NYALANYALI.COM – Gelap masih menyelimuti Desa Jatisari, Kabuh, Jombang. Pohon-pohon bambu menghilirkan dingin dan sepi. Sejak dini hari jam 1 malam, Mbah Siti mengayuh sepeda tuanya pelan-pelan sambil menahan dingin yang dirasakannya, dari desanya menuju kota Jombang.. Tanpa jaket ataupun baju tebal, hanyatopi lebar dari bambu (caping) untuk menahan angin dan panas.Padahal jarak yang ditempuhnya sangat jauh, sekitar 35 kilometer.
Sepeda tua dikayuhnya menyusuri jalanan yang masih sepi, saat orang-orang masih terlelap dan hangatnya rumah. Angin dingin yang sering membuat tubuhnya menggigil, tak dihiraukannya. Tanpa jaket ataupun penghangat lainnya, hanya baju sederhana yang jauh dari kehangatan. Kita yang lelap tidur dalam kehangatan rumah, masih mengeluh kedinginan ataupun kepanasan.
Seminggu sekali, atau paling cepat lima hari sekali, mbah Sitimembawa tampah untuk dijual ke toko-toko yang dilewatinya sepanjang perjalanan smpai kota Jombang. Tak tanggung-tanggung jumlahnya, 50 tampah. Bisa dibayangkan 50 tampah menghiasi sepeda tuanya. Tampah-tampah ini buatantetangganya, dia hanya menjualkan. Dari 50 tampah yang berhasil dijual, Mbah akan memperoleh uang Rp100 ribu. Masih terpotong bayar angkot Rp 15 ribu saat pulang. Untuk makan dan minum dibawanya sedikit bekal dari rumah. Padahal sore hari, Mbah Siti baru beranjak pulang.
Pukul 14.35, angkot baru saja datang, pak sopir sigap menaikkan sepeda ke dalam angkot. Sepertinya simbah sudah langganan.Setelah simbah dan sepedanya naik, aku segera duduk di pinggir pintu. Cuaca di kota Jombang sedang sangat panas. Keringat terasa membasahi tubuh. Tak terbayangkan bagaimana kalau aku harus mengayuh sepeda dalam cuaca sepanas ini. Bersepeda bagi simbah, adalah perjalanan mencari sesuap nasi, bukan sekadar hura-hura atau rekreasi. Apalagi mengejar reputasi.
Sepanjang perjalanan, simbah bercerita tentang dua anak lelakinya yang telah berkeluarga, dan tampah yang telah habis dijual, betapa rasa syukur dan kebahagiaan terpancar dari sorot mata dan senyumnya. Bahagia itu sederhana baginya.Simbah yang tak banyak bicara, hanya menjawab jika kutanya. Dan senyumnya begitu tulus, kadang terlihat simbah melamun, pandangannya jauh memandangi jalanan yang hiruk pikuk.
Sepeda tua yang dinaikkan ke dalam angkot dipeganginya kuat-kuat, sambil meminta maaf kalau mengotori baju penumpang yang lain. Sepeda tua yang sangat berharga baginya, yang menemaninya mencari nafkah. Kita yang menaiki motor atau mobil, sering mengeluh dan malu kalau tidak model terbaru.
Hatiku tersayat, sering merasa tak pernah cukup untuk mensyukuri yang sudah kudapatkan. Merasa malu pada perempuan hebat ini. Perempuan tua yang mengayuh sepeda tuanya, bukan sepeda atau motor apalagi mobil keluaran terkini. Perempuan tua yang selalu bersyukur, tak mengeluhkan kehidupannya yang bagi kita susah. Perempuan tua yang tak pernah mau diam menunggu rejeki, apalagi menadahkan tangan, tetapi terus bersemangat, berusaha bergerak menjemput rejeki. Tidak ada kata tua baginya untuk bekerja. Simbah, terima kasih #sayabelajarhidup dan belajar lagi tentang bersyukur.
EVA SEPTIANA RAHAYU – Tuban, Jawa Timur
Buku #sayabelajarhidup ke-9: Nusantara Berkisah 01 (2018)