NYALANYALI.COM, Kisah – Merasa tidak lagi menemukan lawan tanding yang sepadan dari jenisnya, Jago Galak melebarkan sayap dengan menjadikan manusia sebagai lawan tanding berikutnya.
Saya tidak tahu pasti di mana para pembantu dan pembatik Eyang memasak. Karena, ketika kami masuk ke rumah ini tidak ada dapur. Ayahlah yang membuat dapur. Benar, Ayah yang membuatnya sendiri, bukan tukang bangunan.
Lokasi dapur menempel pada bagian belakang rumah joglo itu. Menghadap ke halaman belakang yang dulu dijadikan home industry batik milik Eyang.
Ayah mengubahnya menjadi tempat menjemur pakaian, tempat meletakkan kandang-kandang ayam buatan Ayah sendiri, tempat menggantungkan sangkar-sangkar burung yang Ayah tidak bisa menbuatnya, dan bak sampah besar buatan Ayah yang setiap sore selalu dibakar sampahnya. Lokasi ini adalah wilayah kekuasaan penuh si Jago Galak.
Dapur buatan Ayah memiliki dua pintu. Satu pintu berdekatan dengan pintu belakang rumah dan satu pintu lagi berdekatan dengan kamar mandi dan sumur.
Jika sedang memasak, Ibu menutup pintu yang berdekatan dengan kamar mandi. Karena, si Jago Galak selalu menyambangi.
Proses menutup pintu ini harus berlangsung dengan cepat. Sebab, kurang cepat sedikit akan terjadi pertarungan antara Ibu yang bersenjatakan sapu rayung dengan Jago Galak yang bersenjatakan paruhnya. Tapi, Ibu selalu menang (Ibu gue geto loh).
Tidak kekurangan akal (padahal hewan kan gak punya akal ya), dia berbalik ke pintu yang satunya. Mindhik-mindhik (berjingkat-jingkat) ngintip dulu, mencari kelengahan Ibu. Tapi, dia selalu gagal. Karena, Ibu selalu lebih dulu melihatnya dan digebuklah dia.
Baiklah, Ibunya gak bisa dilawan tapi anak-anaknya pasti bisa. Dia standby, menunggu kami muncul untuk ke kamar mandi.
Kami berjalan pelan sambil membawa seblak (sapu lidi untuk membersihkan kasur). Dia mengawasi. Penuh ketegangan.
Begitu kami mulai ketakutan dan berjalan cepat atau berlari, dia langsung menyerang. Kami melawan dengan mengayunkan seblak tidak tentu arah. Kadang tepat sasaran. Dalam arti, seblak kami mengenai tubuhnya atau betis/paha kami kena cakar/paruhnya.
Perih (bolong jhe, meski kecil). Tapi, itu tidak seberapa dibandingkan ketegangan dan ketakutan ketika berpapasan dengan dia, setiap kali ke dapur atau kamar mandi pp (kadang ditungguin di pintu dapur atau kamar mandi).
Abang No. 1 dan No. 2 pernah juga bertemu dengan dia, ketika sedang pulang dari libur kuliah di Institut Pleksibel Banget. “Ati-ati yen ketemu Jago Galak. Dee gawene nladung,” Ibu, memperingatkan.
Tapi, dua pria keren ini menyepelekan peringatan Ibu. Abang No. 1 dengan santuy berjalan ke kamar mandi. Si Jago Galak yang mungkin merasa kekerenannya tersaingi, langsung menyerang. Abang No. 1 berlari menghindar sambil misuh-misuh.
Hal yang sama dialami Abang No. 2. Tapi, dia tidak kekurangan akal. Si Abang setiap kali akan ke kamar mandi selalu melompati jendela yang lokasinya memang tidak jauh dari kamar mandi dan sumur. Dan…berhasil.
Sambil melet-melet cengengesan dan joget-joget, Abang No. 2 menggoda si Jago Galak yang entah kenapa tidak pernah mau merambah sumur. Dia hanya melihat dengan sayap terkepak (jengkel ni yee). Trik Abang No. 2 ini ditiru saya dan Abang No. 5 (Kakak No. 3 dan No. 4 terlalu perempuan sih).
Namun, akhirnya, kami tidak tahan dan melapor ke Ayah. Eeehhh…Ayah malah ngakak. Sampai, Ayah mengalami sendiri .
28 April 2021
RUSSANTI LUBISBACA:
Si Jago Galak