NYALANYALI.COM , Jakarta – Tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Salah satu sila yang sangat penting dalam upaya menegakkan demokrasi di Indonesia adalah Sila ke-4. Sayangnya, kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia, khususnya dalam mengkritisi kebijakan publik di ruang digital, berada dalam situasi yang rentan dan meresahkan. Kasus peretasan terhadap suara-suara kritis terhadap pemerintah di ruang digital, rentannya perlindungan data pribadi terutama dalam kasus yang rentan dengan aspek relasi kuasa, beserta kriminalisasi dengan dasar UU ITE dan alasan seperti penghinaan, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan stabilitas dan ketertiban publik, kerap menjadi alasan yang digadang-gadang untuk menjerat suara kritis warga negara.
The Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) merekam 334 kasus hingga bulan Oktober 2020 sejak UU ITE disahkan tahun 2008. LBH Pers juga mencatat paling tidak 10 jurnalis dikriminalisasi dan menjadi korban UU ITE. Ancaman terhadap kebebasan berekspresi di dunia maya juga tercatat dari hasil survei Komnas HAM dan Litbang Kompas, di mana 36% responden merasa tidak bebas. Selain itu, Indonesia pun berada dalam status ‘partly free’ dalam Global Freedom Status dari Freedom House (2019-2021).
Sejatinya, ekspresi publik seharusnya dilihat sebagai bagian dari partisipasi publik dalam proses kebijakan, termasuk di ranah digital dan dalam konteks demokrasi dan tata kelola pemerintahan digital.
Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, dalam keterangan tertulis di Jakarta (1/6), menyampaikan bahwa keresahan ini juga diangkat dalam studi kebijakan The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) lewat pendekatan kualitatif (Januari – mid-Mei 2021). Studi TII ini memfokuskan pada kondisi kebebasan berekspresi di dunia maya, khususnya terkait suara kritis terhadap pemerintah dan UU ITE. Menggunakan model penerapan kebijakan publik Merilee S. Grindle, TII mengelaborasi permasalahan ini dengan merujuk pada aspek dan dinamikan konten UU ITE dan konteks penerapannya. “Dalam studi ini, kami menggunakan beberapa kerangka konsep, seperto kebebasan berekspresi; ruang digital; ‘digital democracy and governance’; politik legal, serta kebijakan publik (pemetaan dan penerapannya) untuk menganalisis topik ini dan memberikan rekomendasi kebijakan yang relevan dan kontekstual,” jelas Adinda.
TII mengajukan rekomendasi untuk mendorong dan melindungi kebebasan berekspresi, termasuk dalam mengkritisi pemerintah di dunia maya di Indonesia. Di aspek legal, TII juga mendesak revisi UU ITE, khususnya terkait pasal-pasal yang multi interpretasi dan mengancam HAM dan kebebasan, serta memformulasikan peraturan dan peraturan pelaksana dengan perspektif HAM dan kebebasan agar dapat diterapkan oleh panegak hukum dan para pihak terkait. TII juga mendesak agar pasal-pasal terkait sanksi UU ITE tidak lagi menerapkan sanksi pidana dan harus melindungi data pribadi.
Pemerintah dan DPR juga harus mendefinisikan dengan jelas perbedaan ekspresi yang dijustifikasi sebagai bagian kebebasan dan yang terhitung sebagai penghinaan dan sebagainya. Masyarakat sipil harus dilibatkan dalam prosesnya untuk menghapus ketentuan yang mengancam HAM dan mengembalikan UU ITE seperti tujuan awalnya, yaitu melindungi warga dalam melakukan transaksi elektronik maupun berhubungan dengan informasi di dunia digital, dengan tetap melindungi aspek HAM dan kebebasan berekspresi. Dengan kata lain, sanksi pidana seharusnya dikembalikan ke Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Aspek legal dan politik legal yang mendasarinya, juga tidak lepas dari aspek penerapannya oleh pelaksana kebijakan. TII merekomendasikan perbaikan penegakan hukum UU IT dengan mendorong penegak hukum yang berperspektif HAM yang lebih baik, apakah melalui PTIK dan jalur pendidikan dan sosialisasi, serta internalisasi lainnya. TII juga mendorong penerapan ‘restorative justice’ dan tidak diskriminatif, dengan pembagian tugas yang jelas antara Kominfo, Polisi, dan Pengadilan.
Terakhir, kebebasan berekspresi di dunia digital juga sangat membutuhkan literasi digital oleh semua pihak, bukan hanya pemerintah dan penegak hukum, namun juga masyarakat umum, agar bijak dan memahami konteks dalam berekspresi di dunia maya. Studi TII merekomendasikan kolaborasi Kominfo dengan Kepolisian dan Kemendikbudristek, serta masyarakat sipil terkait untuk mendorong literasi digital yang lebih baik di Indonesia.
“Dibutuhkan kesadaran dan komitmen bersama untuk mendorong dan melindungi kebebasan berekspresi, termasuk bersuara kritis di dunia digital, di Indonesia.” kata Adinda.
Sumber: The Indonesian Institute