai media itu sendiri, agaknya jurnalisme wow dan baku masih malu-malu untuk bertemu. Ego sektoral kerap dikemukakan frontal meski nyatanya diam-diam keduanya saling mengagumi.
Jurnalisme wow dan baku adalah insan pers yang memiliki tujuan luhur. Nilai-nilai mulia itu bukan tentang 43.000 media daring melawan 2.000 media cetak, akan tetapi lebih kepada bagaimana keduanya berkomitmen dalam upaya mencerdaskan bangsa. Hal tersebut hanya bisa dicapai melalui kehidupan pers yang sehat luar dan dalam.
Pada cita-cita mulia itulah semua media yang menjadi bagian dari pers Indonesia mendapatkan titik temu. Di jaman yang mengagungkan kecepatan, hal-hal esensial semestinya tak lantas diabaikan. Betapapun harapan itu mesti terus dinyalakan bahwa Pers Indonesia adalah mereka yang senantiasa mengungkap kebenaran, penyaji informasi yang relevan, penyambung antara rakyat dan kekuasaan, serta yang tak henti meliterasi masyarakat dengan upayanya yang mencerahkan.
Selamat Hari Pers Nasional!
Selamat Merayakan Kemerdekaan Bersuara dengan Bermartabat!
Bandung, 10 Februari 2021
INDRA SETIAWAN
Kerabat #sayabelajarhidup, Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka, Penulis Lepas
BACA