NYALANYALI.COM, Jakarta – Meski usia harapan hidup perempuan meningkat, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah pada laki-laki masih lebih tinggi dibanding perempuan. Menurut data BPS 2010, angka melek huruf laki-laki 95,65. Sedangkan perempuan 90,52. Selain itu, rata-rata lama sekolah laki-laki berada 8,34 tahun, sementara perempuan 7,5 tahun.
Berbagai kemajuan telah dicapai dalam upaya meningkatkan kesetaraan gender di semua jenjang dan jenis pendidikan. Rasio angka partisipasi murni (APM) perempuan terhadap laki-laki di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama berturut-turut 99,73 dan 101,99 pada 2009. Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 15 sampai 24 tahun telah mencapai 99,85. Karena itu, Indonesia pada 2015 sudah secara efektif menuju pencapaian kesetaraan gender.
Selain mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (MDG ke-3), menurunkan angka kematian anak (MDG ke-4), dan meningkatkan kesehatan ibu (MDG ke-5), pendidikan menjadi salah satu target MDGs. Tak terkecuali bagi perempuan, untuk mewujudkan pendidikan dasar (MDG ke-2),
Ketimpangan ini makin terlihat jika menyelisik kontribusi perempuan dalam pendapatan nasional. Sumbangan pendapatan perempuan masih berada di urutan 33,5. Jauh di bawah laki-laki yang mencapai 66,5. Dibandingkan dengan negara lain, indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia berada pada peringkat 124 dari 187 negara di dunia.
UN Women mencatat kemiskinan, jarak tempuh dari rumah ke sekolah, dan nilai budaya adalah faktor-faktor utama penghambat perempuan mengakses pendidikan. Ssaat sebuah keluarga dihadapkan dengan keterbatasan finansial untuk menyekolahkan anak-anaknya, perempuan cenderung diminta mengalah. Kesempatan mengenyam pendidikan pun diberikan kepada saudara laki-laki.
Pendidikan bagi perempuan juga berdampak langsung bagi penurunan angka kematian ibu hingga 66 persen atau sama dengan menyelamatkan nyawa 189.000 ibu (UN Women, 2015). Logikanya, semakin lama perempuan duduk di bangku sekolah, semakin meningkat usia pernikahan. Sebab, hal itu menurunkan risiko kematian akibat hamil, melahirkan terlalu muda, dan melahirkan terlalu sering.
Pendidikan bagi perempuan berdampak pula bagi meningkatnya pendidikan anak. Setiap setahun, penambahan waktu ibu di bangku sekolah berdampak terhadap penambahan 0,32 tahun pendidikan anak (UN Women, 2015). Logikanya, perempuan yang berpendidikan paham pentingnya pendidikan. Saat menjadi ibu, ia akan mendukung pendidikan anak-anaknya.
Persoalan pendidikan inilah yang digerakkan R.A. Kartini karena kualitas sumber daya manusia seiring dengan zaman tak bisa ditawar-tawar lagi.
TIM REDAKSI NYALANYALI