Filosofi Hidup Panjat Pinang

NYALANYALI.COM, Kisah – Kata Mbak Nicki Astria “Dunia ini panggung sandiwara.”

Kata si Rokhim “Dunia itu ibarat playground.”

Dan kata si Tiwul “Dunia itu ibarat permainan.”


Lalu apa kata saya tentang dunia?


Karena saya tidak pandai merangkai bait-bait lagu seperti Mbak Nicki Astria, saya tidak se romantis si Rokhim yang begitu lihai memilih kata-kata yang puitis dan saya tidak se jeli si Tiwul saat berusaha beropini tentang kehidupan. Maka saya ilustrasikan saja kalo hidup itu bak bermain panjat pinang.

Ya, kenapa harus panjat pinang?


Jawabnya simple, panjat pinang itu lebih aman di bandingkan panjat tebing.

Hidup itu seperti main kompetisi panjat pinang, saat manusia itu berarah merangkak keatas ia menjadikan pundak pundak orang yang disayanginya sebagai tumpuannya untuk bergerak menggapai mimpi, bahkan saking cintanya kerabat kerabat dekatnya pada manusia itu, mereka tak merasakan sakit saat pundak mereka diinjak injak manusia yang hendak merangkak ke atas. 


Dan, saat manusia tersebut telah merayap menuju puncak, dan berhasil menggapai hadiah hadiah yang terpampang di bambu pinang, hal yang tergambar di dalam benak manusia tersebut pasti adalah hadiah utamanya dan benar saja saat telah di puncak manusia tersebut akan dengan bangga memeluk hadiah utamanya dan semua orang dibawahnya akan bersorak sorai menyambut kemenangannya.

Apakah setelah itu manusia tersebut akan puas dengan hadiah utama?

Jawabnya ada dua


Pertama jika manusia tersebut merasa cukup dengan apa yang di dapat pasti ia akan mengambil seperlunya yang dia butuhkan untuk dia bagikan pada tim panjat pinangnya.

Kedua jika manusia tersebut merasa sudah diatas dan merasa harus memiliki semua hadiah hadiah tersebut maka dengan penuh nafsu dan keinginan yang kuat ia akan berusaha mengambil semua hadiah yang ada bahkan kalo perlu tak bersisa, centong nasi pun diembat.


Keduanya adalah wujud dari gambaran watak manusia ada yang merasa cukup dengan yang sudah dipunya ada yang terus dan terus mengejar apa yang dimaunya.

Ilustrasi kehidupan ini pun juga mengingatkan saya pada Mbah Marto langganan nasi bungkus yang sering lewat depan rumah, beliau berkata “Hidup itu cuma mampir minum, jangan rakus dan jangan curang.”

Eko Hadi Sulistia – Pondok Kelapa, Jakarta Timur
Pemilik Usaha Mi Ayam “Dah Mamam?”

BACA:

Pilihan Tutup Buku Pak Wawan
Banting Setir Bertahan di Tengah Pandemi

Bagikan :

Advertisement