DRAMA SATU BABAK: INDONESIA 2044

NYALANYALI.COM – Jenderal Polisi itu diminta menghadap Presiden terpilih. Hari ini juga, ke Istana Merdeka.

Tak ada kata tidak, maka ia meluncur ke istana secepat ia bisa.

Menteri Sekretaris Negara dan protokol istana mengantarnya sampai depan pintu ruang kerja Presiden.

“Silakan masuk Jenderal, Bapak Presiden ingin bicara berdua saja,” kata Mensesneg itu.

Sang Jenderal masuk. Ia melihat Presiden yang baru dilantik tiga bulan itu. Masih muda, mungkin lima tahun di bawah usianya.

“Silakan duduk, Jenderal,” kata Presiden.

Berita di luaran sudah santer terdengar, Presiden terpilih ini ingin mengangkat dirinya sebagai Kapolri. Ia pikir, pasti pembicaraan tak jauh dari itu.

Presiden itu duduk tepat di depannya, tersenyum. Jenderal itu siap dengan segala kemungkinkan pertanyaan. Teknis dan akademis. Pemahamannya tentang keIndonesiaan akan ia beberkan.

Presiden mengeluarkan sesuatu dari balik laci mejanya. Ia menyodorkan kepada Jenderal Polisi yang mengkilap kariernya. Sebuah foto lama.

“Jenderal kenal anak ini?” Kata Presiden menyodorkan selembar foto lama, sudah agak usang.

Sang Jenderal melihat foto seorang anak muda dalam foto itu. Rambutnya ikal, gondrong, badannya tegap, wajah muda, tengah mengacungkan kepalan tangannya tinggi-tinggi, berbalut jaket almamater perguruan tinggi.

“Jenderal kenal?” Kata Presiden, lagi.

Pertanyaan yang diluar prakiraannya. Bukan pertanyaan teknis dan akademis yang telah ia siapkan.

“Maaf, saya tidak kenal, Bapak Presiden,” katanya.

Presiden berdiri, ia berjalan ke arah jendela istana, menghadap ke halaman. Ia membuka tirai.

“Itu saya, 24 tahun lalu. Jenderal tidak ingat?” tanya Presiden.

Jenderal itu mencoba mengingat tapi ia sungguh tak ingat. Di mana ia bertemu atau melihat anak muda ini 24 tahun lalu.

“Saya masih mahasiswa, demo kami menolak Omnibus Law, saya ingat betul, Kamis, 8 Oktober 2020. Aksi kami tak jauh dari sini, kami ditembaki water canon dan gas air mata berkali-kali. Apa yang kami bisa, selain kocar kacir. Kami bermodal suara, sama sekali tak bersenjata. Kami hanya ingin didengar, datang bukan untuk bertengkar. Saya tertangkap, saya ingat benar nama, suara dan wajah Jenderal sampai hari ini. Saya, anak muda yang Jenderal tendang, pukul bertubi-tubi, dan cekik leher serta diseret itu,” Presiden menghentikan kata-katanya. Ia menatap tajam kepada lelaki yang duduk tak berkutik di depannya.

“Jenderal masih tidak ingat?” tanyanya. Suaranya tak keras tapi bagai palu godam menghantam.

Ruangan itu kemudian sunyi. Tidak ada suara apa-apa. Dua lelaki duduk berhadapan. Presiden dan Jenderal Polisi itu.”Tapi saya tak dendam, saya tetap ingin mengajukan Jenderal sebagai Kapolri. Tugas pertama yang saya perintahkan kepada Jenderal sebagai Kapolri, jangan ada lagi aksi represif dan kekerasan dalam penanganan unjuk rasa. Tidak ada lagi kekerasan dilakukan aparat negara kepada rakyatnya, sekeras apapun suara mereka. Saya percaya, Jenderal bisa menjalankannya,” kata Presiden itu.

“Siap!” Jenderal Polisi itu berkata.

Dua lelaki itu duduk berhadapan, 24 tahun lalu pernah bertemu tak seperti sekarang kedudukannya.

Burung kenari berkicau dari balik dinding istana. Terdengar nyaring siang itu.

S DIAN ANDRYANTO

Bagikan :

Advertisement