EMA BARE

NYALANYALI,COM, Kisah – Saya bertemu Ema Bare saat kunjungan pertama di Lamalera tahun 2010.  Dia seorang janda beranak empat, tugasnya menyiapkan makanan untuk rombongan saya selama beberapa hari.

Perawakannya kurus tak seperti umumnya warga di sana. jarang terlihat tersenyum tapi ia seorang yang ramah dan lembut. tipe yang lebih sering diam dan bekerja di dapur.

Pada kunjungan kedua, saya sengaja mencarinya. Ia mengira saya salah alamat dan menunjukkan rumah di mana saya tinggal sebelumnya pada kunjungan pertama. Saya katakan bahwa saya memang ingin menemuinya, ia tampak kebingungan. Sungguh saya tak tega untuk menceritakan kondisi rumah tinggalnya, apalagi mencari tahu kisahnya.

Saya hanya menggunakan mata dan telinga, sejak itu kami menjadi sangat akrab.

Saya kemudian sering mengunjunginya, tapi hal yang membuat saya kikuk adalah Ema Bere selalu berupaya memberikan sajian yang terbaik yang ia punya. Kopi, panganan ringan atau roti, sajian yang mungkin ia sendiri jarang nikmati.

Sebabnya, air mukanya selalu bersedih menyiratkan sebuah luka hati. Kantung matanya menghitam dalam, seolah hari demi hari adalah ratapan. Ema Bere tak memiliki suami ataupun anak laki-laki dewasa, saya tak bisa membayangkan bagaimana caranya bertahan hidup di desa yang sepenuhnya bergantung pada hasil laut itu.

Selama itu, ia berupaya membuat kain tenun yang jarang laku dibeli pelancong. Ia juga mengerjakan kebun milik orang lain atau membantu apapun yang ia bisa lakukan, tentu hasilnya jauh dari sekadar cukup. Kadang para tetangga atau kerabat sukunya memberikan ikan apabila hasil tangkapan melimpah.

Barulah pada kunjungan tahun ketiga, saya merasa harus dan memberanikan diri memintanya untuk bersedia di foto. Awalnya ia mencoba menolak, tapi saya yakinkan akan membuat foto yang baik untuk kenang-kenangan. Akhirnya ia bersedia meskipun agak berat hati. saya memilih di tepi pantai pada saat matahari tenggelam. Ternyata itu adalah waktu dan tempat yang pamali/pantang bagi perempuan Lamalera, tapi lagi-lagi ia menuruti permintaan saya. 

Pada saat memotret saya meminta ia untuk tersenyum, sebuah hal yang sangat mudah dilakukan tapi mustahil baginya. Kembali saya coba meyakinkannya bahwa saya akan membuat foto yang baik, ia bergeming.

Dan, dengan bergetar tenggorokan, saya katakana, saya ingin Ema Bare tersenyum, sekali ini saja. saya tidak ingin membuat foto yang sedih.

Akhirnya ia luluh.

Setelah mulai gelap, kami pun pulang tanpa boleh sekalipun menoleh ke belakang, sambil berjalan Ema Bare mendaraskan doa-doa penolak bala sambil berulang kali memanggil nama saya dan anaknya.

Pada kunjungan tahun keempat, saya menemuinya kembali untuk memberikan foto. 

begitu melihat saya datang ia langsung terburu-buru meninggalkan pekerjaan dapurnya dan bersalin pakaian.

“Aih sabar Mas Arnol,” serunya, sambil mengambilkan kursi dan memanggil anak-anaknya.

kalaulah boleh saya ingin melihat senyum itu sekali lagi. namun air matanya tak lagi terbendung, aku menyaksikan tetes itu dengan kelu. Kami pun melepas rindu dengan mengobrol sepuasnya sampai hari gelap.

Kunjungan saya di tahun berikutnya ia memberikan saya kejutan. Suatu Minggu pagi, usai misa  di gereja, anaknya memberikan sebuah kain tenun berwarna merah bertuliskan nama lengkap saya. 

Pikiran saya melayang ke mana-mana saat menerimanya, kali ini saya yang tak mampu membendung air mata walau berusaha menahan.

Saya tak pernah berjanji kepadanya untuk kembali lagi namun ia beriman.  Saya tak tahu bagaimana upayanya mendapatkan benang tenun karena saya tahu ia tak mampu. Ssetelahnya setiap kali berpapasan di jalan ia selalu bertanya dan memastikan kapan saya pulang, ternyata Ema Bare masih menyiapkan kejutan lain.

Pagi-pagi, ia menitipkan sekantung besar jagung titi di rumah saya tinggal. Entah kenapam  saya merasa ia tak mampu melihat saya pergi sehingga menahan diri untuk tak berpamitan.


ARNOLD SIMANJUNTAK

Fotografer, Penulis – Yogyakarta

BACA

Sega Demi Dongan, Rusak Demi Kawan

Bagikan :

Advertisement