NYALANYALI.COM – Kejantanan awalnya adalah kemampuan seksual dari laki-laki dalam berhadapan dengan lawan jenisnya. Tetapi dalam kehidupan sosial masa kini, kejantanan sudah menjadi pengertian yang kompleks. Predikat itu tidak lagi menjadi ciri kelaki-lakian tetapi adalah perilaku kesatria. Kolaborasi antara keberanian, kejujuran, keterus-terangan, spontanitas dan kemampuan untuk memikul resiko serta tanggungjawab.
Seorang disebut jantan, bukan saja karena dia “binatang” seksual yang berpotensi tinggi, tetapi ia juga seorang yang memiliki daya hebat di dalam menghadapi segala tantangan yang non seks. Sehingga seorang yang berani mengambil keputusan untuk menentang bahaya, melawan arus, sudah menyebabkan ia layak dinobatkan sebagai seorang yang jantan. Tak peduli apakah kemampuan seksualnya tinggi. Bahkan tidak peduli lagi apakah ia pria atau wanita.
Bila ada perempuan begitu mandirinya, sehingga sama sekali tidak membutuhkan pertolongan apa pun dari pria, dia disebut perempuan jantan. Perempuan yang mampu mengakui segala perbuatannya secara blak-blakan tanpa terhalang oleh terasa malu lagi, ia disebut sebagai perempuan jantan. Seorang perempuan yang berhasil menunjukkan ketabahannya dalam mengalahkan nasib buruk yang menyembelih hidupnya, tanpa menangis, merintih dan mengeluh, ia juga menjadi seorang perempuan jantan.
Sebaliknya seorang pejantan yang sudah mencatat sejarah panjang menggauli seabrek lawan jenisnya, tetapi kalau ia tak berani transparan membeberkan kelemahan dan kekalahannya, ia bukan lelaki jantan. Apalagi kalau ia ternyata sibuk untuk menutupi segala kekurangannya dengan segala macam dalih. Lalu ngecap dengan segala cara yang tidak sportif mendiskreditkan saingannya yang lebih jaya. Itu lelaki jantan yang palsu. Kejantanan yang rentan. Konon para gigolo sebenarnya adalah laki-laki yang rapuh dan tak pernah merasakan bahagia. Seluruh hidupnya mengejar, mencari dan mengumpulkan, namun hatinya rapuh tak pernah terisi.
Kini, makin banyak perempuan jantan di sekitar laki-laki. Sebaliknya kian hari semakin banyak lelaki yang tidak lagi jantan. Perempuan sudah mulai merebut pekerjaan-pekerjaan yang semula dikatagorikan kerjaan orang kasar. Jadi polisi, tentara, sopir, kenek, satpam dan tukang lampu. Di STSI Bandung, mahasiwa perempuan dengan tak ragu-ragu lagi naik tangga tinggi dan nangkring di langit-langit panggung, memasang lampu-lampu pertunjukan. Dulu orang menyangka perempuan yang mau melakukan pekerjaan kasar seperti itu, karena orangnya tidak menarik, jadi frustasi. Sekarang itu tidak berlaku. Perempuan-prempuan jantan itu, bahkan lebih manis dan cantik dari perempuan-perempuan lembut yang takut pada cacing.
Selera laki-laki terhadap perempuan pun sudah berkembang. Memang masih banyak pria yang mengidolakan perempuan yang keibuan, lembut dan penuh pengertian. Tetapi tak sedikit laki-laki yang menuntut agar perempuan menjadi lebih realistis dan praktis. Tipe laki-laki ini tidak lagi mengagumi wanita sebagaimana yang ada dalam lirik lagu keroncong “Putri Solo” atau peran-peran wanita di dalam wayang wong yang suaranya nyaris tak kedengaran. Mereka menginginkan perempuan yang agresif dan tahu haknya dalam bercinta. Tidak sedikit laki-laki yang senang pada perempuan yang besar nafsunya, aktif, mandiri, mampu menghidupi keluarga tanpa bantuan suami dan bisa menjajah.
Wanita-wanita jantan sudah muncul dalam komik. Pada tahun 50-an, ada film yang mengenalkan tokoh Darna, wanita yang bisa terbang seperti superman dan menjadi idola pada masa itu. Dalam politik juga kita mengenal si Kupu-Kupu Besi Margareth Thacher sang Perdana Mentri Inggris yang legendaries itu. Lalu Ibu Theresia, wanita luar biasa yang membuat seluruh dunia terkesima. Mereka adalah perempuan yang membawa citra kejantanan kepada perempuan, sehingga estetika tentang perempuan juga secara tidak langsung ikut terjungkir ke arah kesetaraan, berhadapan dengan lelaki di pihak lain.
Kejatanan dalam diri seorang perempuan sama sekali tidak menghapus hakekat mereka sebagai sebagai “betina”. Walau jantan mereka tak kalah potensi dengan perempuan-perempuan yang nampak sangat feminin. Karena mereka menjadi jantan bukan karena frustasi atau didorong oleh berbagai kegagalan dan kekecewaan. Mereka menjadi jantan karena hidup yang keras, lantaran keadaan kritis yang mereka hadapi, membutuhkan tindakan yang jantan. Mengapa hanya lelaki yang boleh antan. Masak perempuan harus menyunat kemampuannya, kalau mereka memang jantan?. Apa salahnya perempuan memikul beban kejantanan bila lelaki tidak sudah mampu.
Mode sudah lebih dahulu melangkah. Dengan adanya rancangan pakaian yang uniseks, celana jean dan T-shirt misalnya ,yang dipakai baik pria mau pun wanita, kejantanan sudah dibebaskan dari kaitannya dengan kodrat lahiriah pria dan wanita. Dulu perempuan dilarang memakai celana panjang ke kantor, karena dianggap tidak sopan. Tetapi sekarang jangankan ke kantor, pembantu rumah tangga pun sudah biasa pakai celana panjang atau celana pendek dalam waktu dinasnya di depan majikan.
Mengukur kejantanan dari penampakan sudah lewat. Kejantanan bukan lagi monopoli lelaki. Tetapi kejantanan dalam hubungannya dengan kemampuan seksual juga memerlukan sebuah reinterpretasi dan reposisi. Kejantanan seksual dalam era kesetaraan, tidak lagi harus diartikan sebagai kemampuan memuaskan banyak lawan jenis dalam bermain cinta. Itu sama saja dengan pejantan dalam dunia binatang yang tak mengenal lembaga pernikahan. Kejantanan harus diartikan sebagai kemampuan untuk bersabar, menekuni dan kalau perlu berkorban demi kepuasan pasangan. Lelaki yang jantan adalah lelaki yang berhasil membuat pasangannya bahagia, kendati ia mungkin belum puas. Itulah bahagia bagi lelaki jantan.
PUTU WIJAYA
Budayawan, Sastrawan
(Majalah MANLY)