Tentang Dia, Sang Perempuan

NYALANYALI.COM, Kisah – Siapa bilang bekerja sebagai wanita karier jauh lebih melelahkan dari pada ibu rumah tangga? Dan siapa bilang menjadi wanita karir lebih membanggakan?

Bahkan untuk menjadi seorang istri dan ibu, dibutuhkan keterampilan yang levelnya jauh lebih ekstra dari pada ilmu akademik maupun dunia kerja, yaitu kesabaran dan keikhlasan.

Menjadi seorang ibu lebih dari sekadar tugas yang mulia. Begitupun menjadi seorang istri. Keduanya diemban oleh sosok yang sama, yaitu perempuan. Dan perempuan ini, menjadi salah satu alasan saya memilih jalan hidup saya hari ini, tante saya.

“Suami kita orang yang baik, tapi orang di luar sana belum tentu baik”, ucapannya sangat melekat.

Dia merupakan ibu dan istri yang sempurna bagi saya. Karakternya kuat dan mandiri. Sebagai seorang istri, pekerjaan rumah tangga sesulit apapun ia kerjakan. Sebagai seorang ibu, sampai saat ini ia berhasil membesarkan kedua anaknya dengan sangat baik. Mereka anak-anak yang cerdas. Dia juga menyukai pola hidup sehat dan memiliki penghasilannya sendiri.

Tapi kata orang, kesetiaan wanita itu diuji saat pria tidak memiliki apa-apa.

Dan kesetiaan pria diuji saat ia memiliki segalanya.

Saya terpaksa harus setuju. Di tengah meningkatnya karir om saya, kesetiaannya goyah. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. 

Bukannya berhati malaikat, tetapi ia sanggup mengampuni suaminya. Yang bagi saya ini level terberat dalam perjalanan sebuah rumah tangga. Tetapi baginya, justru hal terberat yang pernah ia lalui adalah ketika ia melihat anak keduanya hampir kehilangan nyawa.

Anak keduanya, seorang laki-laki dengan kelainan jantung sejak lahir. Di tengah kondisi ekonomi yang sangat minim, belum lagi cicilan rumah ketika itu. Yang bahkan jika berhasil dioperasi pun waktu hidupnya tidak lebih dari lima tahun kata dokter. Dan memang ini salah satu keajaiban terbesar sepanjang hidupnya sebagai seorang ibu, selaras dengan perjuangannya selama bertahun-tahun, putranya kini sudah duduk di bangku SMP.

Jika mengingat betapa perjuangan yang harus dilewati tidaklah mudah. Memiliki anak pertama di usia pernikahan yang ke-7, setelah dua kali mengalami keguguran dan kehilangan anaknya ketika baru dilahirkan di kandungannya yang ketiga.

Maka ketika pengkhianatan itu hadir, sesakit apapun, air matanya tidak lebih banyak tertumpah dibanding ketika ia menghadapi nyawa anak keduanya di meja operasi. Ia tetap sanggup menjalani hidupnya tanpa mengurangi sedikitpun kualitas dirinya sebagai istri maupun ibu.

“Seorang istri, tetaplah seorang istri. Walau hati ini marah, tetap tidak boleh meninggalkan kewajibannya”

Lalu ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya.

Ada yang jauh lebih penting… rumah tangganya.

Istri haruslah menjadi tempat pertama bagi seorang suami melepaskan kepenatannya. Ibu haruslah menjadi tempat pertama bagi anak-anaknya untuk menenangkan tangis mereka. Kesabarannya dan keikhlasannya, sangatlah luar biasa.

Saya berhenti memandangnya sebagai rumahtangga yang sempurna, tentu saja, karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tetapi ia adalah standar ketika saat ini saya menjadi istri, dan kelak menjadi ibu nanti.

ESTER BERTA NATALITA TAMBUNAN

Penulis, Penikmat Musik dan Film – Tangerang Selatan


Buku #sayabelajarhidup ke-11 Nusantara Berkisah 01: Orang-orang Sakti (2019)

BACA:

Lim Tjin Pheng, Pendekar dari CilameUba Pasaribu, Bangkit dan Berjuang bagi Kaum Marjinal

Mengetahui dengan Siapa Aku Berjalan

Bagikan :

Advertisement