Menjadi orang lebih baik, tentu. Banyak orang pun menyatakan itu, katanya dia bisa, tapi orang lain melihat dia tak juga menjadi lebih baik sampai tahun baru dan tahun baru lainnya. Begitu-begitu saja kelakuannya.
Menjadi orang yang makin sukses, tentu. Tak ada yang menginginkan makin terpuruk. Tapi usaha tak bertambah, menggerutu saja kerjanya sepanjang hari, kalau ada yang sedikit saja melampauinya, pening dia.
Ingin beribadah makin taat. Makin khusyu, tentu. Tapi sering melupakan hablumminannas, berbuat baik kepada manusia, siapapun dia. Hidup berkawan, berkantor, bertetangga, bernegara tapi empati tak punya. Sujud harusnya berarti.
Ingin dari segala ingin tak pernah bisa berhenti.
Setiap tahun, saya hanya ingin terus bersyukur terhadap semua yang sudah terjadi, yang sudah diberi, dan semua warna hidup ini. Dalam gelap dan dalam terang. Dalam susah dan ketika senang. Dalam sehat dan saat sakit. Berterima kasih untuk semua yang dijalani. Tak banyak cing cing ingin ini itu.
Bagaimana ke depannya? Bukankah sudah ada yang telah menentukan, telah dicatat di lauhul mahfudz, segala kisah diri. Kita hanya menjalani sebaik yang kita bisa. Syukur menjadi kuncinya. Diberi banyak atau sedikit atau tak diberi sama sekali.
Satu yang kami percaya, berikan sebanyak yang kita bisa, maka berlipat pula yang akan kita dapatkan. Berbuat baik saja upaya kepada sesama, maka doa-doa mereka memperlancar semua.
Jangan memuja selain yang menciptakan kita. Rugi bandar nantinya.
Apakah semua yang kita inginkan bisa terwujud? Selalu sisihkan ruang untuk menghadapi kenyataan. Jika itu yang didapat, masih ada senyum dan tawa untuk semua.
Tahun berganti biasa saja. Seperti hari ini makan sayur sop dan besok lodeh. Bukan tahunnya yang perlu diresolusi, tapi rasa bersyukur itu yang harus dimaknai.