Catatan Remy Sylado: Ada Api Ada Asap

NYALANYALI.COM, Opini – Sebuah rumah di permukiman padat Jakarta Utara, terbakar pada siang bolong di musim kemarau. Orang-orang pun sibuk membawa ember-ember berisi air, menyiramkannya ke api yang menyala berkobar-kobar itu.

Ada seorang, bukan setan bukan pula malaikat tapi jelas orang Indonesia, ikut juga membawa ember-embernya, menyirami api yang dahsyat itu. Tapi, heran, setiap kali dia menyiram api itu, nyalanya bukan padam, malah sebaliknya semakin berkobar-kobar hebat. Ternyata ember-embernya itu bukan berisi air melainkan BBM.

Orang Indonesia, kita, memang aneh bin ajaib. Ada yang mengetahui cara pintar dalam memadamkan api tapi tidak tergerak hatinya untuk melakukannya, sementara ada pula yang terpanggil untuk bertindak memadamkan api tapi tidak mengetahui cara betul dalam melakukannya.

Dulu, di zaman Orde Baru, yang namanya pluralisme dikilir demikian rupa sehingga ayat-ayat elok tentang bhinneka tunggal ika yang bermakna “beragam-ragam latar belakang tapi menjadi satu tujuan demi Indonesia Raya”, sebagaimana bunyi tekad yang dikenal bertuah dalam Rapat Raksasa Ikada 19 September 1945 yang baru diperingati meriah di Plaza Monas pada tanggal yang sama tahun ini– berubah menjadi “ika tunggal bhinneka” yang bertendensi mengubah yang beragam menjadi seragam; dan pengaruhnya berekor sampai sekarang, ke dalam peristiwa-peristiwa panas beralas SARA, yang nyalanya lebih hebat dari sekadar api musim kemarau.

Jadi, yang dulu di zaman Orde Baru itu apinya masih berada di dalam sekam, kini, justru di zaman yang konon bernama Reformasi, apinya telah menyala berkobar-kobar, dan celakanya terus disirami dengan berember-ember prasangka, prejudice, dengki, yang naga-naganya berlatar bukan pada soal perbedaan pendapat tapi memang pada soal perbedaan pendapatan.

Kita senang asbun-asbun. Kita pakai istilah “reformasi” secara ngawur, meminjam tanpa mengembalikan, menjauhkan api dari panggang. Istilah “reformasi” yang betul, seperti yang dimaksudkan oleh pencetus-pencetusnya pada abad ke-16: Luther, Calvin, Zwingli, adalah perombakan yang tidak sama dengan revolusi. Sebab, revolusi adalah merombak dari luar dengan kekerasan dan berdarah-darah, sedangkan reformasi adalah merombak dari dalam dengan kasih sayang, cinta kasih, welas asih; kendati tidak sepi juga kekerasan timbul di sana sebagai akibat.

Yang terjadi belakangan ini, berkaitan dengan alasan izin pembangunan rumah ibadah di sekitar Bandung, dan didului dengan peristiwa berdarah-darah di Ambon dan Poso, memang bukanlah gambaran asasi tentang tujuan reformasi. Ini harus dikatakan sebagai tidak mampunya pemerintah dalam mengatur rakyat untuk menegakkan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM. Tampaknya pemerintah hanya melihat api, tidak melihat asap.

Oleh sebab itu, agaknya perlu direnung kembali, untuk melahirkan sebuah istilah baru, mengganti istilah yang kadung terpakai, yaitu suatu “rereformasi” terhadap reformasi yang salah urus. Dengan “rereformasi” ini kita coba mengacu penyadaran kembali akan arti pluralisme sebagai suatu keniscayaan alami yang mau tak mau merupakan wilayah dari karunia ilahi jua.

Bahwa, hakikat pluralisme akhirnya mesti dipandang sebagai cara insani untuk melangsungkan dialog tentang perbedaan menghayati ke-Tuhan-an yang esa. Dengan dialog, kita memberi telinga terhadap sesuatu yang paling absurd sekalipun. Kearifan, jika kita mau sedikit dewasa, betapapun dimulai dari kemauan mendengar dan memberi apresiasi terhadap musuh yang paling kita benci sekalipun. Inilah cara memadamkan api yang paling sederhana, santun, eok, fatsun, manusiawi, dari bangsa yang beradab dan berbudaya.

REMY SYLADO
Penulis, Sastrawan, Budayawan

(dari Majalah MANLY, Oktober 2005)

BACA:

Pena Setajam Pedang, Kata Segarang Singa

Aku dan Rahwana

Bagikan :

Advertisement