Kebayaku, Kebaya Kartini

NYALANYALI.COM, Kisah – Senangnya lahir di Indonesia, jadi orang Indonesia. Karena negara kepulauan, kita memiliki beragam suku, budaya, Bahasa dan lain-lain, termasuk kulinernya. Di Jakarta saja beragam menu masakan nusantara bisa dinikmati mulai dari soto, masakan padang, menado, dan lain-lain. Ada yang ala kaki lima hingga rasa bintang lima. Soal rasa, pendapat penikmatnya beda-beda. Mereka yang berasal dari masakan asal sering berkomentar, lebih enak di tempat asal kami. Ya, sah-sah saja karena alasan bumbu lebih lengkap, cara olah, bahkan cara penyajian juga berpengaruh. 

Penikmat makanan pun (apalagi yang belum pernah icip-icip) tidak semua menuntut kesempurnaan rasa, yang penting lumayan enak dan harga murah, nama masakan menjadi nomor dua. Penjual makanan daerah yang rasanya mendekati daerah asal biasanya rame dan biasanya dijual di warung-warung pinggir jalan atau gerobak dorong. Entah kenapa kalo masakan daerah masuk hotel rasanya menjadai berbeda, mungkin terlalu banyak pertimbangan higienitas, pemilihan bahan makanan, hingga cara penyajian. Penikmat kuliner bebas berpendapat karena  masing-masing punya lidah, dan cara menikmatinya, tidak ada yang salah dengan pendapat atau penilaiannya. Rasanya tidak bisa menghakimi rasa karena rasa hanya bisa dinikmati penikmatnya.

Antara rasa dan busana adalah dua hal berbeda. Jika kita bicara budaya nusantara, melintas dalam pikiran saya baju daerah. Untuk Jawa, tentunya kebaya. Seperti apa yang pas? Seperti Ibu Raden Ajeng Kartini pahlawan nasional kita. Sejak kecil yang saya ketahui dan sering dilombakan di acara-acara lingkungan dan sekolah, kebaya adalah seperti yang dikenakan Ibu Kartini. 

Pakai sanggul, kebaya kancing depan/jepret (ada juga yang pakai Kutubaru), kain (yang kalo dipakai meruncing ke bawah), selendang untuk dibahu dan selop. Dulu kalo pake kain langsung kain utuh dan ujungnya sudah diwiron (ganjil lipatannya), dilibet-libet sampe pas dan meruncing ke bawah, terus pake stagen. Sekarang semuanya praktis, kain dimaksud bisa dibuat seperti rok. Seiring berjalannya waktu, kebaya terus banyak diminati, bahkan mulai diperkenalkan menjadi busana khusus di hari Selasa buat perempuan Indonesia (Selasa Berkebaya). Kegiatan positif ini belum sepenuhnya berkebaya seperti Ibu Kartini yang saya pikirkan, karena tanpa sanggul karena alasan praktis. Menyanggul itu mesti rapi, proporsional dan buat yang tidak terbiasa, perlu asistensi salon rambut dan butuh waktu. Menyanggul itu seni je

Buat perempuan Indonesia yang ingin berpartisipasi memakai kebaya, beragam ekspresinya:mulai dari bahan kebaya hingga bentuk kainnya (tanpa wiron yang njlimet) asalkan praktis tidak mengganggu aktivitas. Kain kebaya bisa dari bahan polos, brokat dll, tidak harus model kebaya Kartini atau menggunakan kutubaru. Kainnyapun tidak harus diwiron, dibuat tumpuk juga oke, asal terlihat seperti berkebaya, sepanjang dengkul, setengah betis hingga mata kaki. Mari kita lihat secara positif, dari spiritnya. Mereka ingin mendukung budaya Indonesia dengan caranya sendiri. Sama halnya dengan mereka yang sudah mengenakan hijab tapi tetap ingin berkebaya, berkebaya dengan kondisi sudah berhijab. 

Dalam berkebaya, pemakai sudah menggunakan hijab dan kemudian berkebaya. Antara berbudaya dengan beragama menjadi satu. Tidak perlu diperdebatkan. Mereka perempuan yang ingin konsisten dengan berkebaya seutuhnya, mari kenakan selengkap mungkin. Jangan menjadi penghalang untuk kegiatan positif, meski sudah berhijab tapi masih ingin membudayakan kebaya, jalankan saja. Saya sendiri tidak sempurna dalam beberapa kesempatan jika mengenakan kebaya. Seringnya sih tidak memakai sanggul karena selalu saja mepet waktu jika ingin mengenakan kebaya. 

Namun jika ditanya kebaya Jawa seperti apa, dengan bangga saya jawab kebaya Ibu Kartini adalah figure berkebaya nasional. Saya dukung teman-teman yang mengkampanyekan asli kebaya nasional seperti Ibu Kartini ini karena memang kebaya tersebut asli budaya Jawa. Berkiblat berkebaya secara utuh dan ingin dilakukan sepenuhnya seperti Ibu Kartini, rasanya mesti menunggu momentum yang pas buat saya. Misalnya untuk menghadiri resepsi pernikahan atau menjadi among tamu adat Jawa. Diluar dari acara khusus itu, karena saya berkebaya tidak dalam ketidaksempurnaan, maka saya melihat secara positif berkebaya tidak seperti Ibu Kartini itu tidak perlu dinilai, lakukan saja. 

Kebaya dimaksud bisa jadi ala atau mirip-mirip kebaya atau seadanya (yang dimiliki). Belum lagi bicara rasa atau gaya berbusana atau kenyamanan dalam memakai kebaya. Yang memakai kebaya penuh seperti Ibu Kartini rasanya sempurna kita lihat pada orang tua mempelai atau pengantinnya jika ada resepsi pernikahan adat Jawa. Karenanya, tidak perlu menunggu sempurna jika ingin melakukan sesuatu hal yang positif, apalagi untuk mengembangkan budaya berkebaya sebagai identitas nasional. 

RETNO WULANDARI
Buku #sayabelajarhidup Nusantara Berkisah 02: Orang-orang Sakti (2019)

Bagikan :

Advertisement