NYALANYALI.COM – Api itu berada di dalam sekam. Api cemburu sang permaisuri membakar istana, Majapahit terbelah. Sayap barat untuk permaisuri, sayap timur untuk selir biniaji.
Wirabhumi, sang putra dari selir. Digadang raja sebagai pengganti. Permaisuri pun meradang, kenapa bukan Kusumawardhani? Hanya karena ia terlahir putri. Intrik pun dijalankan, demi tahta kekuasaan. Wirabhumi tak pernah tertarik dengan tahta, memilih menyepi di sayap timur, Blambangan, tempat sang ibu berasal.
Niat hati mencari kedamaian, rupaya keadaan semakin liar. Konspirasi makin menggila. Fitnah perebutan tahta sengaja digulirkan, berujung pada perang saudara, paregreg.
Sejarah dibuat sang penguasa. Pembelokan sejarah itu disengaja. Sang pujangga penghuni sayap barat berkisah di lembaran lontar, “Pemberontakan raja Blambangan terhadap Majapahit harus dilawan, ditumpas. Ia raja berperilaku bengis, penindas rakyat.” Penggambaran Wirabhumi adalah sosok berwajah merah, bertaring, dan membawa gada. Kepadanya diberikan olok-olok ‘Menak Jingga’, raksasa berwajah merah dari Blambangan.
***
Tak ada lagi akal sehat, jika amarah tlah berkuasa. Maka, berujunglah pada bencana. Sri Tanjung tak pernah berkhianat. Ia pasrah, saat semua pembelaan tak ada artinya. Ia buktikan kesetiaannya dengan menceburkan diri ke dalam sumur. Jika sumur berbau busuk, berarti ia pendosa. Tapi, jika sumur berbau wangi, sampai mati kesetiaan tlah ia jaga.
“Byur!!” Nyatalah supata Sri Tanjung. Wewangian itu berasal dari dalam sumur. Patih Sidopekso terkulai, menyesali kesalahannya. Amarah membutakan mata hatinya. Fitnah Sang Prabu Sulah Hadi Kromo kepada Sri Tanjung sangat keji. Peristiwa sumur berbau wangi itu menjadi cikal bakal nama Banyuwangi.
***
Kita tak pernah lupa peristiwa 30 September 1965. Tragedi besar menimpa Indonesia. Fitnah keji dilempar, kepada nama-nama yang telah diincar. Negara carut marut saat itu. Benar dan salah adalah abstrak. Saling menghasut dan membunuh, nurani tlah dibutakan nafsu.
Adalah sebuah lagu berjudul ‘Genjer-Genjer’, diciptakan Muhammad Arif, seniman asal suku Osing, Banyuwangi. Genjer adalah tanaman sejenis ganggang. Sejarah penciptaan lagu adalah situasi sulit yang dirasakan rakyat Indonesia saat penjajahan Jepang. Akibatnya, rakyat terpaksa memakan genjer yang dimasak layaknya sebuah sayur.
Begitu lekatnya lagu ‘Genjer-Genjer’ dengan peristiwa G30S/PKI. Larangan menyanyikan ‘Genjer-Genjer’ menjadi pertanyaan besar, kenapa? Masyarakat Banyuwangi tak tau apa-apa dan tak terkait apapun dengan peristiwa itu. Ratusan tahun berlalu, Banyuwangi difitnah lagi.
***
Tahun 1998, Indonesia kembali diuji. Reformasi penurunan rezim Soeharto diwarnai kisah pilu. Ribuan jiwa memadati jalan, di Jakarta. Rakyat demo, berunjuk rasa menyuarakan keadilan. Jawaban dari kejenuhan yang lama dirasakan.
Tahukah anda? Kekacauan negara itu diawali tragedi keji di Banyuwangi. Isu dukun santet digulirkan. Para guru ngaji dan kyai, pengasuh pondok pesantren itu, yang hidup damai tak mengenal gebyar kehidupan luar, diculik dan dibunuh. Entah siapa dan dari mana perintah keji itu berasal. Menakutkan dan mencekam, suasana itu masih terekam jelas di memori masyarakat Banyuwangi. Setelah ke sekian kali. Banyuwangi difitnah lagi
***
Adalah Pak Osik, beliau kepala suku Osing, suku di Banyuwangi. Pak Osik orang terpilih, amanah besar diberikan padanya, menjaga segala hal yang semestinya terjaga di sukunya. Kesederhanaan berpenampilan dan bertutur kata, tapi sangat cerdas di segala keilmuan.
Kali ini, Banyuwangi diterpa isu tentang ‘Desa Penari’, desa mistis yang diberitakan memakan korban mahasiswa KKN. Kepala suku meradang, perlambang apa lagi ini, sudah seringkali tersakiti, difitnah lagi dan lagi. Ada apa dengan Banyuwangi? Di saat gonjang-ganjing negeri, selalu diawali tragedi di tanah ini.
Sorot mata sang kepala suku menyiratkan makna. Pak Osik orang linuwih, ia menjaga apa yang semestinya terjaga. Dalam diam ia bergerak. ‘Menak Jinggo’; ‘Sri Tanjung’; ‘Genjer-Genjer’; ‘Dukun Santet’; dan ‘Desa Penari’. Kode-kode yang nyata. Sebuah kebetulan ataukah kebenaran? Semburat cahaya merah itu datang dari Timur, Banyuwangi. Semoga Indonesia baik-baik saja.
AGUSTIN ARIANI
Buku #sayabelajarhidup Nusantara Berkisah 01 (2018)