Gempa Bumi dalam Teks Primbon Jawa

NYALANYALI.COM – Dalam masyarakat Jawa, gempa bumi adalah sinyal alam yang ditafsir sebagai penanda akan turunnya takdir Sang Penguasa Semesta. Beberapa peristiwa besar di masa lalu terjadi setelah gempa bumi, tercatat dalam manuskrip-manuskrip kuno, seperti kelahiran Raja Hayam Wuruk, sang pembawa era kejayaan Majapahit, dicatat dalam Negarakertagama.

Kedatangan Ken Angrok ke gunung Lejar juga ditandai dengan gempa bumi, yang ditafsir sebagai penanda datangnya calon pemimpin Jawa, dicatat pula dalam Pararaton. Dengan demikian, memori kolektif bangsa Indonesia terhadap gempa bumi telah terbentuk sejak ratusan tahun silam.  

Mitologi Jawa menyebutkan, gempa bumi terjadi karena dewa penguasa dasar bumi bernama Antaboga sedang marah.  Antaboga atau Anataboga atau Anantaboga adalah seekor ular raksasa. Dikisahkan dalam naskah pewayangan, berkat jasa-jasanya kepada para dewa Antaboga diangkat sebagai dewa pelengkap Suralaya yang bertempat tinggal dan diberi kuasa untuk alam bawah tanah atau dunia bawah, yaitu kahyangan Saptapratala atau bumi ke tujuh.  Kemarahan Antaboga menyebabkan bumi bergoncang, selanjutnya oleh masyarakat menyebutnya lindhu.

Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, kata lindhu berarti gempa bumi, yaitu guncangan, getaran, atau gerakan bergelombang pada kulit bumi yang ditimbulkan oleh tenaga yang berasal dari dalam bumi. Istilah lindhu telah dipakai dalam kesusasteraan Jawa Kuno, misalnya Adiparwa, Arjunawiwaha, Bharatayuddha, Bhomakawya, Sumanasantaka, dan Kidung Sunda.

erdasarkan waktu penulisan naskah, istilah lindhu telah dipakai sejak abad ke-11 Masehi. Padanan kata lindhu ditemukan pula dalam Kamus Jawa Kuno–Indonesia, karya L. Mardiwarsito, yaitu kata rěgrěg menyatakan sesuatu yang bergerak atau sedang bergerak (yang menimbulkan kerusakan). Penggunaan imbuhan pa + rěgrěg menjadi parěgrěg, berarti geger, huru-hara, atau perang.

Peristiwa parěgrěg mengingatkan kita pada perang saudara di era kemunduran Majapahit. Menjadi peristiwa fenomenal, parěgrěg tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa dan dikisahkan turun temurun. Pada zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, kisah parěgrěg dimunculkan kembali dalam kesusasteraan, seperti Serat Kanda, Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan.

Tempo lalu, terjadi gempa bumi mengguncang Bawean, Jawa Timur pada Jumat Pon, 22 Maret 2024, sekitar pukul 11.22 WIB dan terjadi susulan pada 15.52 WIB. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, gempa kuat di Bawean dipicu aktivitas sesar aktif dengan mekanisme geser atau mendatar (strike-slip) di Laut Jawa.

Selanjutnya, muncul anggapan tidak biasa di masyarakat, lantaran peristiwa terjadi saat bulan Ramadhan dan dikaitkan dengan akan terjadinya suatu peristiwa. Hal tersebut bukanlah tanpa alasan, karena beberapa manuskrip kuno telah mencatat pertanda-pertanda alam terhadap peristiwa yang akan terjadi.   

Lontar Primbon Suku Tengger beraksara dan berbahasa Jawa mengisahkan dalam lempir terakhir, “Kěsanga těkane lindhu sirayuga ilen prang papanga mantri katralaya samana. Kěsapuluh těkane lindhu …” Artinya : “Jika bulan Kasanga (2 Maret – 26 Maret) datangnya gempa, maka perang akan berlarut-larut, banyak menteri (pemimpin) akan terbunuh saat itu. Jika bulan Kasapuluh (27 Maret – 19 April) datangnya gempa …”

(Kutipan teks di Kitab Primbon, naskah koleksi pribadi)

Sementara itu, Kitab Primbon beraksara pegon dan berbahasa Jawa mengisahkan tentang hal yang sama pada kutipan teksnya. “Lamun lindhu wulan Ramdhan rahina alamat akeh wong padha suwala. Tegese tukar padu. Lan kewan akeh pinaten dening wong agung.

Lamun wengi alamat akeh desa padha perangan lan ora jumeneng ingkang kari.” Artinya : “Jika gempa di bulan Ramadhan terjadi pada siang hari, maka tandanya banyak perselisihan dan banyak hewan mati (wabah?) yang disebabkan perbuatan orang besar. Jika terjadi pada malam hari, maka tandanya banyak desa saling berperang dan tidak ada yang menjadi pemenang.”

Catatan kuno dalam deretan aksara dan bahasa yang tidak lagi populer tersebut bukan tersaji tanpa kajian, karena sejak ratusan tahun silam nenek moyang kita telah mempercayai, bahwa peristiwa yang terjadi di muka bumi saling berkaitan dengan pergerakan benda-benda angkasa. Kemunculan bintang-bintang, orbit matahari serta rembulan direkam secara seksama melalui sistem horoskop, kalender tradisional, maupun dalam bentuk puisi tradisional.

Di tradisi Jawa, Primbon merekam semua kearifan lokal yang dapat dijadikan acuan manusia untuk senantiasa mawas diri. Pembacaan terhadap teks-teks kuno ini adalah aset berharga untuk memahami persepsi nenek moyang terkait keselarasan antara langit dan bumi : as above so below.

AGUSTIN ARIANI

Bagikan :

Advertisement