Seragam Apalah Daya, Penyeragamanlah yang Lebih Berbahaya

NYALANYALI.COM, Opini – Anak perempuan saya yang baru menginjak kelas 2 SD itu suatu hari tiba-tiba meminta, kalau boleh katanya ia ingin berjilbab saja. Alasannya khas, semua siswi di kelasnya berjilbab semua, terkecuali dia dan seorang sahabatnya. Permintaannya itu cukup mengagetkan saya, apakah putri saya mulai merasa termarjinalkan atau setidaknya dia merasa berbeda dengan teman-teman perempuannya yang lain.

Saya kemudian mencoba menggali lebih dalam, apakah dia mendapat intimidasi dari seseorang di sekolah, apakah dia dikucilkan dari pergaulan di lingkaran pertemanan, ataukah dia merasa kecil hati karena nampak berbeda dari mayoritas para siswi di kelas. Rupanya pertanyaan terakhir yang paling mendekati motif di balik permintaan tersebut. Dia merasa tak sama.

Alasan ikut-ikutan itu tentu saja tidak saya kabulkan sebab dilandasi oleh rasa rendah diri karena nampak berbeda. Inferioritas tumbuh karena tak serupa dengan mayoritas. Bagaimana jika suatu saat teman-teman perempuannya itu berpenampilan kebalikan. Bersolek dan bercelana rok super duper pendek, lalu dia kembali merengek ikut-ikutan juga, tentu mengerikan. Lain halnya jika dia ingin berjilbab karena akan nampak lebih cantik nan anggun. Frasa cantik lebih saya terima dibanding sikap inferior yang mematikan kepercayaan dirinya.

Boleh jadi saya dicap sebagai orang tua yang tidak tahu agama, sekuler, liberal. Bebas saja, toh tak ada manusia yang steril dari stigma manusia lainnya. Lagipula saya tidak ingin berputar pada pusaran perdebatan panjang selama berabad-abad mengenai kewajiban berjilbab, terlebih lagi untuk anak kecil. Ada ratusan buku dan kitab yang sudah mengupas tentang hal tersebut. Ada juga diskusi para ahli fikih, alim ulama, para cendekia, sarjana muslim yang memberikan pendapatnya (ijtihad) yang terentang dalam masa yang panjang. Saya hanya mencoba melihat dari perspektif yang lain.

Kemudian belakangan ini pemberitaan diramaikan oleh sebuah peristiwa di Padang. Seorang siswi di SMKN 2 Padang diduga dipaksa mengenakan jilbab. Upaya pemaksaan itu saja sudah keliru ditambah lagi yang dipaksa adalah seorang siswi non muslim yang jelas-jelas memiliki identitas dan simbol keyakinan yang berbeda. Sang anak lalu kecil hati, sang wali berempati dan tak mau lepas diri. Protes. Pihak sekolah tak mau disalahkan alasannya aturan itu sudah mapan. Mereka berargumen ada siswi non muslim lain yang tidak keberatan dan dengan sukarela mematuhinya.

Lalu ada narasi pembelaan dengan testimoni dari siswi non muslim lain di sekolah yang sama yang ‘biasa-biasa saja’ pakai jilbab. Ia merasa keyakinannya tak terganggu dengan aturan itu. Ya boleh jadi memang demikian, tapi seyogyanya juga yang merasa terganggu mendapat porsi yang sama. Artinya, ia mendapat hak untuk merasa biasa-biasa juga dengan ketidaknyamanannya. Apakah jika dibalik misalnya, di suatu sekolah yang mayoritas non muslim kemudian para siswa muslim dipaksa mengikuti simbol keyakinan dominan, apakah otomatis semua siswa muslim itu akan serempak sukarela setuju begitu saja. Biarkan yang terusik berbicara karena barangkali ada kebenaran dibaliknya.

Kasus itu kemudian viral dan menyedot perhatian para pejabat di Jakarta. Petinggi Komnas HAM dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut kasus tersebut sebagai bentuk intoleransi yang telah melanggar hak asasi manusia. KPAI bahkan secara khusus meminta agar Peraturan Menteri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan lebih disosialisasikan lagi secara masif. Sedangkan sebagaimana dilansir Tempo.co (25/1/2021), Komnas HAM memutuskan terjun langsung ke lapangan dan menggelar pertemuan dengan pihak terkait untuk mengusut kasus tersebut lebih dalam.

Sementara Kemendikbud mengingatkan kembali sekolah-sekolah agar mengindahkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam regulasi itu disebutkan bahwa tidak ada kewajiban memakai pakaian keagamaan tertentu menjadi pakaian seragam sekolah. Mendikbud Nadiem Makarim bahkan mengancam akan memecat pihak-pihak yang menerapkan praktik di luar aturan seperti pemaksaan jilbab tersebut.

Tak ketinggalan, Menko Polhukam Mahfud MD juga bereaksi dengan kasus tersebut. Dia mengatakan tidak boleh membalik situasi dengan mewajibkan anak non muslim memakai jilbab di sekolah. Mahfud mengajak kilas balik, dulu di era pemerintahan Orde Baru (sekitar 1970-1980-an) para siswa di sekolah dilarang memakai jilbab. Aturan tersebut kemudian mendapat reaksi keras dari umat islam terutama NU dan Muhammadiyah hingga akhirnya penggunaan jilbab diperbolehkan. Mahfud memberi penekanan jangan sampai sekarang kondisinya sama dengan gaya yang dibalik, siswi non muslim yang malah dipaksa berjilbab. Penekanannya bukan pada jilbab atau seragam melainkan pada tindakan diskriminasi dan atau unsur paksaan. Seolah mendapat karma tekanan yang sama, pihak SMKN 2 Padang pun akhirnya mengaku khilaf dan meminta maaf.

Sejarah memang terus berulang hanya gayanya saja yang berbeda. Di era Soeharto, jilbab dicurigai pemakaiannya pun diawasi. Sekitar 30 tahun yang lalu, pemakaian jilbab adalah sesuatu yang nyaris mustahil bagi para siswi dan sebagian mahasiswi kala itu. Jilbab dianggap sebagai sikap melawan terhadap rezim Orde Baru. Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti dalam “Revolusi jilbab” sebagaimana dikutip Historia.id (28/2/2018) mengatakan, Pemerintah Orde Baru menganggap kemunculan jilbab sebagai sikap oposan terhadap mereka. Sementara itu Roem Topatimasang dalam buku Sekolah Itu Candu (1998) merekam bagaimana pemakaian jilbab yang diributkan dan dikait-kaitkan dengan gerakan politik. Pemakai jilbab dituduh sebagai oknum yang telah dipengaruhi dan disesatkan oleh paham Revolusi Iran dari Ayatullah Khomeini.

Kini tiga dekade kemudian keadaan justru berbalik, yang tidak berjilbab yang justru dicurigai. Labelisasi seperti membangkang perintah agama, cinta dunia bahkan yang lebih sadis semisal tuduhan liberal atau komunis, sekalipun pakaiannya masih sopan dan wajar kerap dialamatkan kepada mereka yang tak berjilbab. Miris, jilbab, kerudung, hijab, penutup kepala dan apapun itu sebutannya tidak lagi dimaknai sebagai tanda kecintaan kepada Tuhan melainkan sekadar mode yang sedang digandrungi selera kebanyakan. Maka terjadilah sikap inferior tersebut. Merasa rendah diri nan kecil hati hanya karena tidak berpenampilan serupa selera umum.

Roem mengkritik hal itu dengan pedas di tahun 1984 ketika kebebasan berekspresi tak secanggih sekarang. Menurut dia, sekolah bukanlah suatu entitas netral atau bebas nilai melainkan wahana terbaik bagi ‘pewarisan dan pelestarian nilai-nilai’ yang sedang berlaku dan direstui. Bukan, sekali lagi bukan jilbab atau seragamnya yang salah tetapi upaya penyeragaman nilai yang sangat berbahaya. Setelah semua anak sekolah diwajibkan berpakaian seragam muncul pula kewajiban-kewajiban ‘berseragam’ lainnya. Mulai dari mata pelajaran seragam, bahasa dan cara bicara yang seragam, tingkah laku dan kebiasaan yang seragam, hingga yang mengerikan; isi kepala yang seragam.

Tak semestinya kasus di Padang itu hanya dipandang sebagai kewajiban atau bukan kewajiban belaka. Lebih jauh dari itu ada hal yang acapkali luput bahwa para siswa tidak hanya unik secara identitas tetapi juga secara person/individu itu sendiri. Malangnya, sistem pendidikan kita hanya terus mewariskan hal yang serba seragam selama bertahun-tahun. Upaya pembungkaman melalui penyeragaman itulah yang jauh lebih membahayakan. Maka jangan heran jika mulai banyak anak-anak yang kehilangan kepercayaan diri, kesulitan menggali potensi diri, terus menerus galau, gabut, minderan, karena mereka tidak terbiasa berpikir dan bertindak di luar kebanyakan. Terlalu takut untuk melawan hal yang serba seragam.

Wallahualam

Bandung, 26 Januari 2021

INDRA SETIAWAN
Penulis lepas

Bagikan :

Advertisement