NYALANYALI.COM – Sudah diramalkan buyutnya, Pangeran Mangkubumi, pendiri Kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat, bahwa cucunya yang lahir jelang fajar, Jumat Wage, 11 November 1785 ini akan jadi orang besar, pilih tanding.
Anak lelaki yang diberi nama lahir Mustahar, kemudian masa kanaknya ia bernama Bendara Raden Mas Ontowiryo, putra Sultan Hamengku Buwono III itu mempelajari kedigdayaan olah keprajuritan. Ia memperdalam ilmu keagamaan dari para ulama di masa itu. Seluruhnya ia serap.
Jika mau, ia bisa menuntut tahta Sultan buat dirinya. Anak lelaki pertama dari garis keturunan raja. Ayahnya sudah meminta dirinya sebagai putra mahkota. Kecakapan dan kecerdasannya tiada banding. Olah jiwa dan raganya seimbang.
Tapi ia tak melakukannya, meski ia anak pertama tapi bukan dari permaisuri, ibunya R.A Mangkarawati seorang selir asal Pacitan. Ia tahu aturan yang telah dibuat leluhurnya. Hanya putra dari permaisuri yang berhak duduk di singgasana.
Ia menjadi pendamping HB IV bahkan menjadi perwalian HB V yang saat dilantik usianya 3 tahun. Ia membaktikan dirinya, untuk tumpah darahnya, bukan kepentingannya sendiri. Itu sebabnya ia tak tinggal di lingkungan keraton. Tapi jauh di luar keraton, di tanah milik buyut putrinya, Tegalrejo nama daerahnya.
Ia tahu benar permainan Patih Danurejo dengan Belanda, yang inginkan Sultan menjadi boneka permainan mereka. Boleh berkuasa tapi keputusan bukan mutlak miliknya.
Mustahar alias Ontowiryo kemudian dewasa bernama Pangeran Diponegoro ini, menjadi pengganjal Belanda dan Patih Danurejo. Dicarilah gara-gara. Patok-patok dipasang di tanah miliknya. Tentara Belanda mondar mandir mengawasi gerak-geriknya.
Diponegoro mencabut seluruh patok yang dipasang Belanda. Patih Danurejo tersenyum girang. Umpan sudah dimakan, Diponegoro bakal diringkus tak berdaya.
Ratusan tentara Belanda mengepung Tegalrejo, kediamannya, 20 Juli 1825. Satu komando kemudian berusaha membumihanguskan. Perlawanan tak imbang, terjepit Diponegoro di rumahnya sendiri. Dikepung mereka yang tamak dan culas, dihujani benci dan dengki.
Ia kemudian menendang sisi tembok, diikuti hentakan kaki kuda kesayangannya, Kyai Gentayu. Jebol tembok. Diponegoro meloloskan diri bersama keluarga dan sisa prajuritnya, ke arah Barat, Desa Dekso, Kulon Progo, kemudian menyisir Pegunungan Menoreh. Hingga berdiam di Goa Selarong. Dikumpulkannya para pejuang, ulama, dan mereka yang tertindas. Strategi diatur.
Java Oorlog atau Perang Jawa, pecah tahun 1825. Tak kurang dari 15 ribu tentara Belanda meregang nyawa. Membiayai perang ini, kerajaan Belanda nyaris bangkrut, 20 juta gulden mereka gelontorkan. Tak juga bisa memadamkan nyali Diponegoro.
Diumumkan, hadiah yang dapat menangkap Diponegoro 50 ribu gulden. Tak juga ada hasil. Pengkhianat inginkannya, tapi tak ada yang berani mendekatinya.
Lelaki bersorban putih menunggang kuda hitam itu tak dapat dipadamkan. Ia api yang menyala-nyala, melawan kesewenangan di Tanah dan Air-nya. Tunduk hanya pada TuhanNya
S. DIAN ANDRYANTO