NYALANYALI.COM, Musik – Masih ada puluhan mungkin ratusan lagu bernuansa etnik, karya para master pop, tapi terlalu panjang untuk disebut. Dalam jagat jazz (Free Jazz dan New Resources) dan Rock Avant Garde, musik dan lagu sejenis ini bertebaran. Tinggal melihat ketipisan atau ketebalan pengaruh etniknya, juga kekentalan atau kecairan ekspresinya.
Dari negeri sendiri, lagu Hong Wilaheng milik Gombloh, dimulai dengan bagian yang diambil dari lagu Tangerine Dream, Cold Bent Side Walkkemudian reffrainnya mengusung nuansa Timur Tengah, India, dan semi dangdut lewat garis melodi Sunatha Tanjung.
Koes Plus seperti Beatles, banyak mengambil dari berbagai sumber, antara lain reggae dalam Nusantara I, warna Blues & Soul dalam dua album pertama (Derita, Kembali ke Jakarta, Kala Cintamu t’lah Berlalu, Hanya Pusaramu, Kisah Sedih di Hari Minggu dan lain-lainya), nuansa gerongan dari gaya karawitan tampak pada Mari-Mari, serta masih banyak lagi.
BACA:
Sapuan Nuansa Etnik di Lagu Populer
Grup lokal yang lebih kental dari Koes Plus adalah Konser Rakyat Leo Kristi, karena 90 persen dari lagunya bernuansa etnik, bahkan melewati batas pengambilan teknis. Leo sampai pada kemampuan mengambil roh etnik dalam mengekpresikan lagunya (simak lagu Leo Kristi dari Volume 1 sampai 10, ada nuansa Irian, Maluku, Rote, NTT, NTB, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi (Palu), Kalimantan, serta Sumatra (saluang padang) dan sebagainya.
Tentu, Harry Roesli dan Guruh Soekarno Putra boleh disebut, tapi yang satu lebih tepat disebut memainkan musik atau lagu bebas genre, sedangkan yang lain lebih tepat dimasukkan dalam genre World Music seperti Krakatau plus Yoyon dan Ade, serta Wild Roots dari Bali.
Dan, Dewa pun memasukkan unsur etnik sebagai penambah warna dan nuansa dalam album Republik Cinta. Lagu Laskar Cinta terasa sarat dengan musik etnik Timur Tengah dan pada tembang Sedang Ingin Bercinta, terasa kental nuansa semi raggae dan dangdut. Oke, juga kok.
PUNTO DEWO & URRY KARTOPATI
(Majalah MANLY)