Rambo

Pria paruh baya itu tampak ulet memainkan pisau ukiran di atas kayu yang disiapkannya untuk menjadi gagang parang yang tengah dikerjakannya. Sore itu dia harus menyelesaikan pesanan dari seoarang pelaggannya. Sebuah parang dengan gagang kayu berukir, lengkap dengan sarung kayu yang juga dihiasinya dengan ukiran.

Di Kenanga, desa tempat ia tinggal, dan hampir di seluruh pelosok Kabupaten Bima, NTB, orang selalu memanggilnya Rambo. Nyaris tak ada yang mengetahui Abdullah, nama asli pemberian orang tuanya.

Rambo, mungkin saja nama itu mengikuti tokoh film yang diperankan Sylvester Stallone. Seperti Stallone, Abdullah memang berotot. Ia biasa membentuk besi menjadi pedang, pisau dan parang. “Tak ada besi yang tak bisa saya bentuk. Besi sekeras apa pun lembut di tangan saya,” ujarnya sambil tersenyum.

Yang istimewa dari Rambo adalah ia menambahkan sentuhan artistik pada setiap karyanya. Entah itu ukiran khas pada gagang kayu dan sarungnya atau pun ukiran-ukiran pada pedang, parang dan pisau yang dibuatnya. “Semua bisa, tergantung pesanan,” kata Rambo lagi. Kemampuannya membuat ukiran sudah terkenal di Bima. Tak jarang ia meninggalkan Desa Kenanga ke beberapa tempat di NTB untuk membuat ukiran. “Saya bahkan pernah ke Papua untuk membuat patung kayu,” ujarnya lagi.

Rambo mengaku melakoni semua pekerjaannya untuk membesarkan dan menyekolahkan kedua putrinya. Saat ini putri sulungnya duduk di kelas I SMA sedangkan yang bontot baru duduk di kelas II SD. Sebagai orang tua tunggal, ia merasa wajib menyekolahkan anaknya untuk merebut masa depan yang lebih baik. “Cukup saya saja yang hidup dan bekerja apa saja untuk anak-anak. Mereka harus lebih baik,” ujarnya sambil memandang kedua putrinya.

Rambo mungkin tak segarang tokoh dalam film, tapi ia adalah salah satu orang tua tunggal yang ingin melihat masa depan cerah anak-anaknya. Dari rumah sederhananya di Desa Kenanga, Rambo terus bekerja, membentuk besi, mengukir kayu.

Seperti mata gerinda yang dipakainya untuk membentuk besi menjadi pedang, pisau dan parang, ia terus bergerak, berputar. Bagai mata pisau yang menari di kayu-kayu yang diukirnya ia terus membentuk jalan, membangun cerita agar dua buah hatinya tak perlu mengulang kisah hidup yang pahit seperti yang pernah ia jalani.

Dan, seperti semua karyanya yang mengundang decak kagum para pelanggan, ia percaya di ujung jalan nanti, ia pun akan berdecak kagum melihat dua putrinya meraih cita-cita mereka.

CHRISTO KOROHAMA – Larantuka, NTT
Buku #sayabelajarhidup ke-9 Nusantara Berkisah 01 (2018)

Bagikan :

Advertisement