DELLA TRISTANI – Jakarta
IG: https://www.instagram.com/dellatristani/
NYALANYALI.COM, Cerita – Gerobak adalah rumah bagi Salvo. Ia hidup mengembara bersama ayahnya. Malam hari mereka tinggal di hutan. Ayah mengumpulkan benda-benda unik yang diperoleh sepanjang perjalanan, lalu menjualnya ke sebuah desa untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Ayah tak pernah membawa Salvo ke desa. Ia meninggalkan gerobak di perbatasan antara jalan masuk ke desa dan tepi hutan. Salvo dengan gembira bermain-main di dalam gerobak, sambil melihat pemandangan sekitar. Dalam waktu setengah jam, Ayah sudah kembali.
Ketika Salvo bertambah besar, ia tak mau lagi ditinggal kalau Ayah ke desa. Ia ingin ikut. Ayah tak tega menatap pandangan Salvo yang memelas. Kali ini, setelah memarkir gerobak, Ayah menggandeng Salvo menuju desa.
Sambil melangkah, tiada henti Salvo menoleh ke kiri dan kanan. Untuk pertama kali ia melihat keramaian.
Ketika berada di depan sebuah toko, Salvo melihat sekelompok anak berlarian di taman. Kelihatannya menyenangkan. “Yah, aku mau bermain seperti mereka,” pinta Salvo. “Jangan, Salvo. Sebentar lagi kita harus pergi.” Salvo terdiam.
“Biarkan dia bermain. Kau bisa mengobrol denganku di sini,” kata si pemilik toko kenalan Ayah. “Pergilah sana. Jangan lama-lama, ya,” ujar Ayah kepada Salvo. Senyum Salvo mengembang. Ia berlari menyusul anak-anak. Pemilik toko menggelengkan kepala, “Sampai kapan kau mau menyembunyikannya?” Ayah tertunduk, sedih dan gundah.
Anak-anak dengan cepat menerima kehadiran Salvo. Mereka bermain kejar-kejaran di taman, sampai kehausan. “Ayo, kita minum, setelah itu kita main lagi,” ajak salah seorang anak. Salvo ingin ikut, ia mengabaikan pesan ayahnya.
Anak-anak lain sudah masuk ke sebuah bangunan mungil di samping taman. Salvo masih mematung di luar. Kenapa harus masuk? Ada apa di dalam? “Salvo, ayo ke sini!” ajak seorang anak. Perlahan disertai keraguan Salvo melangkah.
Mata Salvo menjelajah. Mulutnya menganga. “Di mana ini?” Seorang anak menyahut, “Ini rumahku.” “Ru…mah… Apa itu?” Anak-anak saling berpandangan. “Tempat kita makan, main, mandi, dan tidur setiap hari dengan orang tua dan saudara kita. Kamu juga punya kan…” kata anak yang lain. Salvo tertunduk, tak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba ia teringat ayahnya.
Salvo keluar, lalu berlari masuk ke taman. Ia terus berlari sambil mencari-cari, sampai ia menemukan sosok ayahnya di seberang taman. “Ayo, Salvo. Hari sudah siang, kita harus segera berangkat,” ajak Ayah begitu melihat anaknya datang.
Mereka berjalan keluar desa menuju ke arah hutan. Ketika Ayah hendak menaikkan Salvo ke dalam gerobak, Salvo menepis tangan Ayah. “Tidak mau,” rengeknya. “Ada apa, Nak?” Ayah tidak mengerti. Tangis Salvo pecah. Badan mungilnya terduduk di tanah. “Anak-anak tadi punya rumah. Ayah, aku juga mau punya rumah tempat kita bisa makan, main, mandi, dan tidur,” Salvo terisak.
Penuh iba Ayah menatap buah hatinya. Inilah yang ditakutinya. Ayah tak mau Salvo tahu, orang seharusnya tinggal di rumah, bukan di gerobak. Ibu Salvo meninggal ketika Salvo berusia dua bulan. Sejak itu, Ayah meninggalkan gubuknya, menghapus kenangan masa lalu yang bahagia.
“Salvo, anakku sayang, kenapa kamu ingin rumah, padahal kamu punya gerobak ajaib?” seru Ayah sambil bergaya seperti penyihir baik dalam dongeng. Salvo tertegun memandang Ayah, “Gerobak ajaib?” “Betul, Salvo. Gerobak ini bisa pergi ke mana saja. Kalau tinggal di rumah, kita tidak bisa ke mana-mana,” tutur Ayah.
Hup! Salvo lompat ke dalam gerobak. “Ayo, Yah, kita berangkat!” Ayah tersenyum lega. “Mau ke mana?” tanya Ayah. “Aku mau ke sebuah negeri antah-berantah yang pernah Ayah ceritakan waktu aku masih kecil,” ujar Salvo. Ayah panik. “Ah…, jaraknya jauh sekali. Kalau kamu ke sana, sekali jalan saja usiamu akan bertambah dua tahun,” terpaksa Ayah mengarang alasan. Salvo belum mengerti, tetapi Ayah segera menyambung, “Ayo kita pergi ke sungai di tengah hutan, memancing ikan.”
Ayah menyusul Salvo masuk ke dalam gerobak. “Sekarang kita sebut ke mana kita akan pergi. Lalu, kita pejamkan mata sampai tertidur nyenyak. Saat itulah gerobak ajaib akan membawa kita pergi. Ketika bangun, kita sudah sampai di tujuan,” Ayah menjelaskan sambil membelai-belai rambut Salvo.
Selang beberapa saat, dengkur halus Salvo terdengar. Ayah segera bangkit. Perlahan ia keluar dari gerobak dan mulai menariknya ke tepi sungai di tengah hutan. Salvo bangun pagi melihat Ayah sedang memancing ikan. Benar-benar gerobak ajaib!
***
Mereka mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Bermalam di satu hutan ke hutan lain. “Ayah, sudah lama kita tidak ke desa yang pertama kali aku kunjungi. Aku ingin bermain lagi dengan anak-anak di sana,” kata Salvo suatu malam. “Baiklah. Ayah juga sudah lama tidak bertemu pemilik toko kenalan Ayah. Ayo, kita tidur sekarang, supaya besok pagi kita sudah tiba di sana,” ajak Ayah.
Saat Salvo sudah terlelap, Ayah menarik gerobak. Perjalanan malam itu sangat melelahkan. Napas Ayah terengah-engah. Penglihatannya makin buram. Genggaman Ayah terlepas dari tangkai gerobak. BRUUUK! Ayah tersungkur.
Terang menyambut, saat ayah membuka mata. Ia berdiri. Tubuhnya terasa sangat ringan. Ayah mengamati sekitarnya. Ke mana pun mata memandang, yang tampak hanya deretan rumah-rumah, mengikuti lengkungan bukit awan.
Tatapan ayah berhenti pada sebuah rumah indah di depannya. Di pintu rumah tampak seorang pria berjubah putih berkilap. Wajahnya terselubung cahaya. Pria itu membuka tangan kanannya ke samping, mempersilakan Ayah masuk, “Selamat datang di rumahmu!”
Ayah berjalan mendekati pria itu, lalu berlutut dan menangis tersedu-sedu. “Kasihanilah aku, Tuan. Aku telah berbohong kepada anakku tentang gerobak ajaib. Padahal, gerobak itu tidak bisa bergerak ke mana-mana, kalau tidak kutarik. Sekarang, anakku berada di hutan seorang diri. Aku harus kembali untuk menolongnya,” Ayah meratap.
Sang pria berkata, “Aku sudah tahu semuanya.” Hening sejenak. “Baiklah. Sekarang kuberi kau kesempatan untuk menyelesaikan tugasmu. Hantarkan putramu ke mana saja ia ingin pergi. Tetapi putramu tidak akan bisa melihatmu lagi. Dan ingat, kalau ia pergi ke negeri antah-berantah mana pun, usianya akan bertambah dua tahun, sesuai perkataanmu kepadanya. Setelah selesai tugasmu, kau akan kembali ke sini.” Ayah mengangguk penuh rasa terima kasih. Sejurus kemudian, Ayah merasa melayang-layang. Ia mendapati dirinya sudah berada di hutan kembali.
Salvo masih tidur nyenyak. Ayah segera menarik gerobak. Untuk pertama kali, Ayah merasa gerobak itu sangat ringan. Bahkan Ayah bisa berlari menembus segala yang merintangi jalan. Ayah tertawa, “Seandainya kamu bisa melihat ini, Salvo!”
Ayah menempatkan gerobak di samping toko kenalannya, sesuai permintaan Salvo. Saat Salvo membuka mata di pagi hari, ia mengenali tempat itu. Namun, ia tidak melihat ayahnya. Salvo segera keluar dari gerobak, mendatangi toko.
“Selamat pagi, Pak. Apakah Ayah saya ada di sini?” “Tidak, Nak. Mungkin ia sedang berkeliling desa. Kapan kalian datang? Aku tidak lihat,” tanggap pemilik toko yang berjanggut lebat. “Tentu saja Bapak tidak bisa melihatnya, karena kami naik gerobak ajaib,” kata Salvo bangga.
“Gerobak ajaib?” terdengar suara di belakangnya. Salvo menoleh. Seorang Bangsawan paruh baya menatap tajam ke arahnya. Kalung emas menggantung di lehernya. Cincin berlian tersemat di setiap jari tangannya. Jubah hijau yang ia kenakan amat tebal, bersulam benang emas. Ia bertolak pinggang, tampak sabuk pinggangnya berhiaskan batu zamrud. Di belakangnya bersiaga sepuluh pengawal.
Pemilik toko membungkuk dengan hormat. “Tuan, apa yang dapat saya lakukan untuk Tuan?” tanya pemilik toko. “Kami sedang dalam perjalanan, tetapi perbekalan kami habis dan kami sangat lelah. Tolong sediakan makanan dan penginapan bagi kami,” kata Bangsawan itu. “Oh, baiklah, Tuan,” jawab pemilik toko seraya membungkuk. Dalam benaknya terbayang setumpuk uang yang bakal diterimanya.
“Hei, anak kecil. Tadi kamu katakan gerobak ajaib. Betulkah?” Mata Salvo tidak beralih dari Bangsawan. Ia menggelengkan kepala. Bangsawan tersenyum penuh arti. “Ceritakan kepadaku,” ujarnya sambil mengajak Salvo duduk di depan toko.
Bangsawan berhasil menenangkan Salvo agar tidak pergi mencari ayahnya. Ia membujuk Salvo bermalam bersamanya di penginapan. Ia hendak membuktikan kebenaran cerita sang bocah.
Setelah Salvo tidur di atas kasur yang empuk, Bangsawan memerintahkan seorang pengawalnya untuk tidur di dalam gerobak. Sebelum tidur, pengawal itu sudah mengatakan kepada gerobak, ia ingin pergi ke tempat patung menari berada.
Seperti biasa, Ayah datang di malam hari. Ia mendengar ada yang mengucapkan permohonan dari dalam gerobak. Tetapi, ketika Ayah akan menarik gerobak, ia terkejut. Bukan Salvo yang tidur di dalamnya. Ayah menghilang dalam gelap malam.
Keesokan pagi, pengawal melaporkan kepada majikannya, tidak terjadi apa-apa semalam. Bangsawan berpikir keras. Mungkin gerobak hanya mau menerima perintah Salvo. Ia menemui Salvo yang tengah menyantap sarapan pagi. “Nak, kamu sudah menikmati tidur yang nyenyak dan makanan yang lezat. Sekarang kamu harus membantuku mendapatkan patung menari. Aku ingin benda itu untuk menambah koleksiku,” ujar Bangsawan. “Tentu, Tuan. Aku bisa mencari patung menari dengan gerobakku nanti malam,” tanggap Salvo penuh keyakinan.
***
Sebelum tidur malam itu, Salvo berkata perlahan, “Aku ingin ke tempat patung menari berada.”
Patung menari terletak di tengah kolam sangat besar. Seorang gadis dari pualam putih berbalut sehelai kain. Ia dapat menari dengan lemah gemulai seringan bulu. Air kolam ikut tersihir meniru gerakan patung menari. Cipratannya membasahi padang bunga di sekelilingnya.
Percikan air kolam membangunkan Salvo. Perlahan ia keluar dari gerobak menuju ke tengah kolam. Tinggi air sebatas dagunya. Dengan semangat Salvo menjangkau patung setinggi manusia itu. Ia mampu mengangkatnya hanya dengan satu telapak tangan. Salvo merasa tubuhnya menjadi ringan sampai mampu menapak di air.
Patung tak berhenti menari di dalam gerobak. Salvo menanti matahari terbenam, agar gerobak dapat membawanya kembali ke tempat bangsawan menginap di desa.
Ketika fajar merekah, gerobak Salvo telah terparkir tepat di sisi penginapan. Salvo beranjak dari gerobak. “Tuan, aku berhasil!!!” teriaknya. Para pengawal bergegas menghampiri arah suara. Mereka terkejut. Salvo berubah lebih tinggi. Ia bukan lagi anak berusia enam tahun. Persis seperti perkataan Ayah: jika pergi ke negeri antah-berantah mana pun, usia Salvo akan bertambah dua tahun.
Bangsawan tak ambil peduli. Ia lebih terpaku pada patung di gerobak Salvo. Sulit dipercaya ia kini memilikinya. Patung itu segera diambil dan diciumnya, lalu ia memeluk Salvo. “Nak, mari ikut denganku tinggal di rumah besar dan indah,” bujuk Bangsawan.
Salvo ragu-ragu. Meski merasakan kemewahan hidup, Salvo selalu memikirkan Ayah yang tak kunjung kelihatan. Bangsawan berusaha memengaruhinya, “Sudah hampir dua hari berlalu. Pasti telah terjadi sesuatu pada ayahmu. Atau…, jangan-jangan, ia sudah melupakanmu….” Salvo terdiam. Separuh menyangkal, separuh membenarkan. Tidak pernah Ayah meninggalkannya selama ini.
Berlinang air mata, Salvo berjongkok. Bangsawan membungkuk, memegang bahu anak itu. “Kalau kamu tetap di sini, kamu akan tinggal sendirian di gerobak. Kalau kamu ikut aku, kamu bisa tinggal di rumah.” Rumah… sebuah kata yang sangat berarti bagi Salvo. Betapa ia sangat mendambakannya. Ia memeluk kaki Bangsawan.
Salvo duduk bersama Bangsawan dalam kereta kuda. Gerobak ajaib turut dibawa. Tak lepas mata Salvo menatap pemandangan sekelilingnya. Jauh berbeda dengan perjalanan bersama Ayah di dalam gerobak.
***
Rumah Bangsawan sangat megah dan luas. Seorang perempuan bergaun putih dan biru muda tampak berdiri di balkon. Bangsawan melihat ke arah perempuan itu dan berteriak senang, “Aku pulang!!” Perempuan itu tersenyum lebar dan bergegas keluar rumah. Salvo menatap Bangsawan, “Pu…lang…? Apa maksudnya?” Bangsawan tersentak, “Kamu tidak tahu?” Salvo menggeleng perlahan. “Itu yang kamu ucapkan saat sampai di rumahmu.”
Perempuan tadi menyambut Bangsawan. Mereka berpelukan dan saling memberi kecupan kecil. “Sayang, lihat yang kubawa untukmu.” Bangsawan menggiring istrinya ke gerobak Salvo. “Patung menari! Bagaimana kau bisa mendapatkannya?!” tanya perempuan itu penuh kekaguman. “Anak kecil yang kubawa itu membantuku,” kata Bangsawan seraya menunjuk Salvo yang masih duduk di kereta kuda. “Nanti saja ceritanya. Banyak sekali yang harus kita persiapkan,” lanjut Bangsawan.
Bangsawan lalu berbicara kepada beberapa pengawal. Mereka memindahkan patung dan gerobak. Kemudian, Bangsawan mengajak Salvo berkeliling rumah. “Nak, kamu bukan saja bisa tinggal di rumahku ini. Bahkan aku akan memberikanmu satu rumah, khusus untukmu.” “Benarkah?!” tanya Salvo setengah percaya. “Ya, asalkan kamu bersedia membantuku mencarikan benda-benda yang kuminta,” Bangsawan mengutarakan syaratnya. “Itu mudah. Siap, Tuan!” seru Salvo kegirangan.
Mereka berhenti di depan sebuah pintu. Bangsawan membukanya. “Ini kamarmu,” katanya sambil tersenyum. Ruangan yang luas lengkap dengan aneka perabot dan tempat tidur besar yang mewah. Salvo berlari masuk, menyentuh benda-benda di dalamnya. “Tetapi, kamu tidak boleh ke luar dari kamar ini sesukamu, kecuali aku datang menjemputmu,” tegas Bangsawan. Sejurus ia menutup pintu kamar dan menguncinya dari luar, sementara Salvo masih sibuk mengamat-amati isi kamarnya.
***
Suatu malam, orang-orang kaya dan terpandang berkumpul di rumah Bangsawan atas undangannya. Mereka ingin menyaksikan kegemulaian patung menari. Decak kagum bercampur tepuk tangan meriah membahana. Patung yang sungguh memikat hati.
“Menakjubkan! Aku kira patung menari hanya isapan jempol,” ucap seorang pejabat. “Pangeran pasti iri kepadamu,” kata seorang teman Bangsawan seraya mengacungkan gelas anggur. Bangsawan dan istrinya menuai pujian bertubi-tubi. Mereka puas menjadi sorotan.
Sebelum tidur, istri Bangsawan menagih kisah suaminya menemukan patung menari. Bangsawan menceritakan gerobak ajaib Salvo. “Kau simpan di mana gerobaknya?” tanya sang istri. “Di dekat gudang senjata,” jawab Bangsawan. “Anak itu?” tanya istrinya lagi. “Ia tidur di kamar tamu.” Istrinya mengernyit, “Kenapa tidak ditempatkan bersama para pelayan?”
“Sayangku, anak itu tidak boleh bergaul dengan banyak orang. Nanti kalau ia bercerita tentang gerobaknya, tentu mereka akan berusaha merebutnya dari kita,” Bangsawan menjelaskan sambil memainkan janggut tipisnya. “Tenanglah, aku sudah mempertimbangkan segalanya. Anak itu akan selalu melayani kita,” kata Bangsawan seraya mematikan lampu.
Di atas ranjang dalam kegelapan, Bangsawan membayangkan sebentar lagi banyak benda antik nan ajaib akan menjadi koleksinya. Dengan bangga ia akan memamerkannya dalam pesta-pesta meriah. Para tamu akan membungkuk hormat kepadanya dan sejuta sanjungan akan diterimanya.
***
Salvo melewati hari-harinya di dalam kamar. Setiap waktu makan, seorang pelayan akan membawakan aneka makanan lezat. Tetapi, si pelayan tidak bicara sepatah kata pun, sesuai perintah Bangsawan.
Terkadang Salvo merasa bosan. Namun, hasrat untuk memiliki rumah sendiri seperti yang dijanjikan Bangsawan, membuatnya bertahan. Hasrat itu pula yang makin mengikis ingatan Salvo akan Ayah.
Bangsawan hanya sesekali menjenguk, sekadar menyapa dan menyampaikan keinginannya kepada Salvo. Malam hari Salvo akan dibawa keluar oleh pengawal dan dihantar ke dalam gerobak. Ia dibiarkan sendirian di sana, sampai keesokan pagi.
Bulan berganti bulan, bagai awan tertiup angin. Salvo dan gerobaknya telah menempuh empat belas perjalanan ke sejumlah negeri antah-berantah. Kini ia berusia tiga puluh enam tahun.
Rumah impian Salvo tak kunjung terwujud. Suatu kali, ia memberanikan diri bertanya kepada Bangsawan. “Kamu belum bisa memiliki rumah itu. Masih ada dua puluh benda lagi yang harus kamu carikan untukku,” ujar Bangsawan.
Salvo tercenung. Kata-kata Bangsawan terngiang di telinganya. Masih ada dua puluh benda… “Ah, aku pasti sudah sangat tua, saat selesai mengumpulkannya,” kata Salvo dalam hati.
Tiba-tiba, Salvo tersadar. Betapa hidupnya berlalu dalam kesepian. Salvo terkenang masa-masa gembira bersama Ayah. Matanya berkaca-kaca. Malam hari, seperti biasa beberapa pengawal mengantarnya ke gerobak.
Setelah ia tinggal sendirian, Salvo menarik napas panjang. “Ayah, aku merindukanmu….,” jerit hatinya. Ia memejamkan mata. Salvo berbisik, “Aku ingin ke tempat Ayah berada.”
Salvo terbangun. Ia melompat dari gerobak. Di hadapannya berdiri sosok pria yang tak asing lagi. Pria itu tersenyum hangat kepadanya. “Ayah!!!”
Lama mereka berpelukan erat. Keduanya saling menatap penuh cinta. Ayah mengalihkan pandangan, Salvo mengikuti gerak kepala Ayahnya.
Di hadapan mereka, tampak sebuah rumah indah yang nyaman. Seorang pria berjubah putih berkilap berdiri di muka pintu. Ia membuka tangan kanannya ke samping, “Selamat datang di rumahmu, Salvo.”
“Rumahku?!” tanya Salvo keheranan.
Ayah menepuk lembut punggung putranya, “Nak, di sini tersedia rumah bagi semua orang.”
Salvo berteriak penuh kegirangan, “Aku pulang!!!”
***